Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamar, membangunkan Nadia dengan lembut. Hari libur yang diharapkannya penuh dengan kedamaian ternyata membawa beban pikiran yang tak terduga. Raka, suaminya, duduk di sampingnya dengan ekspresi serius yang jarang terlihat. Ia menarik napas dalam, seolah-olah bersiap mengungkapkan sesuatu yang selama ini disimpan rapat-rapat.“Nadia, ada sesuatu yang harus aku katakan,” Raka memulai, suaranya tenang namun penuh dengan kekhawatiran. “Selama beberapa bulan terakhir, aku telah bekerja keras bukan hanya di kantor, tapi juga mencoba membangun bisnis kecil. Aku tahu kita tidak punya banyak, dan aku ingin kita bisa memiliki kehidupan yang lebih baik.”Kata-kata itu menggantung di udara, membuat Nadia terpaku sejenak. Perasaan campur aduk menguasai dirinya. Di satu sisi, ia terkejut dengan pengakuan itu mengapa Raka tidak pernah membicarakan hal ini sebelumnya? Di sisi lain, ia merasa lega bahwa akhirnya Raka membuka diri. Namun, kebingungan pun
Nadia menarik napas panjang, menenangkan dirinya dari gelombang emosi yang datang bertubi-tubi. Pengakuan Raka tadi pagi membuat hatinya bergetar campuran antara kelegaan, kebingungan, dan kebahagiaan yang sulit dijelaskan. Dia tahu ada banyak hal yang masih tersembunyi, tapi kejujuran Raka memberinya harapan baru.Di ruang tamu yang hangat, mereka duduk berdua di sofa. Matahari pagi menyelinap masuk melalui tirai yang setengah terbuka, menciptakan bayangan lembut di lantai kayu. Raka menatap Nadia, matanya penuh dengan rasa syukur dan permintaan maaf yang tak terucap."Maafkan aku, Nadia," Raka mulai, suaranya serak. "Aku tahu, menyembunyikan sesuatu darimu bukan hal yang benar. Tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa semua yang aku lakukan ini semata-mata demi kita."Nadia meremas tangan Raka dengan lembut, mencoba menyampaikan perasaannya tanpa kata-kata. Dia mengangguk pelan, membiarkan Raka melanjutkan.“Aku sudah terlalu sering merasa gagal, Nad. Sebagai suami, sebagai laki-laki...
Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan irama yang menenangkan di atap rumah mereka yang sederhana. Nadia duduk di ruang tamu, matanya menatap jendela, mengikuti jejak tetesan air yang mengalir di kaca. Hatinya merasa lega setelah semua yang telah terjadi, tetapi bayang-bayang masa depan yang tidak pasti tetap menghantui pikirannya.Raka masuk ke ruang tamu, membawa secangkir teh hangat untuk Nadia. “Ini untukmu,” katanya dengan senyuman lembut.Nadia menerima cangkir itu dengan tangan yang sedikit gemetar, bukan karena dinginnya malam, melainkan karena perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. “Terima kasih, Raka,” jawabnya dengan suara yang hampir berbisik.Mereka duduk bersebelahan di sofa, menikmati kehangatan teh yang meresap ke dalam tubuh mereka. Keheningan di antara mereka bukanlah keheningan yang canggung, melainkan sebuah momen di mana keduanya merenungkan segala yang telah mereka lalui."Aku tahu ini tidak akan mudah," kata Raka tiba-tiba, suaranya terdengar tegas me
Nadia duduk di sofa ruang tamu sambil memandangi layar ponselnya. Pesan dari Alya terpampang jelas di sana, mengundangnya untuk makan malam bersama di rumah keluarga mereka. Sederhana memang, hanya sekadar ajakan makan malam, namun Nadia tahu ada lebih dari itu. Setiap kali dia pulang ke rumah orang tuanya, perasaan gelisah tak bisa dia hindari. Terutama sejak menikah dengan Raka. Rasa cemas dan takut akan komentar tajam dari ayah dan ibunya selalu menghantuinya. Dia tidak ingin mendengar lagi kata-kata yang merendahkan Raka suaminya yang bekerja keras demi masa depan mereka."Kenapa melamun, sayang?" Suara lembut Raka terdengar dari dapur, menghentikan lamunan Nadia.Nadia menoleh dan tersenyum tipis. "Alya mengundang kita makan malam di rumah orang tua. Tapi... aku tidak tahu apakah kita harus datang."Raka berjalan mendekat, duduk di sebelahnya. "Kamu ragu karena Ayah dan Ibumu?"Nadia mengangguk perlahan. "Aku takut mereka akan mulai lagi... Mereka selalu membandingkanmu dengan or
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, bukan karena cuaca, tapi karena suasana hati Nadia yang terusik sejak awal makan malam. Ia menatap meja makan yang dikelilingi oleh keluarganya—Pak Surya di ujung meja dengan senyum puas, Bu Retno yang duduk di sampingnya, dan Arman, kakak lelakinya, yang baru saja dipromosikan. Di sebelah Nadia duduk Raka, suaminya, yang wajahnya tampak tegang meskipun ia berusaha terlihat tenang."Arman baru saja mendapatkan jabatan direktur. Itu adalah pencapaian luar biasa, bukan?" Pak Surya mulai dengan nada penuh kebanggaan, sambil melirik Raka. Mata menyipitnya seolah menyimpan pesan yang tak terucap.Nadia merasakan ketegangan menjalar di antara mereka. Pujian yang awalnya tampak biasa, kini menjadi tombak yang menusuk.Bu Retno segera menyusul, dengan nada yang tak kalah sinis. "Ya, tentu saja. Dia masih muda tapi sudah memiliki segalanya. Berbeda sekali dengan beberapa orang yang... yah, hanya bisa bermimpi untuk mencapai hal seperti itu."Raka ta
Makan malam yang semula diharapkan menjadi waktu berkumpul keluarga yang hangat, kini berubah menjadi ajang sindiran halus yang menyayat hati. Di tengah-tengah percakapan yang semakin menusuk, Nadia merasa semakin terjebak di antara keluarganya dan suaminya. Dia menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang mulai memenuhi kelopak matanya."Jadi, Raka," Pak Surya berbicara kembali setelah beberapa saat hening, "Arman tadi sempat cerita kalau ada posisi manajerial yang kosong di kantornya. Itu posisi yang bagus, stabil, dan menjanjikan masa depan yang cerah. Mungkin kamu bisa mempertimbangkannya. Ini kesempatan langka."Bu Retno yang duduk di sebelah Pak Surya mengangguk, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Betul, Raka. Kami ingin yang terbaik untuk Nadia. Dengan pekerjaan yang lebih baik, mungkin kamu bisa lebih cepat memenuhi kebutuhan keluarga."Nadia merasakan dadanya semakin sesak. Kata-kata mereka begitu menusuk, seolah-olah segala usaha Raka tidak pernah cukup di mata mer
Malam itu, seakan semua ketenangan yang Nadia coba bangun di dalam dirinya runtuh dengan satu kalimat dari ibunya. Mereka meninggalkan ruang makan dengan kesunyian yang menusuk. Di atas motor, air mata Nadia tumpah tanpa bisa dibendung lagi. Ia sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit hati yang terus menumpuk setiap kali keluarganya merendahkan suaminya, Raka."Kenapa mereka selalu memperlakukanmu seperti ini, Raka?" isaknya pelan. Tangannya gemetar saat mencoba menutup wajahnya, seakan ingin menyembunyikan rasa malu dan sedih yang berkecamuk di dalam dirinya.Raka, yang sedari tadi diam, hanya menatap lurus ke depan. Tatapannya tegas, namun ada sekilas kesedihan di matanya. Dia tahu betapa beratnya beban yang harus ditanggung Nadia karena pilihannya untuk menikah dengannya, pria yang dianggap tak sebanding oleh keluarganya."Nadia," katanya dengan lembut, sembari meraih tangan istrinya, "Aku tahu ini berat untukmu, tapi aku tidak ingin kamu sedih seperti ini.
Malam itu terasa begitu panjang. Rintik hujan perlahan turun, seolah-olah ikut menangisi apa yang baru saja terjadi di antara Nadia dan keluarganya. Perasaan kesal bercampur marah menghantam dada Nadia, menyesakkan hingga air mata yang ditahannya sejak di rumah orang tuanya pun tumpah. Isakannya terdengar jelas di dalam mobil yang sunyi, dan Raka tetap diam di sampingnya, mengendalikan kemudi dengan tangan yang sedikit gemetar.Setibanya di rumah, suasana sunyi seakan ikut masuk ke dalam, menambah ketegangan yang belum terselesaikan. Nadia berjalan terburu-buru menuju kamar, tapi tiba-tiba berhenti di depan pintu. Dia menoleh, menatap Raka dengan mata yang merah dan penuh luka. "Kenapa kita harus terus seperti ini, Raka? Kenapa setiap kali kita bersama mereka, aku selalu merasa kamu diremehkan?"Raka mendekatinya perlahan, tapi sorot matanya tidak lagi lembut seperti biasanya. "Nadia, aku sudah bilang. Ini bukan tentang aku melawan mereka. Mereka keluargamu. Aku tidak