Nadia duduk di ruang tamu rumahnya yang tenang, memandang jendela dengan pikiran yang terusik. Hujan yang turun di luar seolah mencerminkan kegundahan hatinya. Suara pesan masuk di ponselnya mengalihkan perhatian Nadia dari lamunannya. Dia meraih ponselnya dan melihat nama Maya, teman lamanya, muncul di layar."Hey, Nad, aku ingin memberitahumu sesuatu," bunyi pesan itu. Nadia mengernyit, jarang sekali Maya menghubunginya. Penasaran, dia segera membalas, "Apa kabar, May? Ada apa?"Tidak lama kemudian, ponsel Nadia bergetar lagi, dan dia membaca pesan yang masuk. “Aku baru saja melihat Raka di sebuah kafe di pusat kota. Dia bersama seorang pria yang tampak berpengaruh. Pertemuan mereka terlihat sangat serius, seperti sedang membahas sesuatu yang penting.”Nadia merasa dadanya sesak. Jantungnya berdegup kencang saat dia mencoba mencerna kata-kata Maya. “Kamu yakin itu Raka?” Nadia mengetik dengan tangan gemetar, berusaha menahan kegelisahan yang semakin mendesaknya.“Ya, Nadia. Aku yakin
Nadia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap lurus ke depan, namun pikirannya melayang jauh. Kata-kata Raka tadi malam masih terngiang-ngiang di benaknya. "Aku tidak ingin kamu khawatir, semuanya akan baik-baik saja." Tapi bagaimana mungkin ia bisa tidak khawatir? Raka yang biasanya selalu terbuka, kini seolah memasang tembok yang tak dapat ditembus. Ada rahasia besar yang ia simpan, dan ketidakpastian itu semakin menggerogoti hati Nadia.Saat fajar mulai menyingsing, Nadia memutuskan untuk tidak tinggal diam. Ia tidak ingin menjadi istri yang curiga tanpa alasan, tapi rasa penasaran itu tak bisa diabaikan begitu saja. “Aku harus mencari tahu sendiri,” gumamnya pelan, namun tegas.Pagi itu, saat Raka sudah berangkat kerja, Nadia memutuskan untuk menghubungi Alya, adiknya yang selalu memahami dan mendukungnya.“Alya, bisa kita bicara? Aku butuh pendapatmu,” ujar Nadia dengan nada suara yang penuh kegelisahan.Alya, yang biasanya ceria, segera menangkap nada berbeda di suara kakaknya. “T
Pagi itu, sinar matahari yang seharusnya membawa kehangatan justru terasa menyilaukan bagi Nadia. Duduk di tepi tempat tidurnya, ponsel yang tergeletak di sampingnya berbunyi, menampilkan nama yang tidak asing lagi Bu Retno. Rasa was-was menghantui Nadia seiring dengan dering telepon yang terus berulang. Meski dia tahu apa yang akan dibicarakan ibunya, Nadia tetap mengangkat telepon itu."Bu?" Suara Nadia terdengar lembut, namun ada kekhawatiran yang menyertainya."Nadia, apa kabar?" suara Bu Retno terdengar tajam, seperti biasa. Setelah sedikit berbasa-basi, percakapan mulai mengarah ke topik yang sudah sering kali dihindari Nadia—pernikahannya dengan Raka."Nadia, sampai kapan kamu akan bertahan dalam pernikahan ini? Ibu tidak mengerti apa yang kamu lihat dari Raka. Dia tidak punya apa-apa untuk ditawarkan, bahkan kejujuran pun tidak." Suara Bu Retno terdengar semakin tegas dan penuh kritik."Ibu, Raka adalah suami yang baik. Dia bekerja keras untuk kami," jawab Nadia dengan lembut,
Malam itu, Nadia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya, mencoba meredam gemuruh di hatinya. Langit di luar gelap gulita, seakan ikut menyembunyikan apa yang sedang dipikirkan Raka. Dia tidak bisa tidur, pikirannya terus-menerus berkecamuk pembicaraan dengan ibunya, sikap Raka yang semakin sulit dipahami, dan tekanan yang terus menghimpitnya dari segala arah. Nadia mencintai Raka, tapi semakin hari, ketidakpastian ini membuatnya terjebak dalam ketakutan yang tak berujung.Raka memasuki kamar mereka dengan langkah pelan. Tatapannya sayu, penuh beban yang tak terucapkan. Dia menghampiri Nadia, duduk di sampingnya tanpa berkata sepatah kata pun. Nadia tahu, ini saatnya. Tidak ada lagi waktu untuk menghindar dari kenyataan. Dia perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi, apapun itu.“Raka,” panggil Nadia pelan, namun dengan nada yang tegas. Raka menoleh, menatap istrinya dengan mata yang tampak lelah.“Aku tidak bisa terus seperti ini,” lanjut Nadia. “Aku butuh kepastian. Jika ada sesuatu ya
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamar, membangunkan Nadia dengan lembut. Hari libur yang diharapkannya penuh dengan kedamaian ternyata membawa beban pikiran yang tak terduga. Raka, suaminya, duduk di sampingnya dengan ekspresi serius yang jarang terlihat. Ia menarik napas dalam, seolah-olah bersiap mengungkapkan sesuatu yang selama ini disimpan rapat-rapat.“Nadia, ada sesuatu yang harus aku katakan,” Raka memulai, suaranya tenang namun penuh dengan kekhawatiran. “Selama beberapa bulan terakhir, aku telah bekerja keras bukan hanya di kantor, tapi juga mencoba membangun bisnis kecil. Aku tahu kita tidak punya banyak, dan aku ingin kita bisa memiliki kehidupan yang lebih baik.”Kata-kata itu menggantung di udara, membuat Nadia terpaku sejenak. Perasaan campur aduk menguasai dirinya. Di satu sisi, ia terkejut dengan pengakuan itu mengapa Raka tidak pernah membicarakan hal ini sebelumnya? Di sisi lain, ia merasa lega bahwa akhirnya Raka membuka diri. Namun, kebingungan pun
Nadia menarik napas panjang, menenangkan dirinya dari gelombang emosi yang datang bertubi-tubi. Pengakuan Raka tadi pagi membuat hatinya bergetar campuran antara kelegaan, kebingungan, dan kebahagiaan yang sulit dijelaskan. Dia tahu ada banyak hal yang masih tersembunyi, tapi kejujuran Raka memberinya harapan baru.Di ruang tamu yang hangat, mereka duduk berdua di sofa. Matahari pagi menyelinap masuk melalui tirai yang setengah terbuka, menciptakan bayangan lembut di lantai kayu. Raka menatap Nadia, matanya penuh dengan rasa syukur dan permintaan maaf yang tak terucap."Maafkan aku, Nadia," Raka mulai, suaranya serak. "Aku tahu, menyembunyikan sesuatu darimu bukan hal yang benar. Tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa semua yang aku lakukan ini semata-mata demi kita."Nadia meremas tangan Raka dengan lembut, mencoba menyampaikan perasaannya tanpa kata-kata. Dia mengangguk pelan, membiarkan Raka melanjutkan.“Aku sudah terlalu sering merasa gagal, Nad. Sebagai suami, sebagai laki-laki...
Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan irama yang menenangkan di atap rumah mereka yang sederhana. Nadia duduk di ruang tamu, matanya menatap jendela, mengikuti jejak tetesan air yang mengalir di kaca. Hatinya merasa lega setelah semua yang telah terjadi, tetapi bayang-bayang masa depan yang tidak pasti tetap menghantui pikirannya.Raka masuk ke ruang tamu, membawa secangkir teh hangat untuk Nadia. “Ini untukmu,” katanya dengan senyuman lembut.Nadia menerima cangkir itu dengan tangan yang sedikit gemetar, bukan karena dinginnya malam, melainkan karena perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. “Terima kasih, Raka,” jawabnya dengan suara yang hampir berbisik.Mereka duduk bersebelahan di sofa, menikmati kehangatan teh yang meresap ke dalam tubuh mereka. Keheningan di antara mereka bukanlah keheningan yang canggung, melainkan sebuah momen di mana keduanya merenungkan segala yang telah mereka lalui."Aku tahu ini tidak akan mudah," kata Raka tiba-tiba, suaranya terdengar tegas me
Nadia duduk di sofa ruang tamu sambil memandangi layar ponselnya. Pesan dari Alya terpampang jelas di sana, mengundangnya untuk makan malam bersama di rumah keluarga mereka. Sederhana memang, hanya sekadar ajakan makan malam, namun Nadia tahu ada lebih dari itu. Setiap kali dia pulang ke rumah orang tuanya, perasaan gelisah tak bisa dia hindari. Terutama sejak menikah dengan Raka. Rasa cemas dan takut akan komentar tajam dari ayah dan ibunya selalu menghantuinya. Dia tidak ingin mendengar lagi kata-kata yang merendahkan Raka suaminya yang bekerja keras demi masa depan mereka."Kenapa melamun, sayang?" Suara lembut Raka terdengar dari dapur, menghentikan lamunan Nadia.Nadia menoleh dan tersenyum tipis. "Alya mengundang kita makan malam di rumah orang tua. Tapi... aku tidak tahu apakah kita harus datang."Raka berjalan mendekat, duduk di sebelahnya. "Kamu ragu karena Ayah dan Ibumu?"Nadia mengangguk perlahan. "Aku takut mereka akan mulai lagi... Mereka selalu membandingkanmu dengan or