Share

Aroma Harum Itu Lagi

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-13 15:00:38

Keesokan paginya, suasana rumah beroda terasa lebih ramai dibanding biasanya. Yingying sudah berangkat ke pemukiman petani ditemani Song Mingyu. Seorang petani mengetuk pintu sebelum fajar, memohon pertolongan karena istrinya hendak melahirkan. Tanpa ragu, mereka berdua segera membantu.

Sementara itu, di sekitar ladang dan hutan yang membentang tak jauh dari tempat mereka singgah, Ren Hui dan Dewa Obat berjalan santai. Cahaya pagi yang hangat menembus celah dedaunan, memantulkan embun yang berkilauan seperti berlian. Ren Hui melirik sekeliling dengan penuh perhatian, mencari jamur liar atau herbal yang bisa ia jadikan bahan araknya. Wajahnya memancarkan antusiasme, seperti anak kecil yang menemukan harta karun.

Di dalam rumah beroda, Junjie duduk bersama Wei Xueran, tenggelam dalam tumpukan gulungan yang dikirimkan Chu Wang. Aroma kertas tua bercampur dengan keharuman teh plum dan jujube kering yang tersisa dari sarapan mereka. Sebagian besar gulungan itu berasal d
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hati Yang Sulit Diselami

    Suasana sore hari terasa lebih meriah dengan kehadiran mereka yang berkumpul di rumah beroda. Udara segar mengalir lembut, membawa wangi tanah basah dari hutan terdekat. Yingying dengan cekatan memilah-milah tanaman obat liar yang baru saja di ambil Ren Hui dan gurunya dari hutan. Tangannya yang terampil menyisihkan bagian yang rusak, mencuci setiap helai daun dengan hati-hati, dan menjemurnya di pelataran yang hangat, di bawah sinar matahari sore yang temaram. Suara gemerisik daun-daun kering yang tertiup angin menambah ketenangan suasana.Di dapur, Ren Hui tampak sibuk menyiapkan sesuatu untuk makan malam. Kali ini, dia ditemani oleh Wei Xueran yang cukup cekatan bekerja, meskipun ada beberapa kali pemuda itu tanpa sengaja menambahkan bumbu yang tak sesuai. Meski begitu, senyum tipis tetap menghiasi wajahnya, menikmati kehangatan yang tercipta dari kerjasama yang tak terduga ini.Dewa Obat, yang biasanya selalu tenang, kali ini tampak lebih sibuk daripada biasany

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aroma Yìcǎo Di Tengah Ladang

    Kota Muyun masih cukup jauh, dan malam mulai melarut. Perjalanan melelahkan itu memaksa mereka berhenti di tengah ladang yang baru saja ditanami. Beberapa petak mulai menguning, menandakan waktu panen sudah dekat. Ladang itu memanjang sejauh mata memandang, dengan aliran sungai kecil berkelok di tengahnya, memantulkan sinar bulan yang baru muncul dari balik awan."Aiyo, ternyata lumayan jauh juga memotong jalur ke Utara," keluh Song Mingyu, sambil memutar pinggang hingga terdengar bunyi pelan, seolah membebaskan diri dari penat."Ini memang perjalanan panjang," sahut Junjie yang berdiri di sebelahnya. Ia membawa Lobak, keledai hitam setianya, ke tepi sungai. Air sungai yang jernih dan dingin memercik saat Lobak dengan riang merendam kakinya. Keledai itu mendengus puas, menikmati kesegaran malam.Song Mingyu dan Wei Xueran yang baru saja menambatkan kuda-kuda mereka di pohon plum tua yang tumbuh di tepi sungai, meniru keledai itu. Mereka melepas sepatu dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ingatan Yang Samar

    Ren Hui kembali duduk di tempatnya. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang dikenal sebagai Dewa Obat. Sosok tenang itu tampak tidak peduli meskipun beberapa pasang mata, termasuk murid kesayangannya Yingying, menatapnya penuh tanda tanya."Jangan menatapku seperti itu!" ucap Dewa Obat tiba-tiba, suaranya rendah tetapi penuh wibawa.Tatapannya menyapu semua orang di hadapannya, memaksa mereka kembali menundukkan kepala. Pria tua itu menghela napas panjang, lalu dengan santai meletakkan sumpitnya. "Yìcǎo, rumput ilusi dari Persia," katanya. "Bukan barang aneh jika kita berada di wilayah Keluarga Hong Barat."Suasana seketika hening. Junjie tertegun, lalu bertukar pandang dengan Wei Xueran. Sebagai putra keluarga berpengaruh dalam pemerintahan, keduanya memahami bahwa Yìcǎo bukanlah tanaman sembarangan. Namun, mendengar Dewa Obat berbicara dengan begitu santai membuat mereka sedikit terkejut."Keluarga Hong mendapatkan izin kekaisaran untuk m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ladang Bunga Di Balik Pagar Bambu

    Seperti yang telah direncanakan, Ren Hui kini berdiri di tepi ladang berpagar bambu. Udara pagi terasa hangat, dengan aroma segar dedaunan dan embusan angin lembut yang mengusik helai rambutnya. Matahari mulai memancarkan cahayanya, membuat bayangan pagar bambu terpantul seperti garis-garis halus di atas tanah. Mereka bertiga, Ren Hui, Junjie, dan Wei Xueran, memperhatikan situasi di sekitar ladang yang sepi, hingga pintu gerbang bambu itu tiba-tiba terbuka dengan suara berderit pelan."Tuan, ini lahan milik pribadi. Mohon maaf, saya tidak bisa membiarkan kalian masuk," ujar seorang pria muda dengan suara sopan. Ia berdiri di depan pintu gerbang, membungkuk hormat, wajahnya tampak sedikit tegang."Ah, begitu ya," Ren Hui mengusap dagunya pelan, senyumnya tipis namun penuh kekecewaan yang tak ia sembunyikan. Ia telah menunggu cukup lama hanya untuk mendengar jawaban ini.Namun, pelayan muda itu melanjutkan dengan nada ramah, "Tetapi, jika Tuan ingin beristi

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kebersamaan Di Rumah Beroda

    Meski rasa penasaran menyelimuti hati mereka mengenai situasi di ladang bunga milik Keluarga Hong, tidak ada seorang pun di antara mereka yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga tersebut. Seolah-olah, ladang itu dikelilingi oleh tabir misteri yang sulit ditembus.Bahkan Wei Xueran tidak sepenuhnya yakin dirinya bisa bertamu dengan bebas. Saat itu, dia hanya mendampingi Chu Wang, dan hal itu tak memberi alasan kuat untuk memulai percakapan santai. Sementara Junjie, jelas tidak akan dengan mudah mengungkap identitasnya sebagai Pangeran Yongle. Kendati hal itu mungkin menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan akses ke salah satu tempat milik Keluarga Hong.“Tuan Muda Wei, apakah kau yakin jika ada orang-orang yang menurutmu bukan bagian dari Kediaman Keberuntungan Besar?” Yingying bertanya hati-hati, nada suaranya seolah mencoba mencari celah kebenaran.Wei Xueran mengangguk mantap, tanpa sedikit pun keraguan di wajahnya. “Ren Hui, kau tadi melihat ses

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kertas Kimcoa Di Ladang Bunga

    Keesokan harinya, di pagi buta, mereka dikejutkan oleh keributan di ladang bunga. Yingying, yang baru saja berganti pakaian, terperanjat dan segera berlari ke teras kamarnya di lantai atas rumah beroda.Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat serombongan orang berjubah dan bertudung hitam menyerbu masuk melalui pintu gerbang bambu yang dibuka paksa. Angin pagi yang dingin membawa aroma bunga yang terganggu oleh suara gaduh itu. Dengan cepat, ia meraih doupeng birunya dan berlari menuruni tangga kayu yang dingin.“Apa kalian melihatnya?” tanyanya dengan napas terengah pada para pria yang rupanya juga mendengar keributan itu. Ren Hui dan Junjie mengangguk serempak, sementara Song Mingyu dan Wei Xueran tampak kebingungan.“Baru semalam kita membicarakannya, dan pagi ini sesuatu sudah terjadi,” gumam Wei Xueran pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.“Apakah kita harus membantu?” Song Mingyu melirik Ren Hui dan Junjie, suaranya penuh ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pertarungan Yin Tao Dan Liuxing

    Ren Hui memandang tajam ke arah sosok berjubah hitam yang tengah bertarung dengan Yin Tao. Di tengah ladang penuh bunga bermekaran, pedang korset Yin Tao melayang lincah, meliuk seperti ular yang haus darah, lalu melingkar sempurna mengurung lawannya."Liuxing," gumam Ren Hui pelan, seolah nama itu membawa ribuan kenangan yang pahit. Kedua tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Di sampingnya, Wei Xueran melirik diam-diam, tatapannya rumit di balik doupeng putih yang menutupi wajahnya.Wei Xueran memahami gelombang emosi yang menguasai Ren Hui. Bagaimana tidak? Guru yang selama ini diyakini telah tiada, kini muncul kembali dengan wajah yang dingin, bukan sebagai penyelamat, melainkan sebagai dalang yang menyebabkan kematian adik seperguruannya, Wang Jian, dan racun yang bersarang di tubuhnya sendiri."Kalau itu terjadi padaku, aku mungkin sudah hancur lebih dari dirimu, Ren Hui," pikir Wei Xueran. Tangan putihnya bergerak tanpa sadar, men

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tarian Angin

    Wei Xueran tersenyum tipis di balik doupeng putihnya, melindungi wajah dari tatapan tajam lawannya. Kehadiran pemilik Pedang Musim Gugur adalah misteri yang jarang terungkap. Hanya sedikit yang mengetahui siapa pemilik sejati pedang legendaris itu, apalagi menghubungkannya dengan Pedang Musim Dingin, pasangan sejatinya. Kehati-hatian Wei Xueran dan Chu Wang menjaga identitas mereka membuat mereka nyaris seperti bayangan, selalu hadir tanpa jejak, hanya muncul saat keadaan mendesak.Bahkan Liuxing sendiri, mantan Ketua Sekte Pedang Langit, tak pernah menduga siapa pemilik kedua pedang itu. Ia hanya tahu Pedang Musim Semi berada di tangan Wang Jian, sementara Pedang Musim Panas dimiliki oleh Pangeran Yongle. Keempat pedang legendaris itu dikenal sebagai Pedang Empat Musim, setara dengan Pedang Surgawi, dan hanya mereka yang memiliki keterampilan tingkat dewa, seperti Ren Jie, yang dianggap mampu menandingi kekuatan para pemiliknya.Namun, kini Wei Xueran berdiri di d

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Puncak Báiyuè Shān

    Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Es

    Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Menunggu

    Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status