Malam itu, keheningan menyelimuti kamar tidur Nadia. Tirai jendela yang setengah terbuka mengizinkan sinar bulan menerobos masuk, memantulkan bayangan remang di dinding. Suara napas Raka yang dalam dan berirama di sebelahnya terasa menenangkan, namun tidak mampu mengusir kegelisahan yang menderanya. Nadia duduk di pinggir ranjang, tangannya terulur menyentuh tangan suaminya yang terkulai di kasur, tapi hatinya terasa jauh dari tenang.
Pertengkaran mereka tadi siang masih berputar-putar di benaknya. Kata-kata penuh emosi yang keluar da
Pagi itu, Nadia duduk di balkon rumahnya, memandangi langit yang mulai terang. Hatiku berat, pikirnya. Matahari pun tak sanggup mengusir kegalauan yang memenuhi kepalanya. Di genggamannya, ponsel bergetar pelan, menampilkan nama yang selalu membuatnya merasa lebih baik Alya.“Hallo, Kak,” suara ceria Alya terdengar begitu akrab di telinga Nadia. Selalu ada semangat dalam nada suaranya, seolah dunia tidak pernah menimpakan kesedihan kepadanya.Nadia menarik napas panjang sebelum menjawab. “Alya... Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku... lelah.”“Lelah kenapa, Kak? Ada masalah apa lagi?” Nada Alya berubah serius, merasakan betul bahwa kakaknya tengah bergumul dengan sesuatu yang berat.“Aku merasa terjepit di antara Raka dan keluarga kita, Alya. Setiap kali aku pulang ke rumah, selalu saja ada hinaan, selalu ada perbandingan. Bu Retno dan Pak Surya terus-menerus membandingkan Raka dengan lelaki lain. Seolah-ola
Nadia menghela napas panjang, matanya menatap tajam ke arah ibunya yang duduk angkuh di depan meja makan. Punggung Bu Retno tegak, dagunya sedikit terangkat, seolah mengisyaratkan bahwa tak ada argumen yang dapat meruntuhkan keyakinannya."Aku ingin kita bicara secara terbuka, Bu," suara Nadia terdengar tenang meskipun hatinya berkecamuk.Bu Retno tidak terkejut dengan pernyataan anak sulungnya itu. Dengan nada dingin, dia menjawab, "Apa lagi sekarang, Nadia? Kamu tahu pendapatku tentang pernikahanmu."Nadia menatap ibunya dengan tegas, berusaha meredam kemarahannya. "Ibu selalu merendahkan Raka di depan keluarga kita, bahkan di depan teman-temanku. Apa Ibu tidak bisa melihat bagaimana hal itu menyakitiku?""Ini bukan tentang menyakiti, Nadia," Bu Retno memotongnya, nadanya tajam dan tegas. "Ini soal kenyataan. Kamu tidak bisa hidup hanya dengan cinta. Dunia ini keras. Raka mungkin baik, tapi dia tidak akan pernah mampu memberikan kehidupan yang layak buatmu."Mata Nadia mulai memanas.
Nadia duduk di ruang tamu, pandangannya kosong menatap jendela yang terbuka sedikit. Angin malam masuk perlahan, membawa suara gemerisik daun di luar. Pembicaraannya dengan Ibu Retno tadi siang masih membekas di pikirannya, menyisakan luka yang semakin dalam setiap kali mengingat kata-kata tajam ibunya. Sementara itu, Raka duduk di sebelahnya, diam namun penuh perhatian. Nadia tahu Raka merasakan beban yang sama, tapi ia tidak pernah mengungkapkannya dengan kata-kata. Senyumnya yang selalu tenang dan lembut kini terasa lebih rapuh.“Apa kita salah, Raka?” suara Nadia lirih, nyaris tertelan oleh gemuruh angin malam. "Apa yang kita lakukan... apa keputusan untuk menikah tanpa restu mereka adalah kesalahan?"Raka menoleh, matanya menatap lembut ke arah Nadia. Ia mendekat, menggenggam tangan istrinya, dan mendekatkannya ke dadanya. “Nadia, keputusan yang kita buat adalah keputusan kita sendiri. Kita tidak bisa hidup berdasarkan harapan orang lain, bahkan jika itu keluarga kita sendiri.”“
Nadia menatap langit-langit kamar yang gelap, suara detak jarum jam terdengar begitu jelas di keheningan malam. Meskipun Raka terlelap di sampingnya, hati dan pikirannya terasa tak tenang. Kata-kata Bu Retno terngiang lagi, seolah berputar-putar dalam kepalanya."Cinta saja tidak cukup."Nadia menutup matanya, mencoba mengabaikan kalimat itu, namun semakin ia berusaha, semakin kuat gema suara ibunya di benaknya. Ia mencintai Raka lebih dari apa pun. Namun, apakah benar cinta saja cukup untuk menghadapi semua ini?Saat perasaan bimbang menyelimuti, Nadia bergerak perlahan, bangkit dari tempat tidur agar tidak membangunkan Raka. Dia meraih jubah tidurnya, berjalan menuju balkon kecil di sisi kamar mereka. Udara malam terasa dingin, tapi sejuk. Dada Nadia terasa penuh, menahan tangis yang tak bisa ia keluarkan. Apa yang harus ia lakukan?Tepat saat itu, suara lembut Alya terdengar di dalam pikirannya, mengingatkan bagaimana adiknya selalu mendukung dan memujinya. Alya, yang penuh kasih, t
Nadia duduk di salah satu sudut kafe yang penuh dengan cahaya lembut sore itu. Udara dingin dari pendingin ruangan membuatnya menggigil, meskipun ia merasa panas di dalam hatinya. Pertemuan ini dengan Arman membuatnya gelisah sejak pagi. Ia tahu betul bahwa pembicaraan mereka kali ini tidak akan berbeda dari yang sebelumnya. Satu lagi perdebatan tentang pilihan hidupnya, tentang Raka. Tapi meskipun begitu, bagian dari dirinya berharap bahwa kali ini, Arman akan sedikit lebih pengertian.Arman datang dengan langkah mantap, tersenyum tipis pada Nadia saat mereka bertukar pandang. Ia duduk di seberang meja, menarik napas dalam-dalam sebelum memulai basa-basi. "Apa kabar, Nad?" tanyanya."Baik," jawab Nadia, meskipun kenyataannya tidak sesederhana itu. "Kamu sendiri?"Arman hanya mengangguk pelan, mengaduk kopinya dengan gerakan yang terukur. Tidak butuh waktu lama sebelum Arman masuk ke inti pembicaraan, seakan sudah menyusun kata-katanya dengan rapi sejak lama. “Nadia, kita keluarga, dan
Nadia membuka pintu rumah dengan hati yang masih berat. Pertemuan dengan Arman terus berputar di kepalanya, kata-katanya seakan bergaung di setiap sudut pikirannya. "Aku hanya berharap kamu tidak menyesal nantinya."Di depan matanya, Raka sedang duduk di ruang tamu dengan laptop terbuka di pangkuannya. Wajahnya terlihat fokus, namun ketika ia mendengar pintu terbuka, ia segera mengangkat kepalanya. Senyum kecil tersungging di bibirnya, meskipun ada bayang kelelahan di matanya.“Kamu kelihatan lelah,” katanya lembut, perhatian selalu terpancar dari nada suaranya yang tenang. Dia menutup laptopnya dan berdiri mendekati Nadia.Nadia hanya bisa mengangguk pelan, senyum dipaksakan menghiasi wajahnya. Namun, hatinya terasa sesak. Ada begitu banyak yang ingin dia sampaikan, tapi kata-kata seolah tertahan di tenggorokan.Raka mendekat, menarik tangannya perlahan. “Ada apa?” tanya Raka, menatap wajah istrinya dengan penuh keprihatinan.Nadia menghela napas panjang. "Aku baru saja bertemu Arman
Raka berdiri di ambang pintu, pandangannya beralih antara Nadia dan Bimo yang berdiri tepat di depannya. Udara di dalam ruangan terasa semakin berat. Bimo tersenyum lebar, seolah waktu tak pernah memisahkan mereka. Di sisi lain, Raka menyembunyikan kegelisahannya di balik senyuman tipis. Meski ia tak pernah menyuarakan rasa cemburu, kehadiran Bimo jelas memberikan dampak yang tak ia harapkan.“Silakan masuk,” ucap Raka sopan, meski di dalam hati, ia bertanya-tanya apa motif Bimo sebenarnya. Raka lalu menoleh sekilas kepada Nadia, mencari tatapan yang bisa memberikan penjelasan. Namun, Nadia hanya mengangguk, tak mampu berkata apa-apa. Ia tahu pertemuan ini akan memunculkan kenangan yang seharusnya sudah terkubur.Setelah Bimo melangkah masuk, suasana di ruang tamu mendadak sunyi. Nadia merasa tegang. Ia berusaha menenangkan dirinya, tapi percikan dari masa lalu mulai membakar pikirannya. Bagaimana Bimo bisa tahu tempat ini? Ia bertanya-tanya dalam hati, sambil melirik Raka yang terlih
Nadia duduk di tepi tempat tidur, memandangi foto pernikahan dirinya dan Raka yang tergantung di dinding. Senyum mereka tampak sempurna di hari itu, namun pikirannya saat ini terombang-ambing, seakan terseret arus kenangan masa lalu yang tiba-tiba menyerbu tanpa peringatan. Kehadiran Bimo di rumahnya tadi seolah membuka pintu yang sudah lama ia kunci."Bagaimana kalau aku tetap bersama Bimo?" pikirnya, meski ia tahu pertanyaan itu hanya akan menambah beban di hatinya. Ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah hanya karena memikirkannya. Mencintai Raka adalah pilihan terbaik yang pernah ia buat, namun kenangan tentang hidup yang mungkin ia miliki bersama Bimo muncul seperti bayangan hantu yang tak bisa diusir.Saat itulah, Raka masuk ke kamar, membuyarkan lamunan Nadia. "Kamu kelihatan capek, ada yang salah?" tanyanya dengan nada lembut, mendekati Nadia dengan kekhawatiran yang jelas di matanya. Raka selalu peka terhadap perasaannya, dan itu membuat rasa bersalah Nadia semakin membe