"Juragan! Agung meninggal gantung diri!" seru seorang petani yang baru tiba di ladang dengan wajah panik. Bagas, yang tengah duduk santai di bawah pohon sambil menikmati rokoknya, hanya melirik sekilas. Bukannya menunjukkan rasa kaget atau iba. Dia justru menyunggingkan senyum tipis, senyum yang lebih terasa seperti ejekan. Bagas menghembuskan asap rokok perlahan, lalu berkata dengan nada datar, "Ya sudah, ngapain laporan sama saya?" Petani itu terdiam, bingung harus merespons bagaimana. Sementara Bagas, tanpa sedikit pun terganggu, kembali menikmati rokoknya, seolah kabar itu bukan apa-apa baginya. "Di sana lagi ricuh bicarakan Juragan!" ucap si petani, nadanya seolah sengaja ingin memancing emosi Bagas. Bagas menghentikan gerakannya sejenak, lalu mematikan puntung rokoknya dengan cepat. Wajahnya yang tadi terlihat santai berubah drastis. Tatapan dingin berganti dengan sorot penuh amarah, sementara langkahnya langsung tegap dan tergesa. Tanpa sepatah kata, Bagas bergegas meni
"Mas, maafkan aku!" Istri Agung menangis tersedu di atas batu nisan suaminya. Tangannya gemetar saat mengusap tulisan nama yang terukir di sana. Air matanya mengalir deras, menyatu dengan tanah merah yang masih basah. Ratih duduk di sampingnya, ragu-ragu, tetapi tetap mencoba memberikan dukungan. "Mbak, ikhlaskan suaminya, ya. Biar lapang jalannya di sana," ujarnya dengan nada lembut. Namun, Istri Agung tiba-tiba menoleh dengan tatapan liar. Matanya yang sembab dan merah penuh amarah. "Apa kamu?! Pergi kamu sana! Ini semua karena kalian!" teriaknya, suaranya pecah seperti lonceng yang retak. Ratih terkejut dan mundur beberapa langkah, tetapi sebelum dia bisa merespons, Istri Agung sudah berdiri. Dia mulai mengacak-acak rambutnya sendiri, berteriak-teriak seperti orang kehilangan akal. "Semua ini salah kalian! Salah kalian semua! Kenapa suamiku? Kenapa bukan kalian yang mati?! Kenapa?!" jeritnya, tangannya meraih gumpalan tanah dan melemparkannya ke arah para pelayat yang menc
"Jangan ambil suamiku!"Istri Agung semakin larut dalam depresinya. Tingkah lakunya kian hari kian menunjukkan tanda-tanda kehilangan akal sehat. Dia sering berbicara sendiri, tertawa di tengah tangis, atau bahkan memeluk foto suaminya dengan erat, seolah-olah Agung masih hidup.Kini, dia benar-benar hidup seorang diri. Anak tirinya menolak tinggal bersamanya dan lebih memilih menetap di kota bersama keluarga dari ibunya—istri pertama Agung yang telah lama meninggal. Rumah itu pun semakin terasa sunyi, hanya diisi oleh suara rintihan dan jeritan malam Istri Agung yang menggema tanpa jawaban."Mas Agung ... Kemana kamu!"Suara Istri Agung melengking, penuh dengan kegelisahan dan emosi yang tak terkendali. Dia berbicara dengan nada bahagia, lalu seketika berubah menjadi tangisan yang memilukan, seakan hatinya diaduk-aduk oleh kenangan dan kesedihan.Ratih yang kebetulan melintas di dekat rumahnya melihat sesuatu yang mengejutkan. Istri Agung sedang jongkok di tanah, mencabut dan memak
"Tolong... tolong!"Suara teriakan warga memecah keheningan malam, membangunkan penduduk desa dari tidur mereka. Dentingan kelontongan dipukul keras, menggema di tengah gelap."Api! Rumah almarhum Agung terbakar!" seru seseorang dengan panik.Langit malam memerah, diterangi kobaran api yang semakin membesar. Asap hitam mengepul ke udara, menyesakkan napas siapa saja yang berada di dekatnya."Air! Cepat ambil air!" teriak beberapa warga sambil berlarian, membawa ember dan alat seadanya untuk memadamkan api.Namun, di tengah kekacauan itu, sebuah suara memekik dengan nada putus asa. "Istri Agung masih di dalam!" ujar salah seorang warga dengan wajah penuh ketakutan.Semua orang tersentak. Tatapan mereka tertuju pada rumah yang sudah hampir dilalap api. Namun, tak ada yang cukup berani untuk masuk. Hanya jeritan dan kekacauan yang terus terdengar di malam mencekam itu.Teriakan itu sampai ke telinga Bagas dan Ratih yang tengah berada di dalam rumah."Mas, itu kayaknya ada kebakaran!" Rat
"Astagfirullah, ini jasad istri Agung?!" seru seorang pria dengan wajah pucat.Di hadapan mereka, tubuh itu hangus terbakar. Kulitnya menempel pada tulang, sebagian besar sudah meleleh hingga tak berbentuk. Wajahnya sama sekali tidak bisa dikenali.Namun, beberapa helai rambut yang tersisa di kepala memberi petunjuk siapa dia. Pemandangan itu begitu mengerikan, membuat beberapa orang warga yang melihat langsung berpaling karena tak sanggup menahan rasa mual."Ya Allah, mengenaskan sekali," bisik seorang wanita tua dengan suara gemetar."Ini benar-benar tragis," sahut pria lain sambil menutup hidungnya dengan kain karena bau menyengat dari jasad itu.Warga mulai berbisik-bisik, menyaksikan pemandangan memilukan di depan mereka. Rumah dan mayat itu tampak seakan menjadi satu warna, hitam dan abu-abu, seperti melambangkan akhir hidup yang penuh kesedihan."Aku rasa dia bakar rumahnya sendiri, Bu," bisik seorang wanita berkerudung kepada tetangganya."Iya," sahut wanita lain. "Tadi pagi a
"Eh, ini apa?!" Dia berjongkok, menggali dengan jarinya. Namun, semakin dalam dia menggali, semakin yakin bahwa apa yang dilihatnya bukanlah sesuatu yang biasa.Tanah yang lembab itu mengungkapkan sesuatu yang menyerupai kulit membiru, berbau anyir busuk. Cairan seperti minyak lengket merembes keluar, membuat beberapa petani yang melihatnya mundur selangkah."Coba pakai pacul, biar lebih jelas!" saran seorang petani lain, yang berdiri di belakangnya dengan raut wajah penasaran.Petani pertama mengangguk, mengambil pacul dan mulai menggali lebih dalam."Astaga!" teriaknya terhenti, wajahnya pucat pasi. "Ini... ini bukan kulit biasa!"Petani lain saling pandang dengan ketakutan, mulai menyadari ada sesuatu yang mengerikan terkubur di sana."Eh ... eh, sebentar! Kok hitam begini?!" seru seorang petani dengan nada heran, matanya tak lepas dari tanah yang mereka gali.Semua terdiam sejenak, saling pandang dengan raut wajah bingung. Namun rasa penasaran mereka mendorong untuk terus mengga
Tok! Tok!"Kyai Ahmad!"Gugun berbisik sambil mengetuk pintu. Petani itu berusaha untuk tetap tenang. Namun, ekspresi mereka tidak bisa di bohongi. "Buruan, ayo cepat!" desak Noles—petani lainnya."Ssst, sabar sedikit," tegur Gugun, suaranya lebih rendah dari sebelumnya.Petani terus mengetuk pintu itu lebih keras. Sedangkan, teman yang lainnya, melihat situasi di sekitar rumah Kyai. Mereka benar-benar tidak ingin orang mengetahui. Mereka berusaha untuk tidak membuat keributan sedikitpun. "Kalau ketahuan sama Juragan Bagas, kita habis!" bisik Sunta, matanya melirik ke arah jalan setapak."Kita nggak akan ketahuan, asal kalian jangan berisik!" sahut Gugun dengan nada kesal.Mereka kembali mengetuk pintu, kali ini lebih keras. Namun, suara itu masih belum membuat Kyai Ahmad terbangun."Eh, dia tidur pules banget, ya?" gumam Warto."Ssst! Diam! Jangan banyak omong!" perintah Gugun sambil menoleh tajam.Mereka berdiri tegang di depan pintu, berharap Kyai Ahmad segera membuka tanpa men
"Jasadnya nggak wajar!"Warga berkerumun di depan rumah Kyai Ahmad, menatap ngeri pada jasad keempat petani yang tergeletak kaku."Kyai, apa nggak mendengar sesuatu semalam?" tanya salah satu warga dengan nada cemas."Saya benar-benar nggak tahu apa-apa!" jawab Kyai, wajahnya penuh kebingungan."Tapi lihat jasad mereka, sangat mengerikan!" sahut yang lain, suaranya bergetar.Kyai Ahmad hanya bisa diam. Tidak ada jeritan, tidak ada tanda-tanda aneh semalam—semuanya terasa seperti misteri. Jenazah keempat petani itu telah dikebumikan. Awalnya, suasana desa kembali tenang, hingga malam tahlilan digelar di rumah Kyai Ahmad. Namun, ketenangan itu berubah menjadi kepanikan saat beberapa warga tiba-tiba kerasukan.Tubuh mereka bergetar hebat, suara mereka berubah, menyerupai keempat petani yang telah meninggal. Mereka berbicara dengan nada putus asa, meminta tolong."Kami terjebak di tanah! Tolong keluarkan kami!" teriak salah satu warga yang kerasukan, matanya membelalak ketakutan."Tolon
"Udahlah, Fer! Kasihan dia!" kata Umar, teman Feri, dengan nada tegas.Umar berjalan ke arah pintu dan membukanya perlahan. Di balik punggungnya, Feri yang masih diliputi ketakutan segera bersembunyi, hanya menampakkan separuh wajahnya."Ada apa, Mas?" tanya Umar dengan nada datar, menghadapi Bagas yang berdiri dengan ekspresi cemas dan gelisah."Ada Kyai? Saya harus bicara dengan Kyai Ahmad," ucap Bagas buru-buru, nada suaranya mendesak.Umar menghela napas. "Abah sedang nggak di tempat, Mas."Bagas terdiam sesaat, pandangannya menelisik wajah Umar, mencoba membaca kejujurannya. "Kapan beliau kembali?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih terkontrol, meskipun ketegangan masih terasa.Umar menatap Bagas dengan tenang, tetapi perhatiannya terganggu oleh gerakan kecil di belakangnya. Feri, yang bersembunyi dengan gelisah, tampak mencoba menghindari kontak mata dengan Bagas. Umar segera melangkah ke depan, menutupi tubuh Feri sepenuhnya dengan postur tubuhnya yang lebih besar.
"Kyai!" panggil Bagas dengan suara keras di depan rumah Kyai Ahmad. Hembusan napasnya berat, mencerminkan keputusasaan yang menyelimuti hatinya. Terdengar suara langkah mendekat dari dalam. Gagang pintu perlahan bergerak, menandakan seseorang akan keluar. Namun, alih-alih Kyai Ahmad, sosok pria lain muncul—Feri. Bagas terkejut melihatnya. Wajah Feri pucat seketika saat mengenali Bagas. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar, mengingat kejadian masa lalu yang membuatnya hampir kehilangan nyawa karena ulah Bagas. "Ma—Mas Bagas?" Feri tergagap, suaranya bergetar. Dia berdiri di ambang pintu, seolah ingin memastikan bahwa pria di hadapannya itu nyata. Bagas, yang masih diliputi kebingungan dan kegelisahan, hanya menatap Feri tanpa banyak bicara. Namun, sorot matanya yang penuh tekanan membuat Feri semakin cemas. Rasa trauma yang mendalam kembali menyeruak di hati Feri. Dalam sekejap, dia menarik napas panjang dan s
"Jangan!" Bagas berteriak keras, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan napasnya tersengal-sengal saat ia terbangun dari tidur yang mencekam. Tangannya gemetar hebat, tubuhnya terasa kaku, sementara matanya melotot penuh ketakutan. "Apa itu tadi? Apa—apa yang terjadi padaku?" Bagas bergumam dengan suara parau, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memahami apa yang baru saja ia alami. Mimpi itu terlalu nyata. Dalam mimpi tersebut, tubuhnya perlahan berubah. Kulitnya menghitam, bulu-bulu kasar tumbuh di seluruh tubuhnya. Matanya memerah, kuku-kuku tangannya memanjang menyerupai cakar. Bayangannya di genangan air menunjukkan sosok mengerikan—dirinya sendiri berubah menjadi Genderuwo. Dengan tangan gemetar, Bagas menurunkan kakinya dari ranjang. Namun, tubuhnya terasa lemah, hampir tidak sanggup menopang beratnya. Dia menunduk, menatap telapak tangannya yang masih bergetar. "Bulu halus ini … kenapa tidak pernah benar-benar hilang? Tapi tadi,
"Kenapa tadi kamu terlihat murung, Nak Bagas?" tanya Kyai Ahmad, menyadari kegelisahan yang terpancar dari raut wajah Bagas. Bagas terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah harus menceritakan semuanya. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan mulai bicara. "Nggak ada, Kyai ... Tapi, akhir-akhir ini saya sering mimpi tentang Mbah saya. Mimpi itu ... aneh dan terasa nyata! Di situ, Mbah saya terlihat begitu kejam, bahkan ada yang terang-terangan menunjukkan bahwa Mbah saya pernah menghabisi nyawa seseorang," jelas Bagas dengan suara bergetar. Kyai Ahmad memejamkan matanya, seperti sedang merenung dalam. "Apakah ini ada hubungannya dengan dukun yang dulu membantumu melakukan pesugihan?" tanyanya perlahan. Bagas mengangguk ragu. "Iya, Kyai! Saya merasa ada kaitannya. Tapi saya nggak ngerti maksud dari semua ini," jawabnya lirih. Kyai Ahmad menatap Bagas dengan tatapan penuh arti. "Aku memang melihat ada sesuatu antara Mbahmu dengan dukun itu," katanya sambil menghela napas panjang.
"Tapi di mana aku bisa mencarinya?" gumam Bagas, berusaha mengendalikan rasa takut yang mulai merayap. "Aku harus tahu kebenaran ini. Kalau benar dia yang menghancurkan hidupku, aku harus menemukannya." Namun, Bagas sadar bahwa langkah ini sangat berbahaya. Ki Praja bukan hanya sekadar dukun. Dia adalah seseorang yang bisa membalaskan dendamnya tanpa terlihat. Meski ragu, Bagas akhirnya memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang Ki Praja. Namun, tak ada satu pun warga desa yang mau membantunya. Setiap kali dia mencoba bertanya, mereka hanya menghindar atau memberikan jawaban singkat yang tidak memuaskan. "Dimana lagi aku harus mencari tahu?" gumam Bagas dengan langkah berat menyusuri jalan berbatu. Kepalanya tertunduk lesu, pikirannya dipenuhi kebingungan dan rasa putus asa. Tanpa sadar, dia menabrak seseorang. Ketika Bagas mendongak, dia melihat Kyai Ahmad berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Kyai!" Bagas terkejut, tetapi juga merasa lega mel
"Kenapa kehidupanku semakin susah begini?" keluh Bagas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi tua yang hampir patah. Dia memandang kosong ke arah langit-langit rumah kecil yang kini menjadi tempat tinggalnya. Dari seorang yang pernah disegani karena kekayaannya, kini dia kembali hidup dalam kemiskinan. Semua itu terasa seperti hukuman yang tak pernah berakhir. Bagas merenung. Dia memang datang dari keluarga miskin. Kehidupannya yang keras memaksanya mencari jalan pintas—jalan gelap. Demi mengejar kekayaan, dia membuat perjanjian dengan makhluk halus, Genderuwo. Pesugihan itu memberinya harta melimpah untuk sementara waktu, tetapi dengan harga yang mahal. Sekarang, semuanya telah hancur. "Entah, hidupku semakin hari semakin memprihatinkan," gumamnya lirih, suara lelahnya memenuhi ruang tamu yang sunyi. Matahari sore menyelinap masuk melalui celah tirai usang, menciptakan garis-garis terang di lantai. Namun, sinar itu tak mampu menghangatkan hatinya yang dingin dan penuh penyesalan.
"Tolong ada orang di sini?" Bagas berteriak dengan kencang, suaranya bergema tanpa jawaban. Bagas terbangun di sebuah tempat yang aneh. Di sekelilingnya hanyalah kabut putih tebal yang bergerak pelan seiring hembusan angin. Kakinya menginjak tanah dingin, tapi dia tidak tahu di mana dia berada. Saat dia berjalan perlahan, sosok-sosok mulai bermunculan dari balik kabut. Wajah mereka terlihat jelas—semuanya mirip dengan kakeknya, Wartono. Bagas terpaku, tubuhnya kaku seperti membeku. "Kalian siapa?" suaranya bergetar, hampir tidak keluar dari tenggorokan. Mereka hanya berdiri mematung, tatapan dingin mereka menusuk ke arah Bagas. Salah satu dari mereka melangkah maju. Wajahnya sangat identik dengan kakeknya, hingga Bagas tak bisa membedakan. "Mbah... Mbah Warto? Kenapa banyak sekali?" Bagas bertanya, suaranya nyaris tidak terdengar. Sosok yang mirip Wartono itu tidak menjawab. Sebaliknya, angin tiba-tiba berhembus di telinga Bagas, membawa bisikan lembut namun menyeramkan
"Aku harus segera pergi!" Ratih mulai mengemas pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tangannya gemetar saat melipat setiap helai baju, tetapi dia berusaha tetap fokus. Setelah selesai, dia mengintip dari balik gorden, memastikan situasi di luar aman sebelum meninggalkan kontrakannya. Ketika dia merasa tidak ada yang mencurigakan, Ratih berjalan cepat menuju persimpangan jalan. Di sana, dia melihat seorang pengayuh becak yang sedang duduk termenung di bawah lampu jalan yang remang-remang. "Bang, antarkan saya ke Desa Sumberarum, ya!" pinta Ratih dengan nada yakin. Mamang becak menatapnya dengan ragu. "Yakin, Neng? Ini udah malam banget loh. Disana gelap banget kalau udah malam begini!" katanya, terlihat khawatir. Ratih tersenyum kecil, mencoba menenangkan kegelisahan si tukang becak. "Udah tenang aja, Bang. Saya udah pernah ke sana. Nggak seseram itu kok." Meskipun masih ragu, Mamang becak akhirnya mengangguk dan mulai mengayuh becaknya perlahan. Roda becak berderit pelan, mengiringi p
"Ratih, tunggu!"Bagas berteriak, suaranya menggema di antara pepohonan. Namun, Ratih tak sedikit pun menoleh. Langkahnya semakin cepat, hampir seperti berlari. Dia menggenggam erat keranjang di tangannya, matanya lurus ke depan, mengabaikan panggilan suaminya yang semakin lirih di kejauhan."Maafkan aku, Mas! Aku nggak bisa dekat sama kamu!" bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bagas.Hatinya gelisah, tapi dia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan Bagas tidak mengikutinya. Napasnya memburu, bukan hanya karena langkahnya yang cepat, tetapi juga karena perasaan bersalah yang menyesakkan dadanya."Nggak bisa! Aku nggak bisa!" Begitu yang dia ucapkan pada dirinya sendiri.Setibanya di rumah, Ratih segera menutup pintu dengan tergesa-gesa, mengunci semua jendela dengan tangan gemetar. Dia menyandarkan tubuhnya pada pintu kayu itu, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu tak beraturan. Keringat dingin memb