Share

Menuju Kota Muyun

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-11 15:00:25

Perjalanan menuju Kota Muyun terasa panjang dan melelahkan. Kota yang menjadi tujuan mereka berikutnya setelah Qingge ini terletak di sebuah lembah yang subur, penuh keindahan alam yang tiada duanya. Wilayah barat Kekaisaran Shenguang menyimpan banyak pesona, meski kadang terabaikan dalam kesunyian desa-desa kecil yang tersebar di sepanjang jalan.

“Benar-benar hanya ada desa-desa kecil saja,” gumam Junjie, memandang hamparan ladang di kedua sisi jalan.

Seperti biasa, pria pemalas itu menunggangi keledai hitamnya, mendahului rumah beroda yang perlahan dikendalikan oleh Song Mingyu. Debu tipis yang beterbangan di bawah sinar matahari pagi menyertai perjalanan mereka di jalanan sunyi.

Setelah meninggalkan desa pertama sejak keluar dari Kota Qingge, mereka melanjutkan perjalanan menuju Kota Muyun, kota terakhir di wilayah barat sebelum batas wilayah tengah Kekaisaran Shenguang. Muyun terkenal dengan senjanya yang menakjubkan, di mana awan-awan jingga terlihat
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ladang Bunga Canola

    Ren Hui memandang hamparan ladang bunga yang menguning seperti permadani emas di hadapannya. Aroma segar bercampur embun pagi menusuk lembut hidungnya, membawa perasaan tenang yang sukar diungkapkan kata-kata. Di kejauhan, asap tipis mengepul dari cerobong-cerobong rumah petani, melayang perlahan dibawa angin. Ia yakin, tak jauh dari ladang ini ada pemukiman kecil yang menawarkan keramahan.“Junjie! Mingyu! Aku hendak pergi ke rumah petani untuk membeli beberapa bahan makanan,” ujarnya sambil menoleh pada dua pria di belakangnya.Junjie tampak berbaring santai di atas rerumputan yang masih basah oleh embun, sementara Lobak—keledai kecil berbulu cokelat miliknya—sibuk mengunyah rumput segar. Sebaliknya, Song Mingyu tampak serius, memutar-mutar pedangnya dengan lincah, mempraktikkan teknik-teknik yang dipelajarinya.“Kau semakin mahir, Mingyu!” Ren Hui memuji, langkahnya mendekat. Kilatan kebanggaan terlihat di mata Song Mingyu saat dia menghentikan gerakann

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aroma Bunga Kering Yang Menyengat

    Menjelang siang, Ren Hui dan Junjie kembali ke rumah beroda mereka. Kali ini mereka benar-benar mendapatkan banyak bahan perbekalan. Gerobak mereka penuh dengan bahan makanan, cukup untuk bekal perjalanan panjang ke depan. Angin musim panas yang kering bertiup lembut, membawa harum bunga canola yang sedang bermekaran di sekeliling ladang. Namun, meski aroma itu menenangkan, pikiran Ren Hui terusik oleh apa yang ia temui pagi tadi.“Di tempat seperti ini, memang sulit bertahan hidup,” Ren Hui berujar dengan nada datar, matanya menatap kosong ke arah ladang. Ia teringat wajah-wajah para petani yang penuh harap saat ia menawarkan obat-obatan dan kain. Ada sesuatu yang begitu menyentuh hatinya di sana.“Benar,” sahut Junjie dengan nada tenang. “Meski tanahnya subur, hasil panen melimpah akan sia-sia jika mereka tidak bisa menjualnya. Jarak ke kota besar terlalu jauh.” Tatapan Junjie menyapu horizon, ke arah yang bahkan tidak terlihat ujungnya.Ren Hui mengangg

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Dukungan

    Junjie duduk di kursi dekat jendela rumah beroda, menatap keluar dengan wajah muram. Mantelnya telah dilepas, namun hawa panas yang menggantung di udara malam membuat kulitnya tetap berkeringat. Ia menggerakkan kipas lipat kecil yang ia ambil dari meja, berusaha menyejukkan dirinya meski angin malam yang bertiup pun terasa enggan menyapa. Di sudut lain ruangan, Song Mingyu menunduk serius, pena bulunya bergerak lincah di atas kertas. Ia terlihat fokus menulis surat, sebagaimana yang sering ia lakukan akhir-akhir ini. Surat itu akan dikirimkan kepada ibunya, Nyonya Su Yang, yang tinggal jauh di Kota Lingyun. Sementara itu, aroma harum mulai memenuhi rumah beroda kecil mereka, berasal dari dapur sempit tempat Ren Hui sedang sibuk menyiapkan makan malam. Baihua, rubah putih yang setia menemani mereka, duduk diam di sudut dapur, matanya berbinar menunggu sesuatu yang lezat. "Ren Hui, apa yang kau masak?" Song Mingyu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari suratnya. "Sup iga deng

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tamu-tamu Tak Terduga

    Mereka bertiga menatap pintu rumah beroda yang tertutup rapat. Malam itu hening, hanya ditemani hembusan angin yang membawa aroma lembap tanah dan dedaunan. Namun, keheningan itu pecah oleh suara ketukan. Awalnya pelan, seperti ragu, lalu berubah menjadi irama tetap yang mengundang rasa penasaran.Ren Hui mengangkat wajahnya dari mangkuk bubur jagung. "Aku akan membukanya. Mungkin saja itu petani yang membutuhkan bantuan," ujarnya, meletakkan mangkuknya ke meja dengan gerakan mantap.Junjie dan Song Mingyu saling pandang sebelum mengangguk. Mereka tidak menunjukkan kekhawatiran, namun tetap ada sedikit keheranan. Rumah beroda mereka tengah singgah di tempat terpencil, jauh dari pemukiman dan jalur ramai yang biasa dilalui para pengelana, apalagi di malam hari.Ren Hui melangkah perlahan ke arah pintu, memastikan tangannya tetap stabil saat menarik kait pintu. Ketika pintu terbuka, dia tertegun. Di hadapannya berdiri tiga sosok yang kontras dengan kegelapan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aroma Harum Itu Lagi

    Keesokan paginya, suasana rumah beroda terasa lebih ramai dibanding biasanya. Yingying sudah berangkat ke pemukiman petani ditemani Song Mingyu. Seorang petani mengetuk pintu sebelum fajar, memohon pertolongan karena istrinya hendak melahirkan. Tanpa ragu, mereka berdua segera membantu.Sementara itu, di sekitar ladang dan hutan yang membentang tak jauh dari tempat mereka singgah, Ren Hui dan Dewa Obat berjalan santai. Cahaya pagi yang hangat menembus celah dedaunan, memantulkan embun yang berkilauan seperti berlian. Ren Hui melirik sekeliling dengan penuh perhatian, mencari jamur liar atau herbal yang bisa ia jadikan bahan araknya. Wajahnya memancarkan antusiasme, seperti anak kecil yang menemukan harta karun.Di dalam rumah beroda, Junjie duduk bersama Wei Xueran, tenggelam dalam tumpukan gulungan yang dikirimkan Chu Wang. Aroma kertas tua bercampur dengan keharuman teh plum dan jujube kering yang tersisa dari sarapan mereka. Sebagian besar gulungan itu berasal d

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hati Yang Sulit Diselami

    Suasana sore hari terasa lebih meriah dengan kehadiran mereka yang berkumpul di rumah beroda. Udara segar mengalir lembut, membawa wangi tanah basah dari hutan terdekat. Yingying dengan cekatan memilah-milah tanaman obat liar yang baru saja di ambil Ren Hui dan gurunya dari hutan. Tangannya yang terampil menyisihkan bagian yang rusak, mencuci setiap helai daun dengan hati-hati, dan menjemurnya di pelataran yang hangat, di bawah sinar matahari sore yang temaram. Suara gemerisik daun-daun kering yang tertiup angin menambah ketenangan suasana.Di dapur, Ren Hui tampak sibuk menyiapkan sesuatu untuk makan malam. Kali ini, dia ditemani oleh Wei Xueran yang cukup cekatan bekerja, meskipun ada beberapa kali pemuda itu tanpa sengaja menambahkan bumbu yang tak sesuai. Meski begitu, senyum tipis tetap menghiasi wajahnya, menikmati kehangatan yang tercipta dari kerjasama yang tak terduga ini.Dewa Obat, yang biasanya selalu tenang, kali ini tampak lebih sibuk daripada biasany

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aroma Yìcǎo Di Tengah Ladang

    Kota Muyun masih cukup jauh, dan malam mulai melarut. Perjalanan melelahkan itu memaksa mereka berhenti di tengah ladang yang baru saja ditanami. Beberapa petak mulai menguning, menandakan waktu panen sudah dekat. Ladang itu memanjang sejauh mata memandang, dengan aliran sungai kecil berkelok di tengahnya, memantulkan sinar bulan yang baru muncul dari balik awan."Aiyo, ternyata lumayan jauh juga memotong jalur ke Utara," keluh Song Mingyu, sambil memutar pinggang hingga terdengar bunyi pelan, seolah membebaskan diri dari penat."Ini memang perjalanan panjang," sahut Junjie yang berdiri di sebelahnya. Ia membawa Lobak, keledai hitam setianya, ke tepi sungai. Air sungai yang jernih dan dingin memercik saat Lobak dengan riang merendam kakinya. Keledai itu mendengus puas, menikmati kesegaran malam.Song Mingyu dan Wei Xueran yang baru saja menambatkan kuda-kuda mereka di pohon plum tua yang tumbuh di tepi sungai, meniru keledai itu. Mereka melepas sepatu dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ingatan Yang Samar

    Ren Hui kembali duduk di tempatnya. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang dikenal sebagai Dewa Obat. Sosok tenang itu tampak tidak peduli meskipun beberapa pasang mata, termasuk murid kesayangannya Yingying, menatapnya penuh tanda tanya."Jangan menatapku seperti itu!" ucap Dewa Obat tiba-tiba, suaranya rendah tetapi penuh wibawa.Tatapannya menyapu semua orang di hadapannya, memaksa mereka kembali menundukkan kepala. Pria tua itu menghela napas panjang, lalu dengan santai meletakkan sumpitnya. "Yìcǎo, rumput ilusi dari Persia," katanya. "Bukan barang aneh jika kita berada di wilayah Keluarga Hong Barat."Suasana seketika hening. Junjie tertegun, lalu bertukar pandang dengan Wei Xueran. Sebagai putra keluarga berpengaruh dalam pemerintahan, keduanya memahami bahwa Yìcǎo bukanlah tanaman sembarangan. Namun, mendengar Dewa Obat berbicara dengan begitu santai membuat mereka sedikit terkejut."Keluarga Hong mendapatkan izin kekaisaran untuk m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Puncak Báiyuè Shān

    Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Es

    Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Menunggu

    Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Mencari Bunga Es Abadi

    Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status