Home / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Chapter 281 - Chapter 290

All Chapters of Kembalinya Sang Dewa Pedang: Chapter 281 - Chapter 290

402 Chapters

Herbal Terlarang

Keesokan paginya, Ren Hui terbangun dengan kesadaran penuh. Namun, dia tidak berani membuka matanya langsung. Ia mengerjapkan mata sejenak, perlahan-lahan membuka matanya. Samar-samar, ia melihat atap rumah beroda yang terbuat dari kayu cedar tua, dengan serat-serat kayu yang membentuk pola indah yang tampak dalam cahaya pagi yang masuk lewat jendela.Setelah beberapa saat, Ren Hui memberanikan diri membuka matanya lebih lebar, memandangi sekeliling. Pandangan matanya sudah kembali normal, tidak mengabur seperti semalam. Perlahan, ia duduk dari tempat tidurnya, merasakan tubuhnya yang terasa sedikit kaku, namun tidak ada rasa sakit yang mengganggu."Kau sudah bangun?" Junjie segera mendekat dan membantu Ren Hui duduk. "Apa yang kau rasakan sekarang?" tanyanya dengan lembut. Ren Hui menggelengkan kepalanya, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya merasa sedikit lelah, tetapi tubuhnya terasa baik-baik saja, tanpa rasa sakit atau pusing.Junjie menghela
last updateLast Updated : 2024-12-06
Read more

Yin Tao Datang Lagi

Song Mingyu kembali menjelang sore bersama Lobak. Keledai hitam itu tampak riang. Di punggungnya, kantung besar penuh lobak merah tergantung, menggoyang pelan seiring langkahnya. Aroma lobak merah segar, makanan favoritnya, membuat keledai hitam milik Junjie itu bersemangat dan tidak berulah seperti biasanya."Arak-arakmu yang biasa hampir habis. Tinggal arak-arak bagus dan mahal saja yang tersisa di gudang," lapor Song Mingyu sambil melempar kantung penuh tael perak ke tangan Ren Hui. Suara koin di dalamnya berdenting halus, seolah menceritakan hasil transaksi yang sukses."Wah, kau semakin pandai berdagang rupanya," puji Ren Hui dengan tawa yang ringan, sehangat langit senja di atas mereka."Oh tentu saja," sahut Song Mingyu dengan nada jenaka, melipat tangannya di belakang kepala. "Menjadi putra Tuan Song Yanzhu, yang merupakan kepala kamar dagang kekaisaran, dan hidup bersama pedagang arak yang pelit serta penuh perhitungan seperti dirimu, hidupku akan
last updateLast Updated : 2024-12-06
Read more

Merpati Dari Paviliun Yueliang

Keesokan harinya, mentari pagi memandikan kota Qingge dengan sinarnya yang keemasan. Jalan-jalan batu yang basah oleh embun malam berkilauan seperti berlian kecil. Ren Hui dan Junjie berjalan santai di tengah kota yang mulai ramai oleh penduduk yang memulai aktivitas pagi. Sedangkan, di rumah beroda yang mereka tinggalkan tetap tenang, hanya sesekali terdengar suara Baihua, rubah putih yang menjaga Song Mingyu yang sibuk berlatih pedang.Junjie menunggangi keledai hitamnya, Lobak, sementara Ren Hui berjalan di sampingnya. Tali kekang keledai itu digenggam dengan santai oleh Ren Hui, membuat perjalanan terasa lebih seperti tamasya daripada misi penting."Kemana kita pergi kali ini?" Junjie bertanya sembari menggerakkan ranting tempat sebuah lobak merah diikat untuk memberi makan keledai hitamnya.Dia menunggangi keledai itu dengan sikap malas, seolah perjalanan ini tak lebih dari rutinitas biasa. Ren Hui meliriknya sambil tersenyum tipis."Pasar,"
last updateLast Updated : 2024-12-07
Read more

Serangan Ke Bukit Semanggi

Beberapa hari sebelumnya di Bukit Semanggi, Lembah Kabut Mutiara Kota Yinyue Langit cerah di atas Bukit Semanggi mendadak terasa berat. Awan-awan putih yang biasanya meneduhkan puncak bukit tergantikan oleh teriakan dan denting senjata. Para murid yunior Sekte Pedang Langit terpelanting ke tanah, berguling-guling di atas pelataran berlapis rumpun semanggi. Sosok-sosok berjubah hitam bertopeng hantu seram menyerbu dengan langkah penuh intimidasi, menggetarkan tanah di bawah mereka.Kertas kimcoa melayang-layang di udara, berhamburan seakan mengantarkan kematian seseorang yang sudah pasti di hari ini. Pelataran itu, yang biasanya menjadi tempat latihan seni pedang, kini dipenuhi aura pembantaian yang menyesakkan."Guru Cui! Ketua Bu Hui!" seorang murid yunior berlari dari arah gerbang utama. Nafasnya terengah-engah, suaranya serak oleh rasa takut yang mencekam.Cui Xuegang, yang tengah bersantai di ruang utama, segera bangkit dari tempat duduknya.
last updateLast Updated : 2024-12-07
Read more

Aku Memang Mengenalmu

Sosok berjubah hitam dan bertopeng hantu yang menyeramkan itu perlahan melangkah mendekat. Kegelapan jubahnya menyelimuti ruangan, menciptakan bayang-bayang panjang yang bergerak tak tentu arah, seakan melangkah dari dunia lain. Setiap langkahnya seakan menggetarkan udara, meninggalkan bekas yang beku. Hong Li, yang duduk dalam kecemasan, segera bangkit dan menyingkir, menjauhi kedua sosok yang kini saling berhadapan."Sekte Pedang Langit ataupun Kota Yinyue, bahkan aku pribadi, tidak pernah memiliki masalah dengan Kediaman Keberuntungan Besar hingga Nyonya Hong merasa perlu untuk mengirimkan Pasukan Hantu Kematian ke kediaman pribadiku," ujar Bu Hui, suara yang keluar dari bibirnya dingin dan datar, seperti hembusan angin yang membawa petir. Setiap kata terucap dengan penuh penekanan, meski tanpa emosi yang tampak di wajahnya.Sosok itu tetap tenang, namun aura misterius di sekelilingnya semakin padat. "Aku rasa Ketua Bu Hui sudah mengerti mengapa kami mengunjungi
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

Mengapa Dia Berkhianat?

Cui Xuegang dan Bu Hui bertarung sengit melawan Pasukan Hantu Kematian yang menyerang mereka serentak. Hembusan angin membawa aroma logam dari darah yang mulai menggenang. Dari kejauhan, Hong Li berdiri tegak, matanya menyipit memandang pertarungan yang penuh ketegangan itu."Mereka memang hebat," gumamnya seraya melihat satu per satu anggota Pasukan Hantu Kematian jatuh bergelimpangan, tersayat pedang pasangan itu."Jika mereka tidak hebat, mana mungkin mereka menjadi tetua di sekte," sahut pria bertopeng hantu dengan nada datar, meski suaranya menyiratkan kebanggaan yang terpendam.Hong Li tersenyum tipis, sudut bibirnya melengkung penuh arti. "Oh ya? Bagaimana bila dibandingkan Zhu Zijing dan Ren Jie?" tanyanya ringan, tetapi pandangannya melekat pada pria bertopeng itu, seakan ingin menggali lebih jauh.Pria bertopeng itu hanya menggerakkan tangan, memberi isyarat agar Hong Li menghentikan pertanyaan tak perlu. Dia menunjuk ke arah pertarungan
last updateLast Updated : 2024-12-10
Read more

Meninggalkan Qingge

Ren Hui menggoyangkan tali kekang kudanya perlahan. Roda rumah kayu itu bergemeretak ringan, bergulir dengan ritme yang selaras dengan langkah kuda yang menyeretnya. Udara pagi membawa aroma dedaunan bambu dan gemericik air sungai Ombak Hijau yang mengalir di sisi jalan setapak. Di depan, Junjie menunggang keledai hitamnya, Lobak, yang melangkah santai sembari menikmati perjalanan."Kita kembali ke Utara. Tetapi tidak akan kembali ke Kota Beixing," ujar Ren Hui, suaranya hampir tenggelam di antara desau angin. Ia menoleh ke teras rumah kayu, tempat Song Mingyu bersandar santai. "Mingyu, kau sudah mengabari Nyonya Su Yang?" tanyanya."Iya, semalam. Kota Beixing menarik juga. Tetapi, terlalu panas di musim panas seperti ini," sahut Song Mingyu dengan gembira. Ia tampak sibuk membelai Baihua, rubah putih kecil yang duduk manja di pangkuannya.Baihua, rubah yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan mereka, melingkarkan ekornya dengan elegan. Te
last updateLast Updated : 2024-12-11
Read more

Menuju Kota Muyun

Perjalanan menuju Kota Muyun terasa panjang dan melelahkan. Kota yang menjadi tujuan mereka berikutnya setelah Qingge ini terletak di sebuah lembah yang subur, penuh keindahan alam yang tiada duanya. Wilayah barat Kekaisaran Shenguang menyimpan banyak pesona, meski kadang terabaikan dalam kesunyian desa-desa kecil yang tersebar di sepanjang jalan.“Benar-benar hanya ada desa-desa kecil saja,” gumam Junjie, memandang hamparan ladang di kedua sisi jalan.Seperti biasa, pria pemalas itu menunggangi keledai hitamnya, mendahului rumah beroda yang perlahan dikendalikan oleh Song Mingyu. Debu tipis yang beterbangan di bawah sinar matahari pagi menyertai perjalanan mereka di jalanan sunyi.Setelah meninggalkan desa pertama sejak keluar dari Kota Qingge, mereka melanjutkan perjalanan menuju Kota Muyun, kota terakhir di wilayah barat sebelum batas wilayah tengah Kekaisaran Shenguang. Muyun terkenal dengan senjanya yang menakjubkan, di mana awan-awan jingga terlihat
last updateLast Updated : 2024-12-11
Read more

Ladang Bunga Canola

Ren Hui memandang hamparan ladang bunga yang menguning seperti permadani emas di hadapannya. Aroma segar bercampur embun pagi menusuk lembut hidungnya, membawa perasaan tenang yang sukar diungkapkan kata-kata. Di kejauhan, asap tipis mengepul dari cerobong-cerobong rumah petani, melayang perlahan dibawa angin. Ia yakin, tak jauh dari ladang ini ada pemukiman kecil yang menawarkan keramahan.“Junjie! Mingyu! Aku hendak pergi ke rumah petani untuk membeli beberapa bahan makanan,” ujarnya sambil menoleh pada dua pria di belakangnya.Junjie tampak berbaring santai di atas rerumputan yang masih basah oleh embun, sementara Lobak—keledai kecil berbulu cokelat miliknya—sibuk mengunyah rumput segar. Sebaliknya, Song Mingyu tampak serius, memutar-mutar pedangnya dengan lincah, mempraktikkan teknik-teknik yang dipelajarinya.“Kau semakin mahir, Mingyu!” Ren Hui memuji, langkahnya mendekat. Kilatan kebanggaan terlihat di mata Song Mingyu saat dia menghentikan gerakann
last updateLast Updated : 2024-12-12
Read more

Aroma Bunga Kering Yang Menyengat

Menjelang siang, Ren Hui dan Junjie kembali ke rumah beroda mereka. Kali ini mereka benar-benar mendapatkan banyak bahan perbekalan. Gerobak mereka penuh dengan bahan makanan, cukup untuk bekal perjalanan panjang ke depan. Angin musim panas yang kering bertiup lembut, membawa harum bunga canola yang sedang bermekaran di sekeliling ladang. Namun, meski aroma itu menenangkan, pikiran Ren Hui terusik oleh apa yang ia temui pagi tadi.“Di tempat seperti ini, memang sulit bertahan hidup,” Ren Hui berujar dengan nada datar, matanya menatap kosong ke arah ladang. Ia teringat wajah-wajah para petani yang penuh harap saat ia menawarkan obat-obatan dan kain. Ada sesuatu yang begitu menyentuh hatinya di sana.“Benar,” sahut Junjie dengan nada tenang. “Meski tanahnya subur, hasil panen melimpah akan sia-sia jika mereka tidak bisa menjualnya. Jarak ke kota besar terlalu jauh.” Tatapan Junjie menyapu horizon, ke arah yang bahkan tidak terlihat ujungnya.Ren Hui mengangg
last updateLast Updated : 2024-12-12
Read more
PREV
1
...
2728293031
...
41
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status