Malam itu, seakan semua ketenangan yang Nadia coba bangun di dalam dirinya runtuh dengan satu kalimat dari ibunya. Mereka meninggalkan ruang makan dengan kesunyian yang menusuk. Di atas motor, air mata Nadia tumpah tanpa bisa dibendung lagi. Ia sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit hati yang terus menumpuk setiap kali keluarganya merendahkan suaminya, Raka.
"Kenapa mereka selalu memperlakukanmu seperti ini, Raka?" isaknya pelan. Tangannya gemetar saat mencoba menutup wajahnya, seakan ingin menyembunyikan rasa malu dan sedih yang berkecamuk di dalam dirinya.
Raka, yang sedari tadi diam, hanya menatap lurus ke depan. Tatapannya tegas, namun ada sekilas kesedihan di matanya. Dia tahu betapa beratnya beban yang harus ditanggung Nadia karena pilihannya untuk menikah dengannya, pria yang dianggap tak sebanding oleh keluarganya.
"Nadia," katanya dengan lembut, sembari meraih tangan istrinya, "Aku tahu ini berat untukmu, tapi aku tidak ingin kamu sedih seperti ini.
Malam itu terasa begitu panjang. Rintik hujan perlahan turun, seolah-olah ikut menangisi apa yang baru saja terjadi di antara Nadia dan keluarganya. Perasaan kesal bercampur marah menghantam dada Nadia, menyesakkan hingga air mata yang ditahannya sejak di rumah orang tuanya pun tumpah. Isakannya terdengar jelas di dalam mobil yang sunyi, dan Raka tetap diam di sampingnya, mengendalikan kemudi dengan tangan yang sedikit gemetar.Setibanya di rumah, suasana sunyi seakan ikut masuk ke dalam, menambah ketegangan yang belum terselesaikan. Nadia berjalan terburu-buru menuju kamar, tapi tiba-tiba berhenti di depan pintu. Dia menoleh, menatap Raka dengan mata yang merah dan penuh luka. "Kenapa kita harus terus seperti ini, Raka? Kenapa setiap kali kita bersama mereka, aku selalu merasa kamu diremehkan?"Raka mendekatinya perlahan, tapi sorot matanya tidak lagi lembut seperti biasanya. "Nadia, aku sudah bilang. Ini bukan tentang aku melawan mereka. Mereka keluargamu. Aku tidak
Malam itu, keheningan menyelimuti kamar tidur Nadia. Tirai jendela yang setengah terbuka mengizinkan sinar bulan menerobos masuk, memantulkan bayangan remang di dinding. Suara napas Raka yang dalam dan berirama di sebelahnya terasa menenangkan, namun tidak mampu mengusir kegelisahan yang menderanya. Nadia duduk di pinggir ranjang, tangannya terulur menyentuh tangan suaminya yang terkulai di kasur, tapi hatinya terasa jauh dari tenang.Pertengkaran mereka tadi siang masih berputar-putar di benaknya. Kata-kata penuh emosi yang keluar da
Pagi itu, Nadia duduk di balkon rumahnya, memandangi langit yang mulai terang. Hatiku berat, pikirnya. Matahari pun tak sanggup mengusir kegalauan yang memenuhi kepalanya. Di genggamannya, ponsel bergetar pelan, menampilkan nama yang selalu membuatnya merasa lebih baik Alya.“Hallo, Kak,” suara ceria Alya terdengar begitu akrab di telinga Nadia. Selalu ada semangat dalam nada suaranya, seolah dunia tidak pernah menimpakan kesedihan kepadanya.Nadia menarik napas panjang sebelum menjawab. “Alya... Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku... lelah.”“Lelah kenapa, Kak? Ada masalah apa lagi?” Nada Alya berubah serius, merasakan betul bahwa kakaknya tengah bergumul dengan sesuatu yang berat.“Aku merasa terjepit di antara Raka dan keluarga kita, Alya. Setiap kali aku pulang ke rumah, selalu saja ada hinaan, selalu ada perbandingan. Bu Retno dan Pak Surya terus-menerus membandingkan Raka dengan lelaki lain. Seolah-ola
Nadia menghela napas panjang, matanya menatap tajam ke arah ibunya yang duduk angkuh di depan meja makan. Punggung Bu Retno tegak, dagunya sedikit terangkat, seolah mengisyaratkan bahwa tak ada argumen yang dapat meruntuhkan keyakinannya."Aku ingin kita bicara secara terbuka, Bu," suara Nadia terdengar tenang meskipun hatinya berkecamuk.Bu Retno tidak terkejut dengan pernyataan anak sulungnya itu. Dengan nada dingin, dia menjawab, "Apa lagi sekarang, Nadia? Kamu tahu pendapatku tentang pernikahanmu."Nadia menatap ibunya dengan tegas, berusaha meredam kemarahannya. "Ibu selalu merendahkan Raka di depan keluarga kita, bahkan di depan teman-temanku. Apa Ibu tidak bisa melihat bagaimana hal itu menyakitiku?""Ini bukan tentang menyakiti, Nadia," Bu Retno memotongnya, nadanya tajam dan tegas. "Ini soal kenyataan. Kamu tidak bisa hidup hanya dengan cinta. Dunia ini keras. Raka mungkin baik, tapi dia tidak akan pernah mampu memberikan kehidupan yang layak buatmu."Mata Nadia mulai memanas.
Nadia duduk di ruang tamu, pandangannya kosong menatap jendela yang terbuka sedikit. Angin malam masuk perlahan, membawa suara gemerisik daun di luar. Pembicaraannya dengan Ibu Retno tadi siang masih membekas di pikirannya, menyisakan luka yang semakin dalam setiap kali mengingat kata-kata tajam ibunya. Sementara itu, Raka duduk di sebelahnya, diam namun penuh perhatian. Nadia tahu Raka merasakan beban yang sama, tapi ia tidak pernah mengungkapkannya dengan kata-kata. Senyumnya yang selalu tenang dan lembut kini terasa lebih rapuh.“Apa kita salah, Raka?” suara Nadia lirih, nyaris tertelan oleh gemuruh angin malam. "Apa yang kita lakukan... apa keputusan untuk menikah tanpa restu mereka adalah kesalahan?"Raka menoleh, matanya menatap lembut ke arah Nadia. Ia mendekat, menggenggam tangan istrinya, dan mendekatkannya ke dadanya. “Nadia, keputusan yang kita buat adalah keputusan kita sendiri. Kita tidak bisa hidup berdasarkan harapan orang lain, bahkan jika itu keluarga kita sendiri.”“
Nadia menatap langit-langit kamar yang gelap, suara detak jarum jam terdengar begitu jelas di keheningan malam. Meskipun Raka terlelap di sampingnya, hati dan pikirannya terasa tak tenang. Kata-kata Bu Retno terngiang lagi, seolah berputar-putar dalam kepalanya."Cinta saja tidak cukup."Nadia menutup matanya, mencoba mengabaikan kalimat itu, namun semakin ia berusaha, semakin kuat gema suara ibunya di benaknya. Ia mencintai Raka lebih dari apa pun. Namun, apakah benar cinta saja cukup untuk menghadapi semua ini?Saat perasaan bimbang menyelimuti, Nadia bergerak perlahan, bangkit dari tempat tidur agar tidak membangunkan Raka. Dia meraih jubah tidurnya, berjalan menuju balkon kecil di sisi kamar mereka. Udara malam terasa dingin, tapi sejuk. Dada Nadia terasa penuh, menahan tangis yang tak bisa ia keluarkan. Apa yang harus ia lakukan?Tepat saat itu, suara lembut Alya terdengar di dalam pikirannya, mengingatkan bagaimana adiknya selalu mendukung dan memujinya. Alya, yang penuh kasih, t
Nadia duduk di salah satu sudut kafe yang penuh dengan cahaya lembut sore itu. Udara dingin dari pendingin ruangan membuatnya menggigil, meskipun ia merasa panas di dalam hatinya. Pertemuan ini dengan Arman membuatnya gelisah sejak pagi. Ia tahu betul bahwa pembicaraan mereka kali ini tidak akan berbeda dari yang sebelumnya. Satu lagi perdebatan tentang pilihan hidupnya, tentang Raka. Tapi meskipun begitu, bagian dari dirinya berharap bahwa kali ini, Arman akan sedikit lebih pengertian.Arman datang dengan langkah mantap, tersenyum tipis pada Nadia saat mereka bertukar pandang. Ia duduk di seberang meja, menarik napas dalam-dalam sebelum memulai basa-basi. "Apa kabar, Nad?" tanyanya."Baik," jawab Nadia, meskipun kenyataannya tidak sesederhana itu. "Kamu sendiri?"Arman hanya mengangguk pelan, mengaduk kopinya dengan gerakan yang terukur. Tidak butuh waktu lama sebelum Arman masuk ke inti pembicaraan, seakan sudah menyusun kata-katanya dengan rapi sejak lama. “Nadia, kita keluarga, dan
Nadia membuka pintu rumah dengan hati yang masih berat. Pertemuan dengan Arman terus berputar di kepalanya, kata-katanya seakan bergaung di setiap sudut pikirannya. "Aku hanya berharap kamu tidak menyesal nantinya."Di depan matanya, Raka sedang duduk di ruang tamu dengan laptop terbuka di pangkuannya. Wajahnya terlihat fokus, namun ketika ia mendengar pintu terbuka, ia segera mengangkat kepalanya. Senyum kecil tersungging di bibirnya, meskipun ada bayang kelelahan di matanya.“Kamu kelihatan lelah,” katanya lembut, perhatian selalu terpancar dari nada suaranya yang tenang. Dia menutup laptopnya dan berdiri mendekati Nadia.Nadia hanya bisa mengangguk pelan, senyum dipaksakan menghiasi wajahnya. Namun, hatinya terasa sesak. Ada begitu banyak yang ingin dia sampaikan, tapi kata-kata seolah tertahan di tenggorokan.Raka mendekat, menarik tangannya perlahan. “Ada apa?” tanya Raka, menatap wajah istrinya dengan penuh keprihatinan.Nadia menghela napas panjang. "Aku baru saja bertemu Arman
Nadia duduk termenung di kursi hotel, tatapannya terpaku pada surat yang baru saja ia temukan di meja kerja Raka. Surat itu terasa begitu berat, seperti memegang potongan terakhir dari teka-teki besar yang tidak pernah ia sadari sedang ia susun. Beberapa minggu sebelum Raka menghilang, ia menulis ini, menyisakan pesan yang begitu ambigu.Tangannya gemetar saat ia mengangkat surat itu lagi, mencoba memahami setiap kata. "Aku harus pergi, Nad. Bukan karena aku ingin meninggalkanmu, tapi karena aku tak ingin kamu terluka oleh apa yang akan terjadi."“Apa maksudnya?” Nadia berbicara pada dirinya sendiri, namun suaranya hampir tak terdengar. Otaknya dipenuhi dengan pertanyaan, tetapi tidak ada jawaban yang muncul. Apakah Raka telah mengetahui sesuatu yang ia tak ketahui? Apakah dia terlibat dalam situasi yang jauh lebih berbahaya daripada yang ia bayangkan? Atau mungkin ini hanya rasa bersalah yang menumpuk dalam dirinya? Nadia menghela napas berat, berusaha memproses perasaannya.Telepon
Nadia duduk di sofa ruang tamunya, matanya menatap layar laptop yang menampilkan halaman pencarian terbuka, tetapi pikirannya melayang jauh. Berhari-hari telah berlalu sejak ia mulai bekerja dengan Zaki untuk menemukan jejak Raka, dan setiap kali hasilnya sama: nihil. Raka seolah lenyap begitu saja, meninggalkan Nadia dalam kekosongan yang semakin dalam.Zaki, teman lamanya yang kebetulan bekerja sebagai ahli forensik digital, duduk di depannya. Di tangannya, ia memegang secangkir kopi yang sudah dingin. Wajahnya menunjukkan ekspresi serius, namun tidak kehilangan semangat. "Nad," kata Zaki lembut, "jejak digital Raka benar-benar bersih. Tidak ada transaksi aneh, tidak ada login media sosial. Seperti dia benar-benar memutuskan semua hubungan dengan dunia."Nadia menghela napas panjang, menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. “Aku tidak tahu lagi harus mencari di mana, Zak. Aku sudah memeriksa setiap sudut, setiap hal kecil yang mungkin memberikan petunjuk, tapi semuanya terasa sia-si
Nadia duduk di sofa kecil di sudut apartemennya, tangannya gemetar saat merapikan koper yang hampir penuh. Kepalanya dipenuhi pikiran, antara kesedihan, kebingungan, dan ketakutan. Raka menghilang tanpa sepatah kata. Meninggalkan pertanyaan yang menggantung di udara, seakan menguji kesabaran Nadia yang selama ini berusaha tegar. Apa yang sebenarnya terjadi?Terdengar ketukan pelan di pintu. Nadia menghapus air mata yang mengalir tanpa disadarinya, lalu membuka pintu dengan wajah yang berusaha tetap tegar."Maria..." Nadia tersenyum lemah melihat rekan kerjanya yang selama ini setia mendampinginya."Aku datang karena aku tahu kamu butuh teman bicara," jawab Maria, masuk ke dalam apartemen tanpa menunggu undangan. Tatapan matanya mengamati koper yang sudah siap di sebelah pintu, lalu kembali menatap Nadia dengan cemas.Nadia menarik napas panjang dan duduk kembali di sofa. "Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya seperti semua jalan tertutup. Raka pergi tanpa jejak, dan aku tidak t
Nadia tertegun, ponselnya nyaris terjatuh dari tangannya. Kata-kata Alya terus bergema di kepalanya: Raka membawa koper besar, seolah-olah berencana pergi jauh. Hatinya seolah diremas keras, menambah berat beban di dada yang sudah sulit ia pikul. Raka tidak pernah meninggalkan tanda-tanda sebelumnya. Tidak ada kata-kata perpisahan, tidak ada penjelasan. Yang tersisa hanyalah misteri yang semakin menjeratnya.“Alya, kau yakin melihatnya sendiri?” tanya Nadia, suaranya hampir bergetar.“Iya, Kak. Aku sempat bertanya pada tetangga di sana juga. Mereka bilang Raka pergi pagi-pagi sekali, membawa koper besar. Tapi anehnya, dia tampak begitu tenang. Seperti dia tahu ke mana dia pergi dan tidak terburu-buru,” jelas Alya dengan pelan, mencoba menenangkan kakaknya.Nadia menghela napas panjang, mencoba memahami situasi. Raka bukan tipe orang yang bertindak sembarangan atau membuat keputusan impulsif, apalagi yang sebesar ini. Seandainya ada sesuatu yang dia sembunyikan, pasti itu sangat pentin
Pagi itu, Nadia berdiri di depan cermin kamar hotelnya, menatap pantulan dirinya dengan tatapan kosong. Kepalanya penuh dengan keraguan. Telepon dari Bu Retno, ibunya, kemarin malam begitu melekat dalam benaknya. Kata-kata ibunya terus berputar di pikirannya, memintanya untuk pulang, untuk menghadapi kenyataan yang semakin mencekam. Namun, kepulangannya tidak hanya soal keluarga. Di balik alasan itu, Nadia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar, lebih misterius: keberadaan Raka yang tidak jelas.Saat ia mencoba mengatur napas, pikirannya beralih ke pekerjaannya. Karier yang baru saja ia bangun dari nol, yang ia perjuangkan setelah menikah dengan Raka. "Apakah aku siap mengorbankannya?" Nadia bergumam lirih, merasa cemas. Di satu sisi, ia tahu bahwa hatinya tidak akan pernah tenang sebelum ia menemukan suaminya, tetapi di sisi lain, pekerjaannya di sini adalah fondasi yang menopang hidupnya selama Raka tak ada.Perasaan ini begitu mengganggu, seolah-olah ia berdiri di tepi jurang, har
Nadia duduk di meja kantornya, pandangan matanya terfokus pada layar komputer, namun pikirannya melayang jauh dari ruang kerjanya. Setiap kata yang muncul di layar terlihat kabur, tertutup oleh pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya sejak Zaki menyampaikan saran itu.“Mungkin Raka tidak benar-benar menghilang. Mungkin dia sedang mencari sesuatu.”Kata-kata Zaki berulang kali menggema di benaknya, menelusup jauh ke dalam relung hatinya yang penuh kekhawatiran. Apa mungkin Raka benar-benar sedang menyembunyikan sesuatu? Apakah ini bukan kali pertama ia merahasiakan sesuatu darinya? Pikiran itu semakin menekan perasaannya, membuat Nadia sulit untuk fokus pada pekerjaannya.“Kenapa aku tidak pernah melihat tanda-tandanya?” bisiknya dalam hati. Sebagai seorang istri, seharusnya dia bisa merasakan setiap perubahan kecil pada suaminya. Namun selama ini, ia terlalu sibuk berjuang dengan ekspektasi keluarganya dan tekanan hidup yang terus menghimpit.Nafasnya terasa berat, dan tanpa sadar
Nadia duduk di tepi tempat tidur apartemennya, matanya menatap ponselnya yang bergetar. Nama Alya muncul di layar, dan ada sesuatu dalam hatinya yang tiba-tiba berdebar lebih cepat. Sudah larut malam di kota asing ini, dan Alya jarang menelepon kecuali ada hal penting. Segera, ia menggeser layar untuk menerima panggilan."Hallo, Kak Nadia," suara Alya terdengar, pelan namun penuh kecemasan."Ada apa, Alya? Kamu baik-baik saja?" Nadia segera bertanya, merasa ada sesuatu yang salah."Ini tentang Kak Raka…" Suara Alya terdengar bergetar, membuat Nadia langsung duduk lebih tegak. "Kakak harus tahu… dia menghilang."Nadia membeku sejenak. Pikiran itu menghantamnya seperti petir. "Menghilang? Apa maksudmu, Alya?" Suaranya pecah, seolah tak percaya."Dia pergi, Kak. Tak ada yang tahu ke mana dia. Sebelum dia pergi, dia hanya meninggalkan pesan singkat…""Apa yang dia tulis?" Nadia merasakan napasnya mulai pendek, dadanya terasa sesak."‘Aku
Hari pertama Nadia di perusahaan startup itu penuh dengan harapan dan ketegangan. Ruangan yang dipenuhi warna-warni kain dan desain yang beragam membuatnya merasa seakan memasuki dunia baru. Begitu melangkah masuk, ia disambut dengan senyum hangat dari rekan-rekannya, yang langsung membuatnya merasa lebih nyaman."Nadia, bukan?" suara lembut menyapa dari arah kanan. Seorang wanita berambut keriting dengan riasan ceria mendekatinya. "Aku Mira, bagian desain. Selamat datang! Kita akan segera memulai proyek besar, dan aku yakin kamu akan suka."Nadia tersenyum, merasa sedikit lebih tenang. "Terima kasih, Mira. Aku sangat bersemangat!"Seiring berjalannya waktu, Nadia mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ia belajar bahwa orang-orang di sekitarnya tidak terjebak dalam pandangan sosial yang sempit seperti keluarganya. Di sini, status dan kekayaan bukanlah yang utama; ide, kreativitas, dan passion menjadi hal yang jauh lebih berharga.Selama satu minggu pertama, Nadia terlibat dalam b
Pagi itu, Nadia menatap koper yang sudah tertata rapi di ujung kamar. Ruangan tampak hening, hanya suara detik jam yang terdengar. Di luar, Raka baru saja pergi, mengendarai motor tuanya menuju tempat kerja. Nadia merasakan berat di dadanya, tetapi ia tahu ini keputusan yang harus diambil. Surat yang ia tulis semalam kini tergeletak di atas meja kecil, menunggu untuk ditemukan Raka.Dengan langkah perlahan, Nadia mengambil tas jinjingnya dan berjalan keluar dari rumah yang selama ini mereka tempati bersama. Setiap langkah terasa semakin berat, namun ada sesuatu yang mendorongnya maju, sebuah dorongan untuk mencari kejelasan di luar semua kebingungan yang kini melingkupinya.Saat tiba di bandara, tangannya sedikit gemetar saat menyerahkan tiket kepada petugas. "Apakah aku benar-benar melarikan diri?" gumamnya dalam hati. Namun, suara di dalam dirinya terus mengatakan bahwa dia butuh waktu, dia butuh ruang untuk berpikir.Saat pesawat lepas landas, Nadia menatap awan putih yang membentan