Home / Horor / Pesugihan Genderuwo / 79. Ikatan Semakin Erat

Share

79. Ikatan Semakin Erat

Author: Wenchetri
last update Last Updated: 2024-12-07 15:49:05

"Aku minta kamu jangan dekat-dekat lagi sama Pak tua itu lagi. Ngerti?" suara Bagas tegas, tak meninggalkan ruang untuk perlawanan.

"Tapi Mas! Kyai orang baik, dia akan menolong kita dari perjanjianmu itu kan?" jawab Ratih sambil kembali ke dapur untuk membereskan meja makan.

Namun, di dalam benaknya, kata-kata Kyai Ahmad terus terngiang. Panggilan itu terasa seperti peringatan, tetapi Ratih tidak berani membicarakannya dengan Bagas.

Dia tahu bagaimana reaksi suaminya jika mendengar sesuatu yang dianggap mengganggu rutinitas mereka.

Saat Ratih mencuci piring, pikirannya melayang ke mimpi buruk yang dialaminya tadi malam. Apa benar semuanya hanya mimpi? Bagas memang sering marah, tapi mimpi itu terasa terlalu nyata.

Langkah kaki berat Bagas kembali terdengar mendekatinya. Ratih mencoba mengatur napasnya, bersiap menghadapi apa pun yang akan dikatakannya.

"Tih," suara Bagas datar, tapi ada nada aneh di dalamnya.

Ratih berbalik, mendapati suaminya berdiri di ambang pintu dapur dengan eks
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Pesugihan Genderuwo   80. Penyakit tidak Wajar

    "Mas Bagas! Kamu kenapa?" Ratih mengguncang pelan tubuh Bagas yang tertidur di atas meja makan. Wajahnya penuh kekhawatiran. "Mas, kamu lagi sakit?" tanyanya cemas. Bagas membuka matanya perlahan, terlihat bingung. "Aku tadi... tertidur?" "Iya, Mas! Tiba-tiba aja kamu ketiduran," jawab Ratih dengan nada lembut. Bagas mengerutkan kening, seolah berusaha mengingat sesuatu. "Kyai Ahmad tadi ke sini?" tanyanya tiba-tiba, membuat Ratih terkejut. "Nggak, Mas. Kyai nggak pernah ke sini," jawab Ratih sambil mengerutkan alis, bingung dengan pertanyaan suaminya. Bagas memandangi meja di depannya, lalu bergumam pelan, nyaris tak terdengar. "Jadi... aku cuma mimpi? Tapi kenapa mimpinya begitu aneh?" Ratih menatapnya dengan sorot mata penuh tanya. "Mimpi apa, Mas?" Namun, Bagas tidak menjawab. Hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kemudian, Bagas berdiri. Dia berpamitan kepada istrinya untuk pergi ke ladang. Langkahnya dan pikirannya masih bertolak belakang. Mimpi itu tampak ny

    Last Updated : 2024-12-07
  • Pesugihan Genderuwo   81. Terbelenggu

    Nada bicaranya bergetar tapi keberanian di matanya terlihat jelas. Semua petani terdiam. Udara terasa berat, seperti badai yang akan meledak. Bagas memandang tajam petani itu. Matanya menyala penuh amarah. "Kamu bilang apa tadi?!" Suaranya rendah, penuh ancaman. "Juragan saya hanya mendengar! Nggak lebih!" Petani itu mundur satu langkah. Tetapi, Bagas menghampirinya dengan langkah cepat. "Kalau begitu, dengar ini baik-baik!" Bagas langsung menampar wajah petani itu dengan keras. Membuatnya tersungkur ke tanah. Tidak puas, Bagas menendang beberapa kali. "Maaf, Juragan! Ampun!" Petani itu memohon sambil melindungi kepalanya dengan kedua tangan. Bagas membungkuk, mencengkeram kerah baju petani tersebut. Lalu, menariknya hingga wajah mereka sejajar. "Kamu punya istri, kan?" "I—iya, Juragan!" jawabnya terbata-bata. "Punya anak juga?" Bagas bertanya lagi, nadanya dingin. "I—iya, Juragan ...." Bagas mendorong petani itu hingga jatuh lagi ke tanah. "Mulai sekarang, kamu nggak kerja

    Last Updated : 2024-12-07
  • Pesugihan Genderuwo   82. Keputusan Berat

    "Ki, saya bingung. Kenapa nafsu saya terhadap makanan mentah semakin tak terkendali?" tanya Bagas dengan cemas. Ki Praja menatapnya datar. "Daging?" tanyanya. "Iya, Ki! Setiap kali melihat daging, perut saya langsung lapar! Percuma punya uang banyak, tapi nggak bisa makan yang lain!" keluh Bagas. Ki Praja menarik napas panjang. "Itulah risikonya. Ingat, Le, kamu dan Genderuwo sudah menjadi satu. Nafsu kalian pun kini terikat. Ini akibat perjanjian yang kau buat," jelas Ki Praja dengan tenang. Bagas terdiam mendengar penjelasan Ki Praja. Rasa cemas dan bingung semakin mencekam dirinya. Dia merasa seolah terperangkap dalam keputusan yang pernah ia buat tanpa benar-benar memahami akibatnya. Hatinya bergejolak, tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. "Jadi, ini memang tak bisa dihentikan?" tanya Bagas, suaranya terdengar lemah. Ki Praja mengangguk pelan. "Setiap perjanjian ada harga yang harus dibayar. Hawa nafsu yang menguasai tubuhmu itu adalah bagian dari pengikatan mu den

    Last Updated : 2024-12-07
  • Pesugihan Genderuwo   83. Gantung Diri

    "Mas Agung! Kenapa Mas tega ninggalin aku?!" Suara tangis istrinya memecah keheningan, menggema di antara bayangan tubuh yang tergantung kaku.Tetangga mulai berdatangan, wajah mereka penuh rasa cemas."Ayo-ayo, cepat bantu turunkan jasadnya!" seru seorang pria sambil menunjuk ke arah tali."Ambil kursi! Potong talinya dulu!" sahut yang lain.Mereka bergotong-royong menurunkan tubuh Agung yang tergantung di balok kayu. Saat tubuhnya akhirnya terbaring di lantai, istrinya langsung memeluk jasad itu dengan tangisan memilukan."Mas Agung! Kenapa tega ninggalin aku?!" jerit istrinya sambil tersedu.Seorang ibu-ibu memberanikan diri mendekat."Mbak, kok bisa nggak tahu kondisi Mas Agung?" tanyanya lirih.Istri Agung hanya menangis, tubuhnya bergetar, tanpa sepatah kata keluar dari bibirnya. Tetangga mulai berbisik-bisik, suara mereka semakin lantang."Eh, Bu! Ku rasa ini gara-gara istrinya, deh," ujar seorang wanita sambil melirik tajam."Kok bisa begitu?" sahut yang lain penasaran."Iya,

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pesugihan Genderuwo   84. Rumah Duka

    "Juragan! Agung meninggal gantung diri!" seru seorang petani yang baru tiba di ladang dengan wajah panik. Bagas, yang tengah duduk santai di bawah pohon sambil menikmati rokoknya, hanya melirik sekilas. Bukannya menunjukkan rasa kaget atau iba. Dia justru menyunggingkan senyum tipis, senyum yang lebih terasa seperti ejekan. Bagas menghembuskan asap rokok perlahan, lalu berkata dengan nada datar, "Ya sudah, ngapain laporan sama saya?" Petani itu terdiam, bingung harus merespons bagaimana. Sementara Bagas, tanpa sedikit pun terganggu, kembali menikmati rokoknya, seolah kabar itu bukan apa-apa baginya. "Di sana lagi ricuh bicarakan Juragan!" ucap si petani, nadanya seolah sengaja ingin memancing emosi Bagas. Bagas menghentikan gerakannya sejenak, lalu mematikan puntung rokoknya dengan cepat. Wajahnya yang tadi terlihat santai berubah drastis. Tatapan dingin berganti dengan sorot penuh amarah, sementara langkahnya langsung tegap dan tergesa. Tanpa sepatah kata, Bagas bergegas meni

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pesugihan Genderuwo   85. Ratapan

    "Mas, maafkan aku!" Istri Agung menangis tersedu di atas batu nisan suaminya. Tangannya gemetar saat mengusap tulisan nama yang terukir di sana. Air matanya mengalir deras, menyatu dengan tanah merah yang masih basah. Ratih duduk di sampingnya, ragu-ragu, tetapi tetap mencoba memberikan dukungan. "Mbak, ikhlaskan suaminya, ya. Biar lapang jalannya di sana," ujarnya dengan nada lembut. Namun, Istri Agung tiba-tiba menoleh dengan tatapan liar. Matanya yang sembab dan merah penuh amarah. "Apa kamu?! Pergi kamu sana! Ini semua karena kalian!" teriaknya, suaranya pecah seperti lonceng yang retak. Ratih terkejut dan mundur beberapa langkah, tetapi sebelum dia bisa merespons, Istri Agung sudah berdiri. Dia mulai mengacak-acak rambutnya sendiri, berteriak-teriak seperti orang kehilangan akal. "Semua ini salah kalian! Salah kalian semua! Kenapa suamiku? Kenapa bukan kalian yang mati?! Kenapa?!" jeritnya, tangannya meraih gumpalan tanah dan melemparkannya ke arah para pelayat yang menc

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pesugihan Genderuwo   86. Depresi

    "Jangan ambil suamiku!"Istri Agung semakin larut dalam depresinya. Tingkah lakunya kian hari kian menunjukkan tanda-tanda kehilangan akal sehat. Dia sering berbicara sendiri, tertawa di tengah tangis, atau bahkan memeluk foto suaminya dengan erat, seolah-olah Agung masih hidup.Kini, dia benar-benar hidup seorang diri. Anak tirinya menolak tinggal bersamanya dan lebih memilih menetap di kota bersama keluarga dari ibunya—istri pertama Agung yang telah lama meninggal. Rumah itu pun semakin terasa sunyi, hanya diisi oleh suara rintihan dan jeritan malam Istri Agung yang menggema tanpa jawaban."Mas Agung ... Kemana kamu!"Suara Istri Agung melengking, penuh dengan kegelisahan dan emosi yang tak terkendali. Dia berbicara dengan nada bahagia, lalu seketika berubah menjadi tangisan yang memilukan, seakan hatinya diaduk-aduk oleh kenangan dan kesedihan.Ratih yang kebetulan melintas di dekat rumahnya melihat sesuatu yang mengejutkan. Istri Agung sedang jongkok di tanah, mencabut dan memak

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pesugihan Genderuwo   87. Kobaran Api

    "Tolong... tolong!"Suara teriakan warga memecah keheningan malam, membangunkan penduduk desa dari tidur mereka. Dentingan kelontongan dipukul keras, menggema di tengah gelap."Api! Rumah almarhum Agung terbakar!" seru seseorang dengan panik.Langit malam memerah, diterangi kobaran api yang semakin membesar. Asap hitam mengepul ke udara, menyesakkan napas siapa saja yang berada di dekatnya."Air! Cepat ambil air!" teriak beberapa warga sambil berlarian, membawa ember dan alat seadanya untuk memadamkan api.Namun, di tengah kekacauan itu, sebuah suara memekik dengan nada putus asa. "Istri Agung masih di dalam!" ujar salah seorang warga dengan wajah penuh ketakutan.Semua orang tersentak. Tatapan mereka tertuju pada rumah yang sudah hampir dilalap api. Namun, tak ada yang cukup berani untuk masuk. Hanya jeritan dan kekacauan yang terus terdengar di malam mencekam itu.Teriakan itu sampai ke telinga Bagas dan Ratih yang tengah berada di dalam rumah."Mas, itu kayaknya ada kebakaran!" Rat

    Last Updated : 2024-12-09

Latest chapter

  • Pesugihan Genderuwo   266. Desa Pesugihan

    "Abah... mereka semua meninggal!" Keringat dingin mengucur deras di pelipis Feri. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Puluhan, bahkan ratusan mayat warga Desa Karangjati tergeletak tak bernyawa di sekitar ladang milik Bagas. Tidak satu pun yang selamat. Tanah coklat itu kini berubah menjadi lautan merah. Darah segar meresap ke dalam bumi, dan bau anyir menyengat memenuhi udara malam. Angin berembus pelan, seakan membawa bisikan kutukan yang tak akan pernah berhenti. "Ratih... dan anak-anaknya mana?" tanya Feri dengan suara lirih, matanya liar menatap sekeliling. Kyai Ahmad menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Namun tak ada jejak Ratih, Jagat, ataupun Kala. Seolah mereka lenyap ditelan kegelapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Abah?" Kyai Ahmad menghela napas panjang. Matanya yang tua menyiratkan kepedihan dan penyesalan mendalam. "Siapkan kuburan massal untuk mereka semua," ucapnya pelan. Saat matahar

  • Pesugihan Genderuwo   265. Kehancuran Desa Karangjati

    "Jangan takut! Bakar istri dan anaknya, cepat!" Warga yang berlarian kembali ke balai desa. Mereka menyeret Ratih dan membawa kotak yang berisi kedua anak Ratih. Kali ini, nyawa Ratih benar-benar di ujung tanduk. Warga sudah tidak punya rasa iba lagi terhadap mereka. Pengalihan dan penjelasan yang dikatakan Kyai Ahmad bagai angin lalu. Tidak ada ampun, bahkan pengampunan pun tidak. "Seret dia ke ladang!" perintah seseorang yang sejak tadi menjadi provokator warga. Feri, yang dulu sempat menjadi korban Bagas, hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Usahanya menghalangi warga justru berbuah pukulan keras. "Abah, bagaimana ini? Mereka sudah tidak mau mendengarkan kita!" ujar Feri. Sementara itu, Ratih dijambak dan diseret ke ladang miliknya dulu yang kini tandus. Injakkan keras bertubi-tubi menghantam badan dan wajahnya. Darah mulai mengucur cukup banyak. Ratih melemah, tak ada pergerakan yang bisa menghalangi setiap pukulan. Warga membabi buta. Sementara itu, sosok

  • Pesugihan Genderuwo   264. Penyebab

    "Ratih! Kamu harus bertanggung jawab! Suamimu penyebab semua ini!” Suara ricuh terdengar di depan rumah Ratih. Bebrapa warga telah menyalakan obor. Hal ini sama persis dengan kejadian ketika Bagas hampir di eksekusi oleh seluruh warga desa. "Tenang ... harap tenang!" ucap Feri. Namun, ucapan itu hanya menenagkan sekian detik amarah seluruh warga desa. Setelahnya mereka mendobrak pintu rumah Ratih tanpa aba-aba. Terlihat jelas, Ratih ketakutan sambil menggendong kedua anak kembarnya. Ratih beruaha untuk melarikan diri. Tapi, apalah daya, semua warga desa telah mengepung rumahnya. Ratih di geret dan di lepaskan dari kedua anak iblisnya. Beberapa pukulan melayang ke wajah Ratih. Sedangkan anaknya di masukkan ke dalam box yang telah berisikan beberapa mantra dari dukun. Kyai Ahmad serta beberapa santrinya menarik paksa Ratih."Serahkan Ratih! Biar dia menebus dosanya!” Suara-suara keras menggema di tengah alun-alun desa, diiringi obor-obor yang berkobar liar, menciptakan bayang-ba

  • Pesugihan Genderuwo   263. Pembantaian

    “Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?” “Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!” “Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu.

  • Pesugihan Genderuwo   262. Teror

    “Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te

  • Pesugihan Genderuwo   261. Bisikan Balita IBlis

    "“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a

  • Pesugihan Genderuwo   260. Kebenaran Terkubur

    "“Kamu lihat itu, Bagus?” Taufik berbisik dengan suara gemetar. “Matanya... Bukan mata manusia lagi.” Malam menebarkan kabut pekat di atas Desa Karangjati. Bau tanah basah bercampur amis darah menggantung di udara. Di sela reruntuhan rumah dan jalan-jalan berlumpur, dua sosok bergerak cepat, berusaha menghindari perhatian. Taufik menarik Bagus bersembunyi di balik puing pagar kayu yang setengah roboh. Napas mereka memburu. Jarak beberapa meter di depan, Ratih berdiri. Di sekelilingnya, dua anak kecil — Jagat dan Kala — saling berbisik sambil tertawa kecil. Yang membuat bulu kuduk Taufik berdiri bukanlah suara tawa itu. Melainkan mata mereka. Mata Jagat dan Kala memancarkan sinar gelap, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik pupilnya — sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Taufik menggenggam lengan Bagus erat-erat. "Jangan lihat mereka terlalu lama," bisiknya. "Mereka... bukan anak biasa." Bagus menelan ludah. "Kita... kita harus tetap mengikuti mereka, kan?" Taufik

  • Pesugihan Genderuwo   259. Amarah

    Angin malam menyapu deras di Desa Karangjati. Di bawah sinar bulan pucat, Balai Desa dipenuhi wajah-wajah gelisah. Para warga berbisik-bisik, matanya penuh kecurigaan yang membara. "Ini... semua ini gara-gara Ratih," bisik Pak Darmin, suaranya bergetar, menahan emosi. "Benar! Sejak dia kembali, kematian datang bertubi-tubi," sahut Bu Marni, matanya menyala penuh dendam. Dulah, kepala dusun yang biasanya tenang, berdiri di tengah kerumunan. Suaranya berat saat berbicara, "Tenang dulu, semua. Kita belum tahu apa-apa." "Apanya yang belum tahu?!" seru seorang lelaki dari belakang. "Bayi-bayi mati! Hewan ternak hancur! Semua kejadian buruk bermula setelah Ratih datang bersama dua anak setannya itu!" Kerumunan mulai riuh. Suasana berubah jadi lautan emosi liar yang hampir tak terkendali. Bagus, seorang pemuda desa, maju dengan wajah suram. "Aku... aku pernah melihat sendiri," katanya, suaranya bergetar. Semua mata menoleh. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang berani menyela. "Aku

  • Pesugihan Genderuwo   258. Pembalasan

    “Wuh, enak sekali ya, tubuhnya harum,” gumam Indra sambil menjilat bibirnya sendiri. Langkahnya menelusuri jalan setapak di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Hutan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan bejatnya terhadap Ratih. Indra tak bisa menghilangkan bayangan wajah Ratih dari kepalanya. Senyuman Ratih, tubuhnya, tatapannya—semua masih melekat kuat dalam pikirannya. “Wajah itu... sangat cantik,” gumamnya pelan. Dia menyeringai puas, tenggelam dalam lamunannya, hingga tanpa sadar... SROK! “Auh!” teriaknya. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam lubang cukup dalam, tubuhnya membentur tanah keras. Kaki kanannya terasa nyeri luar biasa, seperti terkilir atau mungkin patah. “Brengsek! Bagaimana bisa aku nggak lihat lubang ini?” makinya sambil mencoba berdiri. Tapi begitu berat. Kakinya benar-benar tidak bisa menopang tubuhnya.Dia mulai berteriak. “Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku jatuh!” Namun siapa yang akan mendengarnya di tengah hutan lebat dan gelap seperti ini? Hanya sua

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status