All Chapters of Hidden Truths of My Husband: Chapter 11 - Chapter 20

53 Chapters

11. Langkah Selanjutnya

Nadia duduk di tepi ranjang, memandangi apartemen sederhana yang menjadi rumahnya bersama Raka. Sinar matahari sore masuk melalui celah tirai, menyoroti setiap sudut ruangan yang meski kecil, terasa hangat dan penuh cinta. Namun, di balik hangatnya cahaya itu, Nadia merasakan kegelisahan yang tak kunjung reda. Sejak percakapan mereka yang terakhir, banyak hal berubah. Raka menjadi lebih sering menghilang tanpa penjelasan, dan Nadia tahu ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.Pikirannya berkelana pada percakapan yang baru saja terjadi di rumah orang tuanya."Masih belum terlambat, Nak," ucap Pak Surya dengan nada dingin. "Kamu bisa kembali ke rumah, kita bisa bicarakan soal perceraian ini dengan baik-baik. Ayah dan Ibumu tidak ingin melihatmu hidup susah."Nadia menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. "Aku tidak butuh kehidupan yang mewah, Ayah. Aku hanya ingin bersama Raka, kita sudah memulai semuanya dari awal, dan aku percaya dia. Kenapa kalian
Read more

12. Hari Yang Biasa

Pagi itu, di apartemen sederhana yang telah menjadi tempat tinggal Nadia dan Raka selama dua tahun pernikahan mereka, suasana begitu tenang. Hanya terdengar suara lembut panci yang beradu dengan spatula saat Nadia menyiapkan sarapan. Aroma nasi goreng menguar memenuhi ruangan, membawa sedikit kehangatan di tengah udara pagi yang masih dingin. Nadia, dengan gerakan yang luwes, memasak sambil sesekali melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam lebih sepuluh menit.Di ruang depan, Raka sedang mengenakan dasi, menatap cermin kecil yang tergantung di dekat pintu masuk. Ia merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan, mencoba terlihat rapi untuk hari kerja yang baru. “Apakah kamu sudah siap untuk hari ini?” tanya Nadia sambil membawa sepiring nasi goreng ke meja makan kecil mereka.Raka menoleh, tersenyum lembut, lalu mengangguk. “Selalu siap, sayang. Terima kasih untuk sarapannya.” Ia menghampiri meja, mencium kening Nadia dengan penuh kasih, dan duduk di kursi yang selalu menjad
Read more

13. Hinaan dari Ibunya

Hari itu, cuaca di luar tampak suram, seolah-olah memantulkan suasana hati Nadia yang berat ketika dia melangkah keluar dari rumahnya yang sederhana. Meski hatinya dipenuhi kekhawatiran, Nadia tetap berusaha meyakinkan dirinya untuk menghadapi pertemuan dengan ibunya, Bu Retno. Sejak menikah dengan Raka, hubungan Nadia dengan keluarganya tidak pernah sama lagi. Tekanan yang dirasakan Nadia dari keluarganya, terutama dari Bu Retno, seakan-akan menjadi beban yang semakin berat untuk dipikul setiap harinya.Saat Nadia memasuki rumah orang tuanya, aroma khas rempah-rempah yang selalu mengingatkannya pada masa kecil segera menyambutnya. Tetapi, nostalgia manis itu dengan cepat memudar ketika dia mendengar langkah-langkah berat ibunya mendekat. Nadia tahu betul apa yang akan terjadi; sindiran-sindiran tajam yang selama ini menjadi kebiasaan ibunya sejak dia menikah dengan Raka."Ah, Nadia, akhirnya kamu datang juga," suara Bu Retno terdengar datar, tanpa sedikitpun kehangatan. "Aku pikir kam
Read more

14. Pembicaraan di Dapur

Nadia berjalan dengan langkah ringan menuju dapur, meski hatinya terasa berat setelah percakapan singkat dengan ibunya. Terselip perasaan lelah menghadapi sikap sinis yang terus-menerus ia terima setiap kali berkunjung. Namun, ia berusaha menenangkan diri. Dapur selalu menjadi tempat pelariannya, tempat di mana ia bisa merenung tanpa banyak gangguan.Ketika Nadia masuk ke dapur, aroma teh melati yang harum menyambutnya. Di sana, Mbok Mirah, pembantu rumah tangga yang sudah bekerja puluhan tahun di keluarga mereka, sedang menyiapkan cangkir-cangkir teh dengan tangan yang terampil. Nadia tersenyum kecil melihat wanita paruh baya itu, yang sudah seperti keluarga sendiri.“Mbak Nadia, mari duduk dulu. Saya buatkan teh,” ucap Mbok Mirah dengan senyum ramah yang tulus.“Terima kasih, Mbok,” balas Nadia sambil mengambil kursi dan duduk di meja dapur. Matanya memperhatikan gerakan tenang Mbok Mirah, yang seperti biasa, penuh kasih sayang dan perhatian. Nadia merasa lega karena ada seseorang ya
Read more

15. Dalam Keheningan Malam

Nadia pulang ke rumah dengan tubuh yang terasa berat, seolah setiap langkahnya menarik seluruh beban dunia. Pikirannya dipenuhi oleh percakapan yang baru saja ia lalui bersama ibunya, Bu Retno. Hinaan dan perbandingan yang tak henti-hentinya ditujukan pada Raka terus berputar di kepalanya, meninggalkan rasa perih yang sulit diungkapkan.Setibanya di rumah, Nadia langsung menuju ruang tamu. Matanya tak sanggup lagi untuk terbuka lebar, dan tanpa berpikir panjang, ia menjatuhkan dirinya di kursi. Rasa kantuk yang begitu kuat membuatnya segera terlelap, meskipun tubuhnya belum sepenuhnya nyaman.Tak lama kemudian, Raka pulang dari kerja. Lelah jelas terlihat di wajahnya, namun begitu melihat Nadia yang tertidur di kursi, senyum tipis terbit di bibirnya. Ia mendekati Nadia dengan hati-hati, berusaha tidak membangunkannya. Perlahan, ia menyelipkan tangannya di bawah tubuh Nadia, lalu mengangkatnya ke dalam pelukannya.Di antara kegelapan malam, Raka membawa Nadia ke kamar mereka. Setiap lan
Read more

16. Kunjungan Dari Kakaknya

Matahari siang menembus tirai jendela, menciptakan pola bayangan di lantai ruang tamu. Nadia duduk di sofa, menggenggam cangkir teh hangat yang aromanya menyebar ke seluruh ruangan. Hatinya berdebar, menyadari bahwa kakaknya, Arman, akan segera tiba. Hubungan mereka tidak pernah mudah, terutama sejak Nadia menikah dengan Raka. Arman selalu merasa superior, dengan pekerjaan dan gaya hidupnya yang serba mewah. Dia sering memandang rendah Raka, dan Nadia tahu bahwa kunjungan ini tidak akan berbeda.Pintu rumah terbuka, dan Arman melangkah masuk dengan langkah mantap. Penampilannya selalu rapi, seakan-akan dia baru saja keluar dari kantor meskipun ini hari libur. Nadia tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaan gugup yang mulai merambat di hatinya.“Selamat datang, Mas Arman,” sapa Nadia lembut, mencoba menyambutnya dengan tulus.Arman membalas senyuman itu dengan anggukan singkat, sebelum duduk di sofa yang berhadapan dengan Nadia. Dia melirik sekilas ke arah sekeliling rumah, seola
Read more

17. Kekecewaan yang Terus Bertambah

Malam itu, udara di dalam rumah terasa lebih dingin dari biasanya, meski pendingin ruangan sudah dimatikan. Nadia dan Raka duduk di sofa ruang tamu, di mana lampu meja memancarkan cahaya lembut. Atmosfer yang biasanya nyaman kini terasa tegang, dan Nadia tidak bisa mengabaikan perasaan kesedihan yang menggerogoti hatinya. Dia merasa seperti berada di persimpangan yang tidak ada jalan keluar antara cinta yang tulus dan tekanan yang terus-menerus dari keluarganya.Nadia menggenggam tangan Raka, jari-jari mereka saling berinteraksi dalam kesenyapan malam yang penuh emosi. “Raka, aku merasa sangat tertekan dengan semua ini,” ucap Nadia, suaranya hampir tak terdengar. “Mereka terus merendahkanmu, dan aku tidak tahu harus bagaimana.”Raka memandang Nadia dengan mata yang penuh pengertian. Dia tahu betapa beratnya beban yang harus dipikul Nadia, terutama saat dia terus-menerus menjadi sasaran kritik dari keluarganya sendiri. Raka merasakan ketulusan dalam setiap kata Nadia, dan dia bisa melih
Read more

18. Perbincangan di Kantor

Raka merasakan beban di pundaknya semakin berat setiap hari. Meski dia mencoba mengabaikan bisikan-bisikan dan tatapan sinis dari rekan-rekannya di kantor, kata-kata mereka terus menghantuinya. Saat itu, di ruang makan siang yang ramai, Raka duduk sendiri di sudut ruangan, menatap piring makanannya yang setengah kosong tanpa nafsu. Suara bising dan canda tawa dari sekelilingnya terasa samar, seolah teredam oleh kebisingan pikirannya sendiri.“Aku tidak mengerti, sungguh tidak mengerti. Apa yang dilihat Nadia dalam diri Raka?” kata seorang rekan, suaranya cukup keras hingga Raka bisa mendengarnya meskipun dia duduk jauh.Kata-kata itu seperti belati yang menusuk langsung ke hatinya. Raka mencoba untuk tidak menghiraukannya, tapi setiap kali dia mendengar nama Nadia disebutkan dalam nada meremehkan, rasa sakit itu terasa lebih dalam. Dia tahu betul betapa Nadia adalah sosok yang istimewa, dan dia berusaha keras untuk membuktikan kepada dunia terutama kepada diri sendiri bahwa dia layak u
Read more

19. Hinaan di Acara Keluarga

Acara keluarga besar itu digelar di sebuah rumah megah yang dimiliki oleh salah satu kerabat jauh, suasana riuh dengan canda tawa dan percakapan meriah. Nadia dan Raka datang dengan harapan yang tipis, berusaha untuk menjaga suasana tetap positif meskipun mereka tahu betul bahwa acara ini bisa menjadi ajang kembali untuk merendahkan Raka.Nadia melirik Raka dari samping. Wajahnya tegang, tapi dia berusaha tersenyum untuk memberi semangat pada suaminya. “Kita akan baik-baik saja,” katanya lembut, sambil meremas tangan Raka dengan lembut. Raka menatapnya, berusaha memberi senyum yang meyakinkan meskipun hatinya terasa berat.Saat mereka memasuki ruang utama, ibu Nadia, Bu Retno, tampak berdiri di tengah kerumunan, menerima tamu dengan senyuman lebar yang terkadang terasa dingin. Nadia tahu bahwa Bu Retno tidak pernah benar-benar menyukai Raka dan sering menunjukkan ketidaksenangannya dengan cara yang halus namun tajam.“Ah, Nadia dan Raka! Selamat datang,” sambut Bu Retno dengan suara ce
Read more

20. Ketabahan Raka

Malam itu, suasana di rumah terasa berbeda. Hujan turun dengan lembut di luar jendela, seolah-olah langit pun memahami kepedihan yang dirasakan Nadia dan Raka. Setiap tetes hujan menambah ketenangan malam yang seharusnya menenangkan, namun bagi Nadia, ketenangan ini lebih terasa seperti ketegangan yang menekan perasaannya.Raka memimpin Nadia menuju ruang tamu, berusaha keras untuk menyingkirkan rasa sakit hati yang mendalam. Dia menghidupkan lampu di ruangan, dan sinar lembut dari lampu itu tampak menciptakan aura yang nyaman, meskipun beban emosional masih menggelayuti pikiran mereka."Bagaimana perasaanmu?" tanya Raka lembut, matanya penuh kekhawatiran saat dia memandangi Nadia yang duduk di sofa. Nadia hanya menggelengkan kepala, air mata yang tertahan hampir mengalir di pipinya.Nadia merasa seolah-olah kata-kata Bu Retno masih terngiang-ngiang di telinganya. Setiap kali dia menutup mata, dia bisa melihat ekspresi sinis ibunya, dan rasa sakit itu membuat hatinya terasa berat. Raka
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status