Acara keluarga besar itu digelar di sebuah rumah megah yang dimiliki oleh salah satu kerabat jauh, suasana riuh dengan canda tawa dan percakapan meriah. Nadia dan Raka datang dengan harapan yang tipis, berusaha untuk menjaga suasana tetap positif meskipun mereka tahu betul bahwa acara ini bisa menjadi ajang kembali untuk merendahkan Raka.Nadia melirik Raka dari samping. Wajahnya tegang, tapi dia berusaha tersenyum untuk memberi semangat pada suaminya. “Kita akan baik-baik saja,” katanya lembut, sambil meremas tangan Raka dengan lembut. Raka menatapnya, berusaha memberi senyum yang meyakinkan meskipun hatinya terasa berat.Saat mereka memasuki ruang utama, ibu Nadia, Bu Retno, tampak berdiri di tengah kerumunan, menerima tamu dengan senyuman lebar yang terkadang terasa dingin. Nadia tahu bahwa Bu Retno tidak pernah benar-benar menyukai Raka dan sering menunjukkan ketidaksenangannya dengan cara yang halus namun tajam.“Ah, Nadia dan Raka! Selamat datang,” sambut Bu Retno dengan suara ce
Malam itu, suasana di rumah terasa berbeda. Hujan turun dengan lembut di luar jendela, seolah-olah langit pun memahami kepedihan yang dirasakan Nadia dan Raka. Setiap tetes hujan menambah ketenangan malam yang seharusnya menenangkan, namun bagi Nadia, ketenangan ini lebih terasa seperti ketegangan yang menekan perasaannya.Raka memimpin Nadia menuju ruang tamu, berusaha keras untuk menyingkirkan rasa sakit hati yang mendalam. Dia menghidupkan lampu di ruangan, dan sinar lembut dari lampu itu tampak menciptakan aura yang nyaman, meskipun beban emosional masih menggelayuti pikiran mereka."Bagaimana perasaanmu?" tanya Raka lembut, matanya penuh kekhawatiran saat dia memandangi Nadia yang duduk di sofa. Nadia hanya menggelengkan kepala, air mata yang tertahan hampir mengalir di pipinya.Nadia merasa seolah-olah kata-kata Bu Retno masih terngiang-ngiang di telinganya. Setiap kali dia menutup mata, dia bisa melihat ekspresi sinis ibunya, dan rasa sakit itu membuat hatinya terasa berat. Raka
Keesokan paginya, Nadia menerima panggilan telepon dari ayahnya, Pak Surya, yang meminta untuk bertemu di kantornya. Setiap kali dia mendapatkan panggilan seperti itu, Nadia merasa jantungnya berdegup kencang. Dia tahu bahwa ayahnya, meskipun penuh kasih sayang, sering memiliki pandangan yang keras dan sulit diubah. Dengan perasaan campur aduk, Nadia bersiap dan menuju kantor Pak Surya, berusaha menenangkan diri.Setibanya di kantor ayahnya, Nadia dihadapkan pada suasana yang formal dan dingin, berbeda dari kehangatan rumahnya sendiri. Pak Surya, seorang pria berwibawa dengan wajah tegas dan mata yang tajam, sudah menunggu di ruang kerjanya. Dia duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen-dokumen penting. Nadia merasakan ketegangan di udara ketika Pak Surya melambaikan tangan, mempersilakan Nadia duduk di kursi di depan mejanya.“Nadia, terima kasih telah datang,” kata Pak Surya dengan nada yang lebih tegas dari biasanya. “Aku ingin kita berbicara tentang masa depanmu.”Nadia du
Malam itu, Nadia duduk di ruang tamu rumahnya, perasaan tertekan yang semakin mendalam setelah pertemuan tadi pagi dengan ayahnya, Pak Surya. Dia memandang keluar jendela, menatap langit malam yang gelap dengan hati yang terasa berat. Setiap kata yang diucapkan ayahnya, setiap ekspresi kecewa, terus berputar dalam pikirannya. Dia merasa seperti terjebak dalam labirin yang tak ada ujungnya, di mana setiap jalan hanya mengarah pada rasa sakit dan ketidakpastian.“Alya,” Nadia memanggil adiknya yang baru saja masuk ke rumah setelah seharian di luar. Alya, yang selalu menjadi pendukung setianya, melihat ke arah Nadia dengan penuh perhatian.“Ada apa, Mbak?” Tanya Alya sambil mendekat dan duduk di samping Nadia. Melihat ekspresi wajah Nadia yang cemas, Alya bisa merasakan betapa mendalamnya beban yang dipikul kakaknya.Nadia menghela napas panjang, suaranya hampir terdengar seperti bisikan. “Aku merasa seperti terjebak, Alya. Tekanan dari keluarga semakin besar, dan aku tidak tahu harus bag
Hari-hari terasa semakin berat bagi Nadia. Ketegangan dan tekanan yang datang dari keluarganya, terutama dari Bu Retno dan Pak Surya, tidak kunjung reda. Hinaan dan kritik terus-menerus mengguncang ketenangan hidupnya, dan Nadia merasakan setiap kata seperti tusukan yang mendalam. Meskipun demikian, dia tetap teguh pada keputusan untuk mempertahankan pernikahannya dengan Raka, tetapi itu tidak berarti bahwa hatinya tidak sedang diuji.Suatu sore, saat Nadia sedang membersihkan rumah, teleponnya berdering. Melihat nama yang tertera di layar, Nadia merasakan campuran rasa rindu dan kekhawatiran. Itu adalah Maya, teman lama dari sekolah. Mereka sudah lama tidak bertemu, dan Nadia tidak yakin apa yang ingin dibicarakan Maya, terutama di tengah situasi yang sudah sangat menegangkan ini.“Nadia, sudah lama sekali kita tidak berbicara,” kata Maya begitu telepon diangkat. Suaranya penuh kehangatan, tetapi Nadia bisa merasakan nada prihatin di balik kata-katanya.“Iya, Maya. Ada apa?” Nadia ber
Hari-hari terasa semakin muram bagi Nadia. Meskipun matahari terbenam dengan indah setiap malam, tidak ada keindahan itu yang mampu menghibur hatinya yang gelisah. Raka, suaminya, mulai menjauh. Perubahan itu sangat halus pada awalnya, tetapi Nadia bisa merasakannya dengan jelas. Ketenangan yang biasanya menyelimuti mereka di rumah kini terasa berat dan penuh ketegangan.Nadia mengamati Raka dari sudut ruang tamu saat suaminya duduk di sofa, matanya fokus pada ponsel yang berada di tangannya. Raka tampak seolah sedang berusaha menenggelamkan diri dalam sesuatu yang membuatnya sibuk, menghindari kontak mata. Hal ini berbeda jauh dari Raka yang dulu, yang selalu penuh semangat dan perhatian.Suatu malam, setelah Raka pulang terlambat lagi tanpa penjelasan yang memadai, Nadia memutuskan sudah saatnya untuk menghadapi suaminya. Dia menunggu hingga Raka meletakkan tasnya di sudut ruangan, melepaskan jasnya dengan gerakan yang terburu-buru. Nadia mengambil napas dalam-dalam sebelum memulai
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, seolah langit menghembuskan kegelapan yang lebih pekat daripada malam-malam lainnya. Nadia terjaga dari tidurnya dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi dahi dan lehernya. Dia memandang sekeliling kamar yang sunyi, merasa tertekan oleh kepulan ketakutan yang masih mengganggu pikirannya. Mimpinya, meskipun tampaknya tidak lebih dari sekadar ilusi malam, memberikan dampak yang mendalam.Dalam mimpinya, Nadia melihat Raka terjebak dalam kegelapan yang menyesakkan. Dia berdiri di tengah ruangan yang sepi, dikelilingi oleh sosok-sosok yang tidak jelas dan tampak berbahaya. Mereka bergerak perlahan, mendekati Raka dengan tatapan penuh ancaman, sementara Raka tampak kebingungan dan putus asa. Nadia berusaha untuk berteriak, tetapi suaranya tertahan, dan dia hanya bisa menyaksikan dalam ketidakberdayaan.Saat dia kembali ke kesadaran, Nadia merasa hatinya berdegup kencang. Dia duduk di tepi tempat tidur, mencoba mengumpulkan kembali k
Nadia duduk di ruang tamu rumahnya yang tenang, memandang jendela dengan pikiran yang terusik. Hujan yang turun di luar seolah mencerminkan kegundahan hatinya. Suara pesan masuk di ponselnya mengalihkan perhatian Nadia dari lamunannya. Dia meraih ponselnya dan melihat nama Maya, teman lamanya, muncul di layar."Hey, Nad, aku ingin memberitahumu sesuatu," bunyi pesan itu. Nadia mengernyit, jarang sekali Maya menghubunginya. Penasaran, dia segera membalas, "Apa kabar, May? Ada apa?"Tidak lama kemudian, ponsel Nadia bergetar lagi, dan dia membaca pesan yang masuk. “Aku baru saja melihat Raka di sebuah kafe di pusat kota. Dia bersama seorang pria yang tampak berpengaruh. Pertemuan mereka terlihat sangat serius, seperti sedang membahas sesuatu yang penting.”Nadia merasa dadanya sesak. Jantungnya berdegup kencang saat dia mencoba mencerna kata-kata Maya. “Kamu yakin itu Raka?” Nadia mengetik dengan tangan gemetar, berusaha menahan kegelisahan yang semakin mendesaknya.“Ya, Nadia. Aku yakin