Nadia berjalan dengan langkah ringan menuju dapur, meski hatinya terasa berat setelah percakapan singkat dengan ibunya. Terselip perasaan lelah menghadapi sikap sinis yang terus-menerus ia terima setiap kali berkunjung. Namun, ia berusaha menenangkan diri. Dapur selalu menjadi tempat pelariannya, tempat di mana ia bisa merenung tanpa banyak gangguan.Ketika Nadia masuk ke dapur, aroma teh melati yang harum menyambutnya. Di sana, Mbok Mirah, pembantu rumah tangga yang sudah bekerja puluhan tahun di keluarga mereka, sedang menyiapkan cangkir-cangkir teh dengan tangan yang terampil. Nadia tersenyum kecil melihat wanita paruh baya itu, yang sudah seperti keluarga sendiri.“Mbak Nadia, mari duduk dulu. Saya buatkan teh,” ucap Mbok Mirah dengan senyum ramah yang tulus.“Terima kasih, Mbok,” balas Nadia sambil mengambil kursi dan duduk di meja dapur. Matanya memperhatikan gerakan tenang Mbok Mirah, yang seperti biasa, penuh kasih sayang dan perhatian. Nadia merasa lega karena ada seseorang ya
Nadia pulang ke rumah dengan tubuh yang terasa berat, seolah setiap langkahnya menarik seluruh beban dunia. Pikirannya dipenuhi oleh percakapan yang baru saja ia lalui bersama ibunya, Bu Retno. Hinaan dan perbandingan yang tak henti-hentinya ditujukan pada Raka terus berputar di kepalanya, meninggalkan rasa perih yang sulit diungkapkan.Setibanya di rumah, Nadia langsung menuju ruang tamu. Matanya tak sanggup lagi untuk terbuka lebar, dan tanpa berpikir panjang, ia menjatuhkan dirinya di kursi. Rasa kantuk yang begitu kuat membuatnya segera terlelap, meskipun tubuhnya belum sepenuhnya nyaman.Tak lama kemudian, Raka pulang dari kerja. Lelah jelas terlihat di wajahnya, namun begitu melihat Nadia yang tertidur di kursi, senyum tipis terbit di bibirnya. Ia mendekati Nadia dengan hati-hati, berusaha tidak membangunkannya. Perlahan, ia menyelipkan tangannya di bawah tubuh Nadia, lalu mengangkatnya ke dalam pelukannya.Di antara kegelapan malam, Raka membawa Nadia ke kamar mereka. Setiap lan
Matahari siang menembus tirai jendela, menciptakan pola bayangan di lantai ruang tamu. Nadia duduk di sofa, menggenggam cangkir teh hangat yang aromanya menyebar ke seluruh ruangan. Hatinya berdebar, menyadari bahwa kakaknya, Arman, akan segera tiba. Hubungan mereka tidak pernah mudah, terutama sejak Nadia menikah dengan Raka. Arman selalu merasa superior, dengan pekerjaan dan gaya hidupnya yang serba mewah. Dia sering memandang rendah Raka, dan Nadia tahu bahwa kunjungan ini tidak akan berbeda.Pintu rumah terbuka, dan Arman melangkah masuk dengan langkah mantap. Penampilannya selalu rapi, seakan-akan dia baru saja keluar dari kantor meskipun ini hari libur. Nadia tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaan gugup yang mulai merambat di hatinya.“Selamat datang, Mas Arman,” sapa Nadia lembut, mencoba menyambutnya dengan tulus.Arman membalas senyuman itu dengan anggukan singkat, sebelum duduk di sofa yang berhadapan dengan Nadia. Dia melirik sekilas ke arah sekeliling rumah, seola
Malam itu, udara di dalam rumah terasa lebih dingin dari biasanya, meski pendingin ruangan sudah dimatikan. Nadia dan Raka duduk di sofa ruang tamu, di mana lampu meja memancarkan cahaya lembut. Atmosfer yang biasanya nyaman kini terasa tegang, dan Nadia tidak bisa mengabaikan perasaan kesedihan yang menggerogoti hatinya. Dia merasa seperti berada di persimpangan yang tidak ada jalan keluar antara cinta yang tulus dan tekanan yang terus-menerus dari keluarganya.Nadia menggenggam tangan Raka, jari-jari mereka saling berinteraksi dalam kesenyapan malam yang penuh emosi. “Raka, aku merasa sangat tertekan dengan semua ini,” ucap Nadia, suaranya hampir tak terdengar. “Mereka terus merendahkanmu, dan aku tidak tahu harus bagaimana.”Raka memandang Nadia dengan mata yang penuh pengertian. Dia tahu betapa beratnya beban yang harus dipikul Nadia, terutama saat dia terus-menerus menjadi sasaran kritik dari keluarganya sendiri. Raka merasakan ketulusan dalam setiap kata Nadia, dan dia bisa melih
Raka merasakan beban di pundaknya semakin berat setiap hari. Meski dia mencoba mengabaikan bisikan-bisikan dan tatapan sinis dari rekan-rekannya di kantor, kata-kata mereka terus menghantuinya. Saat itu, di ruang makan siang yang ramai, Raka duduk sendiri di sudut ruangan, menatap piring makanannya yang setengah kosong tanpa nafsu. Suara bising dan canda tawa dari sekelilingnya terasa samar, seolah teredam oleh kebisingan pikirannya sendiri.“Aku tidak mengerti, sungguh tidak mengerti. Apa yang dilihat Nadia dalam diri Raka?” kata seorang rekan, suaranya cukup keras hingga Raka bisa mendengarnya meskipun dia duduk jauh.Kata-kata itu seperti belati yang menusuk langsung ke hatinya. Raka mencoba untuk tidak menghiraukannya, tapi setiap kali dia mendengar nama Nadia disebutkan dalam nada meremehkan, rasa sakit itu terasa lebih dalam. Dia tahu betul betapa Nadia adalah sosok yang istimewa, dan dia berusaha keras untuk membuktikan kepada dunia terutama kepada diri sendiri bahwa dia layak u
Acara keluarga besar itu digelar di sebuah rumah megah yang dimiliki oleh salah satu kerabat jauh, suasana riuh dengan canda tawa dan percakapan meriah. Nadia dan Raka datang dengan harapan yang tipis, berusaha untuk menjaga suasana tetap positif meskipun mereka tahu betul bahwa acara ini bisa menjadi ajang kembali untuk merendahkan Raka.Nadia melirik Raka dari samping. Wajahnya tegang, tapi dia berusaha tersenyum untuk memberi semangat pada suaminya. “Kita akan baik-baik saja,” katanya lembut, sambil meremas tangan Raka dengan lembut. Raka menatapnya, berusaha memberi senyum yang meyakinkan meskipun hatinya terasa berat.Saat mereka memasuki ruang utama, ibu Nadia, Bu Retno, tampak berdiri di tengah kerumunan, menerima tamu dengan senyuman lebar yang terkadang terasa dingin. Nadia tahu bahwa Bu Retno tidak pernah benar-benar menyukai Raka dan sering menunjukkan ketidaksenangannya dengan cara yang halus namun tajam.“Ah, Nadia dan Raka! Selamat datang,” sambut Bu Retno dengan suara ce
Malam itu, suasana di rumah terasa berbeda. Hujan turun dengan lembut di luar jendela, seolah-olah langit pun memahami kepedihan yang dirasakan Nadia dan Raka. Setiap tetes hujan menambah ketenangan malam yang seharusnya menenangkan, namun bagi Nadia, ketenangan ini lebih terasa seperti ketegangan yang menekan perasaannya.Raka memimpin Nadia menuju ruang tamu, berusaha keras untuk menyingkirkan rasa sakit hati yang mendalam. Dia menghidupkan lampu di ruangan, dan sinar lembut dari lampu itu tampak menciptakan aura yang nyaman, meskipun beban emosional masih menggelayuti pikiran mereka."Bagaimana perasaanmu?" tanya Raka lembut, matanya penuh kekhawatiran saat dia memandangi Nadia yang duduk di sofa. Nadia hanya menggelengkan kepala, air mata yang tertahan hampir mengalir di pipinya.Nadia merasa seolah-olah kata-kata Bu Retno masih terngiang-ngiang di telinganya. Setiap kali dia menutup mata, dia bisa melihat ekspresi sinis ibunya, dan rasa sakit itu membuat hatinya terasa berat. Raka
Keesokan paginya, Nadia menerima panggilan telepon dari ayahnya, Pak Surya, yang meminta untuk bertemu di kantornya. Setiap kali dia mendapatkan panggilan seperti itu, Nadia merasa jantungnya berdegup kencang. Dia tahu bahwa ayahnya, meskipun penuh kasih sayang, sering memiliki pandangan yang keras dan sulit diubah. Dengan perasaan campur aduk, Nadia bersiap dan menuju kantor Pak Surya, berusaha menenangkan diri.Setibanya di kantor ayahnya, Nadia dihadapkan pada suasana yang formal dan dingin, berbeda dari kehangatan rumahnya sendiri. Pak Surya, seorang pria berwibawa dengan wajah tegas dan mata yang tajam, sudah menunggu di ruang kerjanya. Dia duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen-dokumen penting. Nadia merasakan ketegangan di udara ketika Pak Surya melambaikan tangan, mempersilakan Nadia duduk di kursi di depan mejanya.“Nadia, terima kasih telah datang,” kata Pak Surya dengan nada yang lebih tegas dari biasanya. “Aku ingin kita berbicara tentang masa depanmu.”Nadia du