Semua Bab Hidden Truths of My Husband: Bab 41 - Bab 50

53 Bab

41. Keputusan Besar

Nadia duduk di ruang tamu, pandangannya kosong menatap jendela yang terbuka sedikit. Angin malam masuk perlahan, membawa suara gemerisik daun di luar. Pembicaraannya dengan Ibu Retno tadi siang masih membekas di pikirannya, menyisakan luka yang semakin dalam setiap kali mengingat kata-kata tajam ibunya. Sementara itu, Raka duduk di sebelahnya, diam namun penuh perhatian. Nadia tahu Raka merasakan beban yang sama, tapi ia tidak pernah mengungkapkannya dengan kata-kata. Senyumnya yang selalu tenang dan lembut kini terasa lebih rapuh.“Apa kita salah, Raka?” suara Nadia lirih, nyaris tertelan oleh gemuruh angin malam. "Apa yang kita lakukan... apa keputusan untuk menikah tanpa restu mereka adalah kesalahan?"Raka menoleh, matanya menatap lembut ke arah Nadia. Ia mendekat, menggenggam tangan istrinya, dan mendekatkannya ke dadanya. “Nadia, keputusan yang kita buat adalah keputusan kita sendiri. Kita tidak bisa hidup berdasarkan harapan orang lain, bahkan jika itu keluarga kita sendiri.”“
Baca selengkapnya

42. Mempertanyakan Cinta

Nadia menatap langit-langit kamar yang gelap, suara detak jarum jam terdengar begitu jelas di keheningan malam. Meskipun Raka terlelap di sampingnya, hati dan pikirannya terasa tak tenang. Kata-kata Bu Retno terngiang lagi, seolah berputar-putar dalam kepalanya."Cinta saja tidak cukup."Nadia menutup matanya, mencoba mengabaikan kalimat itu, namun semakin ia berusaha, semakin kuat gema suara ibunya di benaknya. Ia mencintai Raka lebih dari apa pun. Namun, apakah benar cinta saja cukup untuk menghadapi semua ini?Saat perasaan bimbang menyelimuti, Nadia bergerak perlahan, bangkit dari tempat tidur agar tidak membangunkan Raka. Dia meraih jubah tidurnya, berjalan menuju balkon kecil di sisi kamar mereka. Udara malam terasa dingin, tapi sejuk. Dada Nadia terasa penuh, menahan tangis yang tak bisa ia keluarkan. Apa yang harus ia lakukan?Tepat saat itu, suara lembut Alya terdengar di dalam pikirannya, mengingatkan bagaimana adiknya selalu mendukung dan memujinya. Alya, yang penuh kasih, t
Baca selengkapnya

43. Tekanan Bertambah

Nadia duduk di salah satu sudut kafe yang penuh dengan cahaya lembut sore itu. Udara dingin dari pendingin ruangan membuatnya menggigil, meskipun ia merasa panas di dalam hatinya. Pertemuan ini dengan Arman membuatnya gelisah sejak pagi. Ia tahu betul bahwa pembicaraan mereka kali ini tidak akan berbeda dari yang sebelumnya. Satu lagi perdebatan tentang pilihan hidupnya, tentang Raka. Tapi meskipun begitu, bagian dari dirinya berharap bahwa kali ini, Arman akan sedikit lebih pengertian.Arman datang dengan langkah mantap, tersenyum tipis pada Nadia saat mereka bertukar pandang. Ia duduk di seberang meja, menarik napas dalam-dalam sebelum memulai basa-basi. "Apa kabar, Nad?" tanyanya."Baik," jawab Nadia, meskipun kenyataannya tidak sesederhana itu. "Kamu sendiri?"Arman hanya mengangguk pelan, mengaduk kopinya dengan gerakan yang terukur. Tidak butuh waktu lama sebelum Arman masuk ke inti pembicaraan, seakan sudah menyusun kata-katanya dengan rapi sejak lama. “Nadia, kita keluarga, dan
Baca selengkapnya

44. Suasana Rumah yang Tegang

Nadia membuka pintu rumah dengan hati yang masih berat. Pertemuan dengan Arman terus berputar di kepalanya, kata-katanya seakan bergaung di setiap sudut pikirannya. "Aku hanya berharap kamu tidak menyesal nantinya."Di depan matanya, Raka sedang duduk di ruang tamu dengan laptop terbuka di pangkuannya. Wajahnya terlihat fokus, namun ketika ia mendengar pintu terbuka, ia segera mengangkat kepalanya. Senyum kecil tersungging di bibirnya, meskipun ada bayang kelelahan di matanya.“Kamu kelihatan lelah,” katanya lembut, perhatian selalu terpancar dari nada suaranya yang tenang. Dia menutup laptopnya dan berdiri mendekati Nadia.Nadia hanya bisa mengangguk pelan, senyum dipaksakan menghiasi wajahnya. Namun, hatinya terasa sesak. Ada begitu banyak yang ingin dia sampaikan, tapi kata-kata seolah tertahan di tenggorokan.Raka mendekat, menarik tangannya perlahan. “Ada apa?” tanya Raka, menatap wajah istrinya dengan penuh keprihatinan.Nadia menghela napas panjang. "Aku baru saja bertemu Arman
Baca selengkapnya

45. Pertemuan yang Mengejutkan

Raka berdiri di ambang pintu, pandangannya beralih antara Nadia dan Bimo yang berdiri tepat di depannya. Udara di dalam ruangan terasa semakin berat. Bimo tersenyum lebar, seolah waktu tak pernah memisahkan mereka. Di sisi lain, Raka menyembunyikan kegelisahannya di balik senyuman tipis. Meski ia tak pernah menyuarakan rasa cemburu, kehadiran Bimo jelas memberikan dampak yang tak ia harapkan.“Silakan masuk,” ucap Raka sopan, meski di dalam hati, ia bertanya-tanya apa motif Bimo sebenarnya. Raka lalu menoleh sekilas kepada Nadia, mencari tatapan yang bisa memberikan penjelasan. Namun, Nadia hanya mengangguk, tak mampu berkata apa-apa. Ia tahu pertemuan ini akan memunculkan kenangan yang seharusnya sudah terkubur.Setelah Bimo melangkah masuk, suasana di ruang tamu mendadak sunyi. Nadia merasa tegang. Ia berusaha menenangkan dirinya, tapi percikan dari masa lalu mulai membakar pikirannya. Bagaimana Bimo bisa tahu tempat ini? Ia bertanya-tanya dalam hati, sambil melirik Raka yang terlih
Baca selengkapnya

46. Perbandingan yang Menyakitkan

Nadia duduk di tepi tempat tidur, memandangi foto pernikahan dirinya dan Raka yang tergantung di dinding. Senyum mereka tampak sempurna di hari itu, namun pikirannya saat ini terombang-ambing, seakan terseret arus kenangan masa lalu yang tiba-tiba menyerbu tanpa peringatan. Kehadiran Bimo di rumahnya tadi seolah membuka pintu yang sudah lama ia kunci."Bagaimana kalau aku tetap bersama Bimo?" pikirnya, meski ia tahu pertanyaan itu hanya akan menambah beban di hatinya. Ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah hanya karena memikirkannya. Mencintai Raka adalah pilihan terbaik yang pernah ia buat, namun kenangan tentang hidup yang mungkin ia miliki bersama Bimo muncul seperti bayangan hantu yang tak bisa diusir.Saat itulah, Raka masuk ke kamar, membuyarkan lamunan Nadia. "Kamu kelihatan capek, ada yang salah?" tanyanya dengan nada lembut, mendekati Nadia dengan kekhawatiran yang jelas di matanya. Raka selalu peka terhadap perasaannya, dan itu membuat rasa bersalah Nadia semakin membe
Baca selengkapnya

47. Ketegangan di Antara Mereka

Suasana ruang tamu terasa berat malam itu. Sejak pertemuan dengan Bimo, Nadia tak bisa menyembunyikan perasaannya yang campur aduk. Raka, yang selama ini begitu peka, akhirnya menyadari bahwa sesuatu telah berubah. Dia memutar cangkir teh di tangannya, lalu menatap Nadia yang duduk di seberang meja. Matanya penuh kekhawatiran, tapi dia menahan diri untuk tidak bertanya lebih dulu.Setelah beberapa menit hening, Raka akhirnya membuka suara, "Nadia, apa yang terjadi? Ada yang berbeda darimu akhir-akhir ini. Kamu jadi lebih pendiam." Suaranya lembut, namun jelas mengandung nada cemas.Nadia, yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya sendiri, menghela napas pelan. Dia tahu saat itu akan datang, tetapi tetap saja sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. "Aku... bertemu dengan Bimo beberapa hari yang lalu," jawabnya, akhirnya memberanikan diri.Raka terdiam. Nama itu, meski sudah lama tak disebut-sebut, masih menyisakan bekas di hatinya. Bimo adalah masa lalu yang dia tahu pernah
Baca selengkapnya

48. Diskusi yang Menyakitkan

Keesokan Harinya, Raka duduk di tepi tempat tidur, tangannya mengepal di pangkuan. Wajahnya tampak tenang, namun di matanya ada semburat kesedihan yang sulit disembunyikan. Ia sudah mendengar pengakuan Nadia, namun perasaan tak nyaman itu tak kunjung pergi. "Aku tahu hidup ini berat untukmu," katanya pelan, seolah berusaha mengukur setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Dan aku juga sadar kalau aku mungkin tidak sesuai harapan keluargamu."Nadia, yang berdiri di dekat jendela dengan tatapan kosong keluar, menoleh dengan cepat. Perkataannya membuat hatinya tercekat, tapi ia tak tahu harus berkata apa. Ia mengerti, benar-benar mengerti bahwa kata-katanya tadi membuat Raka merasa seperti bayangan masa lalu lebih kuat daripada hubungan mereka saat ini.Raka melanjutkan dengan suara yang sedikit gemetar, "Tapi, Nadia... kita nggak bisa terus hidup dalam bayangan masa lalu. Kalau kamu merasa ada seseorang atau sesuatu yang lebih baik daripada aku... katakanlah."Nadia memejamkan matanya, m
Baca selengkapnya

49. Momen Refleksi

Malam yang hening hanya ditemani suara hujan ringan di luar jendela. Nadia duduk di tepi ranjang, merenung dalam diam. Di sebelahnya, Raka sudah tertidur, napasnya teratur dan tenang. Tapi pikiran Nadia melayang, jauh ke dalam percakapan mereka beberapa jam yang lalu. Kata-kata Raka terngiang di telinganya, menggetarkan hati yang sejak lama bergelut dengan tekanan keluarganya.“Aku tidak bisa bersaing dengan bayangan masa lalu,” kalimat itu terus terulang di benaknya. Nadia menggenggam tangan Raka yang terkulai di sampingnya. Hangat, kokoh, dan setia. Begitu banyak pengorbanan yang telah ia lakukan untuk membangun kehidupan mereka bersama, meski tahu bahwa dunia luarterutama keluarganya tak henti-hentinya merendahkan dirinya."Kenapa kamu tidak pernah membalas mereka, Raka?" bisik Nadia perlahan, suara yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri. “Kenapa kamu selalu menerima hinaan itu tanpa melawan?”Ia tahu jawaban itu ada dalam diri Raka, jawaban yang pernah diucapkan suaminya dengan
Baca selengkapnya

50. Hinaan di Depan Umum

Beberapa hari kemudian, Malam itu, angin berhembus pelan, membawa dingin yang tak seberapa menyejukkan panasnya suasana di dalam ruangan acara keluarga besar itu. Para tamu mengenakan pakaian rapi, berkumpul di sekeliling meja-meja penuh makanan mewah, bercakap-cakap dan tertawa seolah tak ada masalah di dunia. Namun, di satu sudut ruangan, percakapan yang mulai terbentuk beralih menjadi sindiran tajam yang merobek suasana nyaman."Raka memang baik hati, tapi sayang, dia tidak punya apa-apa," kata Bu Retno dengan senyum tipis di bibirnya. Suaranya lembut, namun penuh dengan nada menghina yang menguar jelas di antara tawa kecilnya. Matanya berkilat, seperti puas menyudutkan menantunya di hadapan banyak orang.Nadia berdiri di samping Raka, tubuhnya membeku mendengar kata-kata ibunya. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah yang semakin mendidih dalam dadanya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang siap meledak. Ia sudah cukup lama mendengar hinaan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status