"Pembunuh itu ada di antara kita!" Suara lantang seorang pria tua di tengah kerumunan memecah suasana. Penduduk desa yang sejak tadi marah dan berteriak kini semakin mendidih emosinya Semua mata tertuju pada Bagas, yang berdiri diam di tengah lingkaran manusia yang dipenuhi amarah."Kyai, dia nggak perlu ke masjid! Suruh aja dia mengakuinya di sini! Kita sudah siapkan bara api untuk membakarnya!" teriak salah satu penduduk sambil menunjuk Bagas dengan penuh kebencian."Tenang-tenang! Tenang semuanya!" Kyai Ahmad mengangkat tongkat kayunya tinggi-tinggi, mencoba menenangkan massa yang nyaris tak terkendali.Penduduk desa mulai mereda, meski bisikan masih terdengar. Kyai Ahmad berkata tegas, "Jangan main hakim sendiri! Belum ada bukti Bagas bersalah!"Namun, di dalam hatinya, Kyai Ahmad bimbang. Dia ingat jelas malam itu, ketika melihat Bagas berdiri di tengah ladangnya. Di dekatnya, ada mayat dengan tubuh terkoyak, tapi Bagas tampak tenang—terlalu tenang, seolah pemandangan itu adala
"Kamu selamat, Bagas!"Bagas mendengar suara samar yang mirip dengan Ki Praja. Dia tersenyum puas, seolah sesuatu telah berjalan sesuai rencananya. Tanpa bicara sepatah kata pun, Bagas berbalik dan berjalan perlahan menjauh dari Ratih dan Kyai Ahmad."Mas Bagas!" panggil Ratih dengan suara nyaring.Namun, Bagas tak menoleh sedikit pun. Bahkan ucapan terima kasih kepada Kyai Ahmad yang sudah melerai kerumunan pun tak keluar dari mulutnya. Langkahnya mantap, meninggalkan kegelisahan di belakang.Ratih bergerak ingin mengejar suaminya, tapi tangannya dicegah oleh Kyai Ahmad. "Jangan, Nak Ratih," ucap Kyai Ahmad sambil menatap tajam ke arah Bagas yang semakin jauh.Ratih berbalik, bingung. "Kenapa, Kyai?" tanyanya, suaranya bergetar antara marah dan cemas.Kyai Ahmad menatapnya dengan serius. "Kejadian hari ini... seperti ada campur tangan ilmu hitam," katanya perlahan, seolah menimbang kata demi kata.Ratih terkejut. Matanya melebar, tapi tatapannya masih terpaku pada punggung suaminya y
"Jangan sentuh aku!"Ratih terbangun dari mimpi buruknya. Keringat mengucur deras dari kening. Napasnya tersengal sesak seperti orang yang sedang di buru sesuatu. "Nggak ... Nggak ... Jangan mimpi ini lagi!" Ratih semakin ketakutan. Tiba-tiba di hadapannya, terlihat samar sosok yang sering mengganggunya. Sosok itu perlahan Semakin mendekat. Lalu, tanpa di sangka sosok itu sudah berada tepat di depan wajahnya. Ratih teriak histeris. Badannya kaku, mulutnya tidak bisa berkata. Hanya teriakkan itu yang mengisi kamarnya. Tiba-tiba dia terbangun kembali dari mimpi buruknya."Ah, cuma mimpi!" ujarnya. Sambil membasuh keringat itu.Ratih kembali melihat sosok tersebut. Kini, sosok itu muncul di perutnya. Ratih gemetar, suaranya terdengar gagap. "Gen—Gen ... Genderowo!"Dadanya terasa sesak. Dia seakan tidak bisa lari dari hal tersebut. Tubuhnya benar-benar kaku. Matanya bertatapan dengan mata Genderuwo itu. "Aaaaa ...!" Ratih teriak sekencang-kencangnya."Ratih ... Ratih, bangun! Hei, b
Prank!Bagas membanting piring. Dia mengamuk begitu hebat."Kamu udah aku kasih taukan? Aku itu makan daging, bukan makan ini!" Dia melemparkan semua makanan yang ada di meja kelantai. Ratih hanya mengerutkan tubuhnya karena takut. "Kamu itu bisa di kasih tau nggak sih! Aku ini malas debat karena makan, Tih! Aku bilang daging mentah ya daging, nggak usah pakai makanan yang lain!" ujar Bagas begitu emosional.Ratih hanya bisa mengangguk sambil menahan tangis. Tubuhnya gemetar, tetapi dia tak berani mengucapkan sepatah kata pun. Amukan Bagas semakin menjadi-jadi. Tatapannya liat seperti binatang buas.Ratih berusaha membereskan pecahan piring di lantai. Namun, gerakan lambatnya justru membuat Bagas semakin marah."Berhenti berlagak lamban, Ratih! Cepat bersihkan itu senl aku benar-benar hilang kesabaran!" Bagas menggeram.Serpihan pecahan itu melukai jari Ratih. Darah menetes ke lantai. Tetapi, dia tidak mengeluh kesakitan.Bagas menatap darah di tangan Ratih dengan pandangan berbeda
"Aku minta kamu jangan dekat-dekat lagi sama Pak tua itu lagi. Ngerti?" suara Bagas tegas, tak meninggalkan ruang untuk perlawanan."Tapi Mas! Kyai orang baik, dia akan menolong kita dari perjanjianmu itu kan?" jawab Ratih sambil kembali ke dapur untuk membereskan meja makan.Namun, di dalam benaknya, kata-kata Kyai Ahmad terus terngiang. Panggilan itu terasa seperti peringatan, tetapi Ratih tidak berani membicarakannya dengan Bagas.Dia tahu bagaimana reaksi suaminya jika mendengar sesuatu yang dianggap mengganggu rutinitas mereka.Saat Ratih mencuci piring, pikirannya melayang ke mimpi buruk yang dialaminya tadi malam. Apa benar semuanya hanya mimpi? Bagas memang sering marah, tapi mimpi itu terasa terlalu nyata.Langkah kaki berat Bagas kembali terdengar mendekatinya. Ratih mencoba mengatur napasnya, bersiap menghadapi apa pun yang akan dikatakannya."Tih," suara Bagas datar, tapi ada nada aneh di dalamnya.Ratih berbalik, mendapati suaminya berdiri di ambang pintu dapur dengan eks
"Mas Bagas! Kamu kenapa?" Ratih mengguncang pelan tubuh Bagas yang tertidur di atas meja makan. Wajahnya penuh kekhawatiran. "Mas, kamu lagi sakit?" tanyanya cemas. Bagas membuka matanya perlahan, terlihat bingung. "Aku tadi... tertidur?" "Iya, Mas! Tiba-tiba aja kamu ketiduran," jawab Ratih dengan nada lembut. Bagas mengerutkan kening, seolah berusaha mengingat sesuatu. "Kyai Ahmad tadi ke sini?" tanyanya tiba-tiba, membuat Ratih terkejut. "Nggak, Mas. Kyai nggak pernah ke sini," jawab Ratih sambil mengerutkan alis, bingung dengan pertanyaan suaminya. Bagas memandangi meja di depannya, lalu bergumam pelan, nyaris tak terdengar. "Jadi... aku cuma mimpi? Tapi kenapa mimpinya begitu aneh?" Ratih menatapnya dengan sorot mata penuh tanya. "Mimpi apa, Mas?" Namun, Bagas tidak menjawab. Hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kemudian, Bagas berdiri. Dia berpamitan kepada istrinya untuk pergi ke ladang. Langkahnya dan pikirannya masih bertolak belakang. Mimpi itu tampak ny
Nada bicaranya bergetar tapi keberanian di matanya terlihat jelas. Semua petani terdiam. Udara terasa berat, seperti badai yang akan meledak. Bagas memandang tajam petani itu. Matanya menyala penuh amarah. "Kamu bilang apa tadi?!" Suaranya rendah, penuh ancaman. "Juragan saya hanya mendengar! Nggak lebih!" Petani itu mundur satu langkah. Tetapi, Bagas menghampirinya dengan langkah cepat. "Kalau begitu, dengar ini baik-baik!" Bagas langsung menampar wajah petani itu dengan keras. Membuatnya tersungkur ke tanah. Tidak puas, Bagas menendang beberapa kali. "Maaf, Juragan! Ampun!" Petani itu memohon sambil melindungi kepalanya dengan kedua tangan. Bagas membungkuk, mencengkeram kerah baju petani tersebut. Lalu, menariknya hingga wajah mereka sejajar. "Kamu punya istri, kan?" "I—iya, Juragan!" jawabnya terbata-bata. "Punya anak juga?" Bagas bertanya lagi, nadanya dingin. "I—iya, Juragan ...." Bagas mendorong petani itu hingga jatuh lagi ke tanah. "Mulai sekarang, kamu nggak kerja
"Ki, saya bingung. Kenapa nafsu saya terhadap makanan mentah semakin tak terkendali?" tanya Bagas dengan cemas. Ki Praja menatapnya datar. "Daging?" tanyanya. "Iya, Ki! Setiap kali melihat daging, perut saya langsung lapar! Percuma punya uang banyak, tapi nggak bisa makan yang lain!" keluh Bagas. Ki Praja menarik napas panjang. "Itulah risikonya. Ingat, Le, kamu dan Genderuwo sudah menjadi satu. Nafsu kalian pun kini terikat. Ini akibat perjanjian yang kau buat," jelas Ki Praja dengan tenang. Bagas terdiam mendengar penjelasan Ki Praja. Rasa cemas dan bingung semakin mencekam dirinya. Dia merasa seolah terperangkap dalam keputusan yang pernah ia buat tanpa benar-benar memahami akibatnya. Hatinya bergejolak, tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. "Jadi, ini memang tak bisa dihentikan?" tanya Bagas, suaranya terdengar lemah. Ki Praja mengangguk pelan. "Setiap perjanjian ada harga yang harus dibayar. Hawa nafsu yang menguasai tubuhmu itu adalah bagian dari pengikatan mu den
“Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?”“Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!”“Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu." "Bunuh
“Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te
"“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a
"“Kamu lihat itu, Bagus?” Taufik berbisik dengan suara gemetar. “Matanya... Bukan mata manusia lagi.” Malam menebarkan kabut pekat di atas Desa Karangjati. Bau tanah basah bercampur amis darah menggantung di udara. Di sela reruntuhan rumah dan jalan-jalan berlumpur, dua sosok bergerak cepat, berusaha menghindari perhatian. Taufik menarik Bagus bersembunyi di balik puing pagar kayu yang setengah roboh. Napas mereka memburu. Jarak beberapa meter di depan, Ratih berdiri. Di sekelilingnya, dua anak kecil — Jagat dan Kala — saling berbisik sambil tertawa kecil. Yang membuat bulu kuduk Taufik berdiri bukanlah suara tawa itu. Melainkan mata mereka. Mata Jagat dan Kala memancarkan sinar gelap, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik pupilnya — sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Taufik menggenggam lengan Bagus erat-erat. "Jangan lihat mereka terlalu lama," bisiknya. "Mereka... bukan anak biasa." Bagus menelan ludah. "Kita... kita harus tetap mengikuti mereka, kan?" Taufik
Angin malam menyapu deras di Desa Karangjati. Di bawah sinar bulan pucat, Balai Desa dipenuhi wajah-wajah gelisah. Para warga berbisik-bisik, matanya penuh kecurigaan yang membara. "Ini... semua ini gara-gara Ratih," bisik Pak Darmin, suaranya bergetar, menahan emosi. "Benar! Sejak dia kembali, kematian datang bertubi-tubi," sahut Bu Marni, matanya menyala penuh dendam. Dulah, kepala dusun yang biasanya tenang, berdiri di tengah kerumunan. Suaranya berat saat berbicara, "Tenang dulu, semua. Kita belum tahu apa-apa." "Apanya yang belum tahu?!" seru seorang lelaki dari belakang. "Bayi-bayi mati! Hewan ternak hancur! Semua kejadian buruk bermula setelah Ratih datang bersama dua anak setannya itu!" Kerumunan mulai riuh. Suasana berubah jadi lautan emosi liar yang hampir tak terkendali. Bagus, seorang pemuda desa, maju dengan wajah suram. "Aku... aku pernah melihat sendiri," katanya, suaranya bergetar. Semua mata menoleh. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang berani menyela. "Aku
“Wuh, enak sekali ya, tubuhnya harum,” gumam Indra sambil menjilat bibirnya sendiri. Langkahnya menelusuri jalan setapak di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Hutan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan bejatnya terhadap Ratih. Indra tak bisa menghilangkan bayangan wajah Ratih dari kepalanya. Senyuman Ratih, tubuhnya, tatapannya—semua masih melekat kuat dalam pikirannya. “Wajah itu... sangat cantik,” gumamnya pelan. Dia menyeringai puas, tenggelam dalam lamunannya, hingga tanpa sadar... SROK! “Auh!” teriaknya. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam lubang cukup dalam, tubuhnya membentur tanah keras. Kaki kanannya terasa nyeri luar biasa, seperti terkilir atau mungkin patah. “Brengsek! Bagaimana bisa aku nggak lihat lubang ini?” makinya sambil mencoba berdiri. Tapi begitu berat. Kakinya benar-benar tidak bisa menopang tubuhnya.Dia mulai berteriak. “Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku jatuh!” Namun siapa yang akan mendengarnya di tengah hutan lebat dan gelap seperti ini? Hanya sua
"Pak, tolong selesaikan rumah ini!" Ratih menyerahkan sejumlah uang kepada seorang pekerja bangunan. Namun, pria itu menolak dengan halus. "Maaf, Mbak. Saya nggak bisa melanjutkan ini," katanya sambil terus menatap pondasi rumah yang dulu pernah dikerjakan oleh almarhum Bagas. Ratih menyilangkan lengannya. "Kenapa, Pak? Apakah uangnya kurang? Kalau soal uang, saya bisa menambahkannya beberapa bulan lagi. Saya harus kerja dulu." Tapi, pria itu terlihat gugup dan ketakutan. "Bukan itu masalahnya, Bu. Maaf, saya benar-benar nggak bisa," ujarnya sambil terburu-buru pergi, meninggalkan Ratih yang masih berdiri kebingungan. "Ada apa dengannya?" gumam Ratih. Raut wajah pria itu seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang sangat mengerikan.*** Beberapa hari kemudian, Ratih tetap berusaha mencari pekerja bangunan lain yang mau menyelesaikan rumahnya. "Bagaimana ini? Semua orang menolak. Nggak ada yang mau mengerjakan rumah ini. Bagaimana kalau apa yang dikhawatirkan Mas Baga
"Jagat... Kala, hentikan!"Suasana begitu mencekam.Ratih berdiri dengan tubuh gemetar, matanya tak bisa lepas dari pemandangan mengerikan di hadapannya. Jagat dan Kala sedang melahap beberapa kambing hidup. Daging dan darah segar berceceran, memenuhi tanah kandang ternak.Mereka seperti binatang buas yang kelaparan. Tidak—mereka lebih dari itu. Mereka bukan lagi manusia sepenuhnya.Walaupun Kala tampak lebih normal, tetap saja sifat iblis mengalir dalam darahnya, sama seperti Jagat, kakaknya.Kala menoleh dengan mulut berlumuran darah."Ini enak, Bu. Mau coba?"Suara itu tidak keluar dari mulutnya—suara itu menggema di dalam kepala Ratih.Ratih melangkah mundur, tangannya mencengkeram dadanya yang terasa sesak. Mata kedua anaknya semakin tajam, semakin menyeramkan.Dan yang lebih menakutkan—mereka bahkan tidak ragu untuk menyerangnya."Jagat... Kala! Hentikan perbuatan kalian!"Ratih berteriak, suaranya menggema di kandang ternak milik seorang warga yang baru saja pindah ke desa Sumb
"Jangan...!"Napas Ratih memburu, memenuhi ruangan yang kini terasa semakin sempit. Tubuhnya gemetar hebat, peluh membasahi pelipisnya."Tidak mungkin... Ini tidak akan terjadi!"Ratih berdiri dari duduknya dengan tergesa, tangannya meraih teko air di atas meja dan meneguk beberapa gelas sekaligus. Namun, rasa sesak di dadanya tak kunjung mereda."Mimpi itu datang lagi!"Tangan Ratih semakin gemetar. Keringat dingin mengalir deras di punggungnya. Kenapa dia selalu bermimpi buruk tentang masa depan? Mengapa bayangan Jagat dan Kala yang berubah menjadi sosok mengerikan selalu menghantuinya?Dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya terus berkecamuk."Tidak mungkin ini akan terjadi, kan? Apa yang harus aku lakukan jika semua itu benar-benar terjadi?"Krek!Ratih terperanjat.Suara itu datang dari belakangnya—suara seperti kuku yang mencakar kayu.Krek!Kali ini suara itu semakin jelas. Seolah-olah sesuatu sedang merayap mendekat.Ratih membeku. Tangannya men