"Nak Bagas!" Kyai Ahmad menyapa dengan suara lembut.Namun, Bagas hanya terus memeriksa hasil panennya. Kyai Ahmad berdiri beberapa langkah dari Bagas, melihatnya dengan penuh pertanyaan."Ah, lagi sibuk, ya? Ya, udah kalau begitu," katanya sambil menghela napas.Saat mau pergi, langkahnya terhenti sejenak. Kyai tahu ada sesuatu yang berbeda lagi dari diri Bagas.Kecurigaan Kyai mulai muncul. Aura gelap yang mengelilingi Bagas semakin terasa kuat. "Seperti ada yang nggak beres," gumam kyai Ahmad, hampir tidak terdengar.Dia berbalik dan melanjutkan langkahnya. Namun, mata itu tetap tertuju pada Bagas. Tiba-tiba, seorang petani datang mendekat dan berbicara dengan cepat pada Bagas. Kyai mengamati dari kejauhan."Apa yang sedang mereka bicarakan?" Petani itu tampak tergesa-gesa, berbicara dalam bisikan. Setelah beberapa saat, Bagas mengangguk. Tanpa berkata banyak, Bagas berdiri dan mengikuti petani itu.Insting kyai yang tajam segera mengikuti mereka. "Ada yang nggak beres," pikirn
Ratih berdiri di depan Kyai, tubuhnya gemetar hebat, napasnya terengah-engah. Wajahnya pucat, dan matanya yang merah menandakan kekhawatiran yang mendalam. "Mas Bagas pulang tengah malam, Kyai..." suaranya bergetar, seolah ada sesuatu yang menghalangi napasnya.Dia menghela napas panjang, berusaha mengendalikan diri, tapi kepanikan itu tak bisa dia tahan. "Dia... dia seperti berbeda. Ini bukan hanya kecurigaan kosong!" Ratih mengangkat tangannya, gemetar, mencoba mengontrol diri. Matanya penuh cemas, seolah mencari jawaban yang tak kunjung datang.Kyai menatap Ratih dengan penuh perhatian, mendorongnya untuk melanjutkan. "Tenang, Nak," kata Kyai dengan lembut. "Ceritakan semuanya. Apa yang membuatmu merasa seperti itu?"Ratih menatap Kyai dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku pernah mengalami malam-malam aneh sebelumnya, Kyai... dan Kyai tau kan?" katanya, suaranya semakin lirih, penuh kesedihan yang terpendam.Kyai mengangguk perlahan, matanya seakan menembus jauh ke dalam di
"Ratih ... Ratih!" Suara teriakan Bagas memecah kesunyian.Wajahnya yang gelap dipenuhi rasa cemas. Seolah-olah dia sedang mengejar waktu yang terus berjalan. Bagas berlari ke dalam rumah. Dia kembali memanggil istrinya yang belum juga muncul. "Ah, mana sih dia ini!" gumamnya dengan kesal.Bagas merasa ada sesuatu yang tidak beres. Suasana rumah yang biasanya tenang kini terasa begitu mencekam. Seakan ada ketegangan yang mengendap di udara.Tidak lama setelahnya, terdengar suara hiruk-pikuk dari kejauhan. Suara teriakan penduduk desa yang begitu lantang semakin mendekat dan jelas."Ayo, kita usir aja dia dari sini!" teriak salah seorang warga dengan penuh kebencian. "Iya, benar! Usir ... Usir!" seru yang lain."Kalau perlu kita bakar dia hidup-hidup!" suara yang lebih keras terdengar penuh amarah."Apa-apaan ini?" Bagas terperanjat. Jantung berdegup kencang. Mereka terdengar begitu penuh kebencian dan niat jahat. Seakan-akan mereka sudah menunggu kesempatan sejak lama. Dalam bebera
"Feri ke sini!" teriak salah satu penduduk desa. Mendengar nama itu, Bagas matanya langsung melotot. 'Nggak! Nggak mungkin dia kan? Dia kan udah mati! Nggak mungkin dia bisa bangkit dari kuburkan?!' batin Bagas bertanya-tanya. Feri berjalan perlahan dari kerumunan penduduk desa. Dialah anak Pak Lurah Marwan. “Ratih, aku nggak suka kamu bicara seolah-olah kami ini cuma menuduh tanpa alasan,” kata salah satu penduduk desa. Dia melangkah maju, menunjuk Bagas dengan tongkat kayunya. “Kami semua udah cukup lama tau apa yang dilakukan suamimu!” Ratih terkejut. Dia memandang Feri dengan tatapan bingung, lalu kembali melirik Bagas yang mulai menggertakkan gigi. “Feri ...!" Penduduk desa yang lainnya mengangkat tangannya, memberi isyarat agar seseorang dari kerumunan maju. Seorang petani yang bekerja di ladang Bagas. Wajahnya pucat, ketakutan. “Aku lihat sendiri, Bu Ratih,” ujar petani itu sambil menundukkan kepala. “Juragan membuat Feri ketakutan. Saya juga lihat ada sosok yang se
Di dalam gubuk tua yang penuh bau kemenyan, Ki Praja duduk bersila di depan kendi tanah liat. Matanya yang suram menatap tajam air dalam kendi itu, permukaannya bergelombang meskipun udara di ruangan itu begitu pengap."Argh!" lirihnya sambil menekan dada yang terasa sesak. Rasa sakit ini seperti peringatan bahwa ada yang mengusik keseimbangannya.Ki Praja meraih segenggam bunga tujuh rupa dari sebuah mangkuk tembaga di sampingnya, lalu melemparkannya ke dalam kendi. "Perlihatkan padaku … Apa yang terjadi di sana," gumamnya, mulai merapal mantra dengan nada berat.Asap dupa berputar di udara, membentuk lingkaran-lingkaran tipis yang semakin menebal. Permukaan air kendi perlahan menunjukkan bayangan. Kerumunan penduduk Desa Karang Jati yang berkumpul di depan rumah Bagas. Mata Ki Praja menyipit, mengamati dengan seksama."Dasar dungu! Kalian pikir bisa menyentuh Bagas tanpa mengundang amarahku?" bisiknya dengan suara penuh kebencian.Dalam penglihatannya, penduduk desa tampak melempa
"Pembunuh itu ada di antara kita!" Suara lantang seorang pria tua di tengah kerumunan memecah suasana. Penduduk desa yang sejak tadi marah dan berteriak kini semakin mendidih emosinya Semua mata tertuju pada Bagas, yang berdiri diam di tengah lingkaran manusia yang dipenuhi amarah."Kyai, dia nggak perlu ke masjid! Suruh aja dia mengakuinya di sini! Kita sudah siapkan bara api untuk membakarnya!" teriak salah satu penduduk sambil menunjuk Bagas dengan penuh kebencian."Tenang-tenang! Tenang semuanya!" Kyai Ahmad mengangkat tongkat kayunya tinggi-tinggi, mencoba menenangkan massa yang nyaris tak terkendali.Penduduk desa mulai mereda, meski bisikan masih terdengar. Kyai Ahmad berkata tegas, "Jangan main hakim sendiri! Belum ada bukti Bagas bersalah!"Namun, di dalam hatinya, Kyai Ahmad bimbang. Dia ingat jelas malam itu, ketika melihat Bagas berdiri di tengah ladangnya. Di dekatnya, ada mayat dengan tubuh terkoyak, tapi Bagas tampak tenang—terlalu tenang, seolah pemandangan itu adala
"Kamu selamat, Bagas!"Bagas mendengar suara samar yang mirip dengan Ki Praja. Dia tersenyum puas, seolah sesuatu telah berjalan sesuai rencananya. Tanpa bicara sepatah kata pun, Bagas berbalik dan berjalan perlahan menjauh dari Ratih dan Kyai Ahmad."Mas Bagas!" panggil Ratih dengan suara nyaring.Namun, Bagas tak menoleh sedikit pun. Bahkan ucapan terima kasih kepada Kyai Ahmad yang sudah melerai kerumunan pun tak keluar dari mulutnya. Langkahnya mantap, meninggalkan kegelisahan di belakang.Ratih bergerak ingin mengejar suaminya, tapi tangannya dicegah oleh Kyai Ahmad. "Jangan, Nak Ratih," ucap Kyai Ahmad sambil menatap tajam ke arah Bagas yang semakin jauh.Ratih berbalik, bingung. "Kenapa, Kyai?" tanyanya, suaranya bergetar antara marah dan cemas.Kyai Ahmad menatapnya dengan serius. "Kejadian hari ini... seperti ada campur tangan ilmu hitam," katanya perlahan, seolah menimbang kata demi kata.Ratih terkejut. Matanya melebar, tapi tatapannya masih terpaku pada punggung suaminya y
"Jangan sentuh aku!"Ratih terbangun dari mimpi buruknya. Keringat mengucur deras dari kening. Napasnya tersengal sesak seperti orang yang sedang di buru sesuatu. "Nggak ... Nggak ... Jangan mimpi ini lagi!" Ratih semakin ketakutan. Tiba-tiba di hadapannya, terlihat samar sosok yang sering mengganggunya. Sosok itu perlahan Semakin mendekat. Lalu, tanpa di sangka sosok itu sudah berada tepat di depan wajahnya. Ratih teriak histeris. Badannya kaku, mulutnya tidak bisa berkata. Hanya teriakkan itu yang mengisi kamarnya. Tiba-tiba dia terbangun kembali dari mimpi buruknya."Ah, cuma mimpi!" ujarnya. Sambil membasuh keringat itu.Ratih kembali melihat sosok tersebut. Kini, sosok itu muncul di perutnya. Ratih gemetar, suaranya terdengar gagap. "Gen—Gen ... Genderowo!"Dadanya terasa sesak. Dia seakan tidak bisa lari dari hal tersebut. Tubuhnya benar-benar kaku. Matanya bertatapan dengan mata Genderuwo itu. "Aaaaa ...!" Ratih teriak sekencang-kencangnya."Ratih ... Ratih, bangun! Hei, b
"Aku akan aman di sini!" Bagas berteduh di sebuah gubuk tua di tengah hutan. Napasnya masih tersengal-sengal setelah berlari sejauh itu. Dadanya naik turun, mencoba mengatur ritme pernapasannya yang terasa berat. Hujan mulai turun rintik-rintik, menambah suasana semakin kelam. Dia menatap kosong ke depan, pikirannya melayang. Entah sejak kapan, hidupnya mulai terasa seperti mengulang takdir kakeknya, Wartono—diusir dari desa, terpaksa pergi tanpa tujuan. "Ah, hidup macam apa ini?! Aku benci diriku sendiri!" Bagas menggeram frustasi. Dengan penuh amarah, dia memukul batu besar di hadapannya. Tangannya terasa sakit, tapi tidak sebanding dengan rasa sakit yang dia pendam dalam hatinya. Semua terasa sia-sia. Tidak ada lagi tempat baginya untuk kembali."Sampai sekarang pun aku masih mendapatkan informasi yang simpang siur tentang Mbah dan Ki Praja! Ah, kenapa sih dunia ini buat aku pusing?!"Bagas berteriak, suaranya menggema di tengah hutan yang sunyi. Dadanya naik turun, dipenuh
"Cari dia sampai ketemu!"Teriakan salah seorang warga menggema di dalam gelapnya hutan. Obor-obor yang mereka bawa menebarkan sinar temaram di antara pepohonan lebat, namun hanya kegelapan hutan yang menyambut mereka. Beberapa warga terlihat gugup, langkah mereka melambat seiring dengan makin dalamnya perjalanan ke hutan terlarang."Eh, ini kan hutan terlarang di desa kita," ucap salah seorang warga dengan suara bergetar, berusaha mengingatkan yang lain."Benar juga," sahut warga lain yang tampaknya mulai menyadari situasi mereka. "Kita sudah terlalu jauh masuk. Ini bukan tempat biasa. Jangan-jangan ada sesuatu di sini!"Rasa takut mulai menyelimuti mereka. Beberapa warga mengangguk setuju, dan perlahan mereka memutuskan untuk berbalik arah. Namun, baru saja mereka ingin melangkah kembali menuju desa, suara keras tiba-tiba menggema dari dalam hutan.Graawwrr!Suara itu menyerupai raungan binatang buas, tetapi terdengar tidak seperti suara makhluk biasa. Suaranya memekakkan telinga, m
"Kenapa aku bisa di rumah? Bukannya tadi aku ada di rumah Ki Praja?" Bagas duduk termenung di ruang tamu, mencoba mengingat kejadian terakhir yang dialaminya. Semuanya terasa kabur dan membingungkan. Dia merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tak tahu apa. Tatapannya kosong, pikirannya terus berputar-putar mencari jawaban. Namun, belum sempat dia memahami apa yang terjadi, suara gaduh dari luar rumah mengalihkan perhatiannya. Terdengar langkah kaki banyak orang, disertai suara teriakan yang semakin mendekat. Bagas segera berdiri, matanya menatap penuh kewaspadaan ke arah jendela. "Usir dia! Keluar dia dari desa ini!" "Kita harus bertindak tegas!" Teriakan itu menggema di luar, membuat dada Bagas berdebar kencang. Dia menelan ludah, mencoba menenangkan diri meski rasa cemas sudah membanjiri pikirannya. "Apa lagi ini?" gumamnya pelan. Pandangannya tak lepas dari kerumunan warga yang semakin dekat. Apa pun yang terjadi, Bagas tahu malam ini tidak akan berlalu dengan mudah. Bamban
"Ada apa ini? Kenapa warga berkumpul di balai desa?"Ratih yang kebetulan melewati Desa Karang Jati melihat kerumunan besar di balai desa. Wajahnya langsung dipenuhi rasa cemas. Firasat buruk menyelusup dalam pikirannya, dan nama seseorang segera terlintas.“Jangan-jangan mereka—” Ratih menggantungkan kalimatnya, ragu untuk melanjutkan. Namun, kekhawatiran di hatinya semakin menguat. “Mau melabrak Mas Bagas!” gumamnya, suaranya pelan tapi penuh ketegangan.Dengan hati-hati, Ratih bersembunyi di balik pepohonan, berusaha tetap tak terlihat. Dari kejauhan, dia mengamati para warga yang terlihat bersemangat, bahkan penuh emosi. Beberapa membawa obor yang menyala terang, menciptakan pemandangan yang tampak seperti adegan dari masa lampau, di mana massa menghakimi tanpa ampun.“Kenapa mereka begini? Apa yang sebenarnya terjadi?” pikir Ratih dalam hati, was-was. Dia terus memperhatikan tanpa berani mendekat, tubuhnya tegang seolah-olah dia juga merasakan ancaman itu.Namun, jauh di lubuk h
"Usir dan bakar dia hidup-hidup!" Bambang mendengar bisikan itu lagi. Suaranya rendah, berat, tetapi jelas terdengar di telinganya meskipun tidak ada siapa pun di sekitarnya. Dia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan dirinya benar-benar sendirian. Namun, bisikan itu terus mengisi kepalanya, seolah berbisik langsung ke jiwanya. “Aku yakin ini benar,” gumam Bambang sambil menatap rumahnya. Tangannya mengepal kuat, dan tatapannya berubah dingin. “Bagas memang pembawa sial. Dia penyebab semua bencana ini.” Langkah Bambang berat tetapi penuh tekad. Dia meninggalkan rumahnya menuju warung kopi tempat warga desa sering berkumpul. Wajahnya terlihat penuh amarah, tetapi tidak ada yang tahu bahwa amarah itu bukan miliknya sepenuhnya. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikirannya, mengendalikan setiap gerak dan perkataannya. Di warung, beberapa warga sedang duduk bercengkerama. Mereka tertawa kecil sambil menikmati kopi hitam pekat. Namun, suasana itu segera berubah ketika Bambang datang. “Eh,
“Buka pintunya!”Bagas berteriak sekencang mungkin sambil menarik dan mendorong pintu rumah Ki Praja. Pintu kayu itu tetap terkunci rapat, tidak bergeming sedikit pun meskipun dia mengerahkan seluruh tenaganya.Duk! Duk!Bagas mulai memukul pintu dengan kepalan tangannya hingga kulit di jemarinya memerah dan terasa sakit. “Ayo buka! Aku tahu kau di sini!” teriaknya lagi dengan penuh frustasi.Namun, alih-alih pintu yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari dalam rumah.Brak!Bagas terpaku sejenak. Dari celah pintu, dia melihat bayangan benda-benda kecil di meja seperti lilin, mangkuk, dan beberapa kain yang tertata rapi kini bergeser dan berjatuhan tanpa alasan yang jelas.“Apa yang terjadi di dalam sana?” gumamnya dengan napas tersengal, keringat mulai membasahi dahinya.Ketika dia hendak kembali memukul pintu, sebuah kejadian tak biasa terjadi. Barang-barang di dalam rumah yang sebelumnya hanya jatuh, kini mulai bergerak seperti ada yang mengangkatnya. Kain-kain hitam
"Aku yakin udah bunuh dia! Tapi—"Bagas semakin diliputi kebingungan. Genderuwo itu perlahan memudar, seperti kabut yang tersapu angin. Tubuh Bagas akhirnya bisa digerakkan kembali. Namun, saat dia melihat lengannya, ada sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bulu-bulu kasar yang tadi bersentuhan dengan Genderuwo kini menempel di lengannya—tidak, bukan hanya menempel, tapi tumbuh di sana."Lengan ini... kenapa berbulu seperti ini?" Bagas bergumam, napasnya memburu. Dia mencoba mencabut salah satu bulu itu."Aah!" serunya, terkejut karena rasa sakit yang tajam menjalar dari lengannya. Itu nyata. Bukan hanya halusinasi."Ini nggak mungkin nyata!" Bagas mengguncang kepalanya, berharap semua ini hanyalah ilusi. Tapi rasa sakit tadi terlalu meyakinkan untuk diabaikan.Bagas memandang bulu-bulu itu dengan ngeri. "Ini harus aku cukur saat di rumah," katanya kepada dirinya sendiri, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kalut.Dengan perasaan tak karuan, Bagas melangkahkan kaki
"Kenapa badanku terpaku di sini?" Bagas berusaha menggerakkan tubuhnya, tetapi sia-sia. Seolah ada tali tak kasat mata yang mengikat erat setiap sendi tubuhnya. Tubuhnya kaku, seperti kayu yang tak bernyawa. Angin tiba-tiba berhembus semakin kencang, membuat ranting-ranting pohon berderit menyeramkan. Di tengah hembusan angin itu, Bagas merasakan sesuatu menyentuh lengannya, seperti helaian rambut yang tipis namun tajam. Dia memalingkan pandangan ke samping kirinya. Dan di sanalah dia muncul. Sosok itu berdiri, tinggi dan besar, dengan tubuh gelap yang seakan menyatu dengan bayangan pepohonan. Matanya menyala merah, penuh kebencian dan kejahatan. Itu adalah Genderuwo. 'D—dia... itu Gen—!' Bagas tak mampu menyelesaikan pikirannya. Tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Dia mencoba berbicara, ingin berteriak, tapi suara itu seolah terkunci di tenggorokannya. Bahkan napasnya terasa tersangkut di dada. Air mata mulai mengalir dari mata kirinya, tanpa bisa dia
"Siapa di sana?" seru Bagas, suaranya tegang. Sekelebat bayangan hitam melintas di antara pepohonan lebat. Bagas segera mendekati pohon tempat bayangan itu menghilang. Namun, saat dia mengintip di balik batangnya yang besar, tak ada siapa pun di sana. Hanya keheningan yang menemaninya. "Siapa tadi? Apa itu Ki Praja? Atau ... Genderuwo?" gumamnya sambil mencoba menenangkan diri. "Nggak mungkin itu Genderuwo ... dia sudah musnah, kan? Terbakar bersama jimat yang aku gunakan waktu itu." Bagas menggeleng, mencoba menepis pikirannya yang semakin liar. Tapi hutan itu terasa semakin menekan dirinya. Suasana di sekitarnya seakan berubah menjadi lebih gelap, lebih suram, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang. Dia menghirup napas dalam-dalam, tapi udara yang masuk terasa berat. Dadanya mulai sesak. "Haa!" Bagas terengah-engah, tangannya mencengkeram batang pohon untuk menopang tubuhnya yang mulai melemah. "Aku ... susah bernapas! Kenapa ini?" Keringat dingin membasahi