Matahari siang menembus tirai jendela, menciptakan pola bayangan di lantai ruang tamu. Nadia duduk di sofa, menggenggam cangkir teh hangat yang aromanya menyebar ke seluruh ruangan. Hatinya berdebar, menyadari bahwa kakaknya, Arman, akan segera tiba. Hubungan mereka tidak pernah mudah, terutama sejak Nadia menikah dengan Raka. Arman selalu merasa superior, dengan pekerjaan dan gaya hidupnya yang serba mewah. Dia sering memandang rendah Raka, dan Nadia tahu bahwa kunjungan ini tidak akan berbeda.Pintu rumah terbuka, dan Arman melangkah masuk dengan langkah mantap. Penampilannya selalu rapi, seakan-akan dia baru saja keluar dari kantor meskipun ini hari libur. Nadia tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaan gugup yang mulai merambat di hatinya.“Selamat datang, Mas Arman,” sapa Nadia lembut, mencoba menyambutnya dengan tulus.Arman membalas senyuman itu dengan anggukan singkat, sebelum duduk di sofa yang berhadapan dengan Nadia. Dia melirik sekilas ke arah sekeliling rumah, seola
Malam itu, udara di dalam rumah terasa lebih dingin dari biasanya, meski pendingin ruangan sudah dimatikan. Nadia dan Raka duduk di sofa ruang tamu, di mana lampu meja memancarkan cahaya lembut. Atmosfer yang biasanya nyaman kini terasa tegang, dan Nadia tidak bisa mengabaikan perasaan kesedihan yang menggerogoti hatinya. Dia merasa seperti berada di persimpangan yang tidak ada jalan keluar antara cinta yang tulus dan tekanan yang terus-menerus dari keluarganya.Nadia menggenggam tangan Raka, jari-jari mereka saling berinteraksi dalam kesenyapan malam yang penuh emosi. “Raka, aku merasa sangat tertekan dengan semua ini,” ucap Nadia, suaranya hampir tak terdengar. “Mereka terus merendahkanmu, dan aku tidak tahu harus bagaimana.”Raka memandang Nadia dengan mata yang penuh pengertian. Dia tahu betapa beratnya beban yang harus dipikul Nadia, terutama saat dia terus-menerus menjadi sasaran kritik dari keluarganya sendiri. Raka merasakan ketulusan dalam setiap kata Nadia, dan dia bisa melih
Raka merasakan beban di pundaknya semakin berat setiap hari. Meski dia mencoba mengabaikan bisikan-bisikan dan tatapan sinis dari rekan-rekannya di kantor, kata-kata mereka terus menghantuinya. Saat itu, di ruang makan siang yang ramai, Raka duduk sendiri di sudut ruangan, menatap piring makanannya yang setengah kosong tanpa nafsu. Suara bising dan canda tawa dari sekelilingnya terasa samar, seolah teredam oleh kebisingan pikirannya sendiri.“Aku tidak mengerti, sungguh tidak mengerti. Apa yang dilihat Nadia dalam diri Raka?” kata seorang rekan, suaranya cukup keras hingga Raka bisa mendengarnya meskipun dia duduk jauh.Kata-kata itu seperti belati yang menusuk langsung ke hatinya. Raka mencoba untuk tidak menghiraukannya, tapi setiap kali dia mendengar nama Nadia disebutkan dalam nada meremehkan, rasa sakit itu terasa lebih dalam. Dia tahu betul betapa Nadia adalah sosok yang istimewa, dan dia berusaha keras untuk membuktikan kepada dunia terutama kepada diri sendiri bahwa dia layak u
Acara keluarga besar itu digelar di sebuah rumah megah yang dimiliki oleh salah satu kerabat jauh, suasana riuh dengan canda tawa dan percakapan meriah. Nadia dan Raka datang dengan harapan yang tipis, berusaha untuk menjaga suasana tetap positif meskipun mereka tahu betul bahwa acara ini bisa menjadi ajang kembali untuk merendahkan Raka.Nadia melirik Raka dari samping. Wajahnya tegang, tapi dia berusaha tersenyum untuk memberi semangat pada suaminya. “Kita akan baik-baik saja,” katanya lembut, sambil meremas tangan Raka dengan lembut. Raka menatapnya, berusaha memberi senyum yang meyakinkan meskipun hatinya terasa berat.Saat mereka memasuki ruang utama, ibu Nadia, Bu Retno, tampak berdiri di tengah kerumunan, menerima tamu dengan senyuman lebar yang terkadang terasa dingin. Nadia tahu bahwa Bu Retno tidak pernah benar-benar menyukai Raka dan sering menunjukkan ketidaksenangannya dengan cara yang halus namun tajam.“Ah, Nadia dan Raka! Selamat datang,” sambut Bu Retno dengan suara ce
Malam itu, suasana di rumah terasa berbeda. Hujan turun dengan lembut di luar jendela, seolah-olah langit pun memahami kepedihan yang dirasakan Nadia dan Raka. Setiap tetes hujan menambah ketenangan malam yang seharusnya menenangkan, namun bagi Nadia, ketenangan ini lebih terasa seperti ketegangan yang menekan perasaannya.Raka memimpin Nadia menuju ruang tamu, berusaha keras untuk menyingkirkan rasa sakit hati yang mendalam. Dia menghidupkan lampu di ruangan, dan sinar lembut dari lampu itu tampak menciptakan aura yang nyaman, meskipun beban emosional masih menggelayuti pikiran mereka."Bagaimana perasaanmu?" tanya Raka lembut, matanya penuh kekhawatiran saat dia memandangi Nadia yang duduk di sofa. Nadia hanya menggelengkan kepala, air mata yang tertahan hampir mengalir di pipinya.Nadia merasa seolah-olah kata-kata Bu Retno masih terngiang-ngiang di telinganya. Setiap kali dia menutup mata, dia bisa melihat ekspresi sinis ibunya, dan rasa sakit itu membuat hatinya terasa berat. Raka
Keesokan paginya, Nadia menerima panggilan telepon dari ayahnya, Pak Surya, yang meminta untuk bertemu di kantornya. Setiap kali dia mendapatkan panggilan seperti itu, Nadia merasa jantungnya berdegup kencang. Dia tahu bahwa ayahnya, meskipun penuh kasih sayang, sering memiliki pandangan yang keras dan sulit diubah. Dengan perasaan campur aduk, Nadia bersiap dan menuju kantor Pak Surya, berusaha menenangkan diri.Setibanya di kantor ayahnya, Nadia dihadapkan pada suasana yang formal dan dingin, berbeda dari kehangatan rumahnya sendiri. Pak Surya, seorang pria berwibawa dengan wajah tegas dan mata yang tajam, sudah menunggu di ruang kerjanya. Dia duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen-dokumen penting. Nadia merasakan ketegangan di udara ketika Pak Surya melambaikan tangan, mempersilakan Nadia duduk di kursi di depan mejanya.“Nadia, terima kasih telah datang,” kata Pak Surya dengan nada yang lebih tegas dari biasanya. “Aku ingin kita berbicara tentang masa depanmu.”Nadia du
Malam itu, Nadia duduk di ruang tamu rumahnya, perasaan tertekan yang semakin mendalam setelah pertemuan tadi pagi dengan ayahnya, Pak Surya. Dia memandang keluar jendela, menatap langit malam yang gelap dengan hati yang terasa berat. Setiap kata yang diucapkan ayahnya, setiap ekspresi kecewa, terus berputar dalam pikirannya. Dia merasa seperti terjebak dalam labirin yang tak ada ujungnya, di mana setiap jalan hanya mengarah pada rasa sakit dan ketidakpastian.“Alya,” Nadia memanggil adiknya yang baru saja masuk ke rumah setelah seharian di luar. Alya, yang selalu menjadi pendukung setianya, melihat ke arah Nadia dengan penuh perhatian.“Ada apa, Mbak?” Tanya Alya sambil mendekat dan duduk di samping Nadia. Melihat ekspresi wajah Nadia yang cemas, Alya bisa merasakan betapa mendalamnya beban yang dipikul kakaknya.Nadia menghela napas panjang, suaranya hampir terdengar seperti bisikan. “Aku merasa seperti terjebak, Alya. Tekanan dari keluarga semakin besar, dan aku tidak tahu harus bag
Hari-hari terasa semakin berat bagi Nadia. Ketegangan dan tekanan yang datang dari keluarganya, terutama dari Bu Retno dan Pak Surya, tidak kunjung reda. Hinaan dan kritik terus-menerus mengguncang ketenangan hidupnya, dan Nadia merasakan setiap kata seperti tusukan yang mendalam. Meskipun demikian, dia tetap teguh pada keputusan untuk mempertahankan pernikahannya dengan Raka, tetapi itu tidak berarti bahwa hatinya tidak sedang diuji.Suatu sore, saat Nadia sedang membersihkan rumah, teleponnya berdering. Melihat nama yang tertera di layar, Nadia merasakan campuran rasa rindu dan kekhawatiran. Itu adalah Maya, teman lama dari sekolah. Mereka sudah lama tidak bertemu, dan Nadia tidak yakin apa yang ingin dibicarakan Maya, terutama di tengah situasi yang sudah sangat menegangkan ini.“Nadia, sudah lama sekali kita tidak berbicara,” kata Maya begitu telepon diangkat. Suaranya penuh kehangatan, tetapi Nadia bisa merasakan nada prihatin di balik kata-katanya.“Iya, Maya. Ada apa?” Nadia ber