Ren Hui memandang tajam ke arah sosok berjubah hitam yang tengah bertarung dengan Yin Tao. Di tengah ladang penuh bunga bermekaran, pedang korset Yin Tao melayang lincah, meliuk seperti ular yang haus darah, lalu melingkar sempurna mengurung lawannya.
"Liuxing," gumam Ren Hui pelan, seolah nama itu membawa ribuan kenangan yang pahit. Kedua tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Di sampingnya, Wei Xueran melirik diam-diam, tatapannya rumit di balik doupeng putih yang menutupi wajahnya.Wei Xueran memahami gelombang emosi yang menguasai Ren Hui. Bagaimana tidak? Guru yang selama ini diyakini telah tiada, kini muncul kembali dengan wajah yang dingin, bukan sebagai penyelamat, melainkan sebagai dalang yang menyebabkan kematian adik seperguruannya, Wang Jian, dan racun yang bersarang di tubuhnya sendiri."Kalau itu terjadi padaku, aku mungkin sudah hancur lebih dari dirimu, Ren Hui," pikir Wei Xueran. Tangan putihnya bergerak tanpa sadar, menWei Xueran tersenyum tipis di balik doupeng putihnya, melindungi wajah dari tatapan tajam lawannya. Kehadiran pemilik Pedang Musim Gugur adalah misteri yang jarang terungkap. Hanya sedikit yang mengetahui siapa pemilik sejati pedang legendaris itu, apalagi menghubungkannya dengan Pedang Musim Dingin, pasangan sejatinya. Kehati-hatian Wei Xueran dan Chu Wang menjaga identitas mereka membuat mereka nyaris seperti bayangan, selalu hadir tanpa jejak, hanya muncul saat keadaan mendesak.Bahkan Liuxing sendiri, mantan Ketua Sekte Pedang Langit, tak pernah menduga siapa pemilik kedua pedang itu. Ia hanya tahu Pedang Musim Semi berada di tangan Wang Jian, sementara Pedang Musim Panas dimiliki oleh Pangeran Yongle. Keempat pedang legendaris itu dikenal sebagai Pedang Empat Musim, setara dengan Pedang Surgawi, dan hanya mereka yang memiliki keterampilan tingkat dewa, seperti Ren Jie, yang dianggap mampu menandingi kekuatan para pemiliknya.Namun, kini Wei Xueran berdiri di d
Angin menderu kencang, membawa hawa dingin yang menggigit. Deraiannya memukul ladang bunga yang semula sunyi, meremukkan ketenangan menjadi kekacauan. Wei Xueran melompat mundur, pedangnya berkilau memantulkan sinar terakhir matahari senja, mencoba memotong pusaran angin dari Tarian Angin Surgawi milik Liuxing. Tubuhnya terseret beberapa langkah, tetapi dia tetap berdiri tegap. Tak ada luka terlihat, hanya mata tajam yang berkilat penuh keyakinan. Namun, pusaran angin itu terus bergulung, mengejarnya tanpa henti. Wei Xueran tersenyum tipis, seperti seorang pelukis yang siap menggoreskan kuas terakhir. Gerakan pedangnya tampak tak beraturan, seperti mainan anak kecil memotong udara kosong. Tapi, tiba-tiba, suara gemuruh menggelegar. Daun-daun beterbangan, genting-genting rumah peristirahatan melayang ke udara, berjatuhan seperti daun musim gugur. Liuxing menarik pedangnya, menghentikan serangannya. Dia menyadari, Tarian Angin Surgawi tidak akan mampu men
Ren Hui merasakan sebuah gelombang energi menghantam, membuyarkan kabut ilusinya seketika. Tubuhnya terseret mundur beberapa langkah, jejak kakinya menyembur tanah yang bergetar. Kelopak-kelopak bunga bi’an hua—merah menyala seperti api—hancur berhamburan, lenyap tanpa jejak bagai fatamorgana.“Gelombang Lautan Surgawi,” gumamnya pelan, suara itu nyaris tertelan dalam hiruk pikuk angin yang berputar. Dia mengenali jurus ini. Salah satu teknik paling dahsyat dari Pedang Surgawi yang langka, sekaligus mematikan. Tanah di bawah kakinya terus bergetar, seperti lautan yang mengombang-ambingkan sebuah perahu kecil dalam badai.Dari celah embusan angin, tubuh Ren Hui melesat ke udara. Dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, payung di tangannya berputar cepat, memecah aliran udara menjadi pusaran tajam. Seketika, puluhan pisau kecil berwarna biru berkilau menyembur dari balik payung itu, melesat bagaikan hujan meteor menuju Liuxing.“Pisau apa ini?” gumam Liuxing
Sosok berhanfu putih dan berjubah putih itu berdiri tegak di tengah ladang. Angin pagi berembus pelan, membuat helaian rambut hitamnya berkibar-kibar seperti pita sutra yang menari di udara. Sinar matahari yang masih redup menyorot dari balik pepohonan, menciptakan bayangan samar di wajah pucatnya yang dingin bak porselen."Yin Tao!" Suaranya menggema, seruan yang memecah keheningan. Nada tegasnya memanggil seorang wanita cantik yang berdiri tak jauh dari Ren Hui dan Wei Xueran."Tuan Muda!" Yin Tao membungkuk dalam, penuh hormat. Pancaran matanya tajam namun menyiratkan ketundukan yang tak terbantahkan."Bakar seluruh ladang dan gudang! Jangan sisakan apa pun!" Perintahnya meluncur bagai pisau."Hong Yue! Beraninya kau!" Hong Li tiba-tiba berteriak penuh amarah, wajahnya memerah seperti bara api. Dia hendak menerjang maju, namun sebelum langkahnya terayun, Liuxing sudah menahan pergelangan tangannya."Tuan Muda Pertama, apa kau lupa di m
Suasana di ladang bunga seketika menjadi sunyi. Hanya suara gemeretak api yang memakan sisa-sisa kehidupan di sana. Kepulan asap kelabu meliuk-liuk ke langit, seolah mengadukan tragedi yang baru saja terjadi. Angin bertiup pelan, menghamburkan abu, kelopak bunga yang hangus, serta kertas kimcoa yang beterbangan tanpa arah, menciptakan lukisan suram yang kontras dengan keindahan ladang yang dulu pernah ada.Hong Li memapah Liuxing yang terluka, langkah mereka tertatih, diiringi Pasukan Hantu Kematian yang bergerak cepat dalam formasi senyap. Sementara itu, Song Mingyu dan Yingying membawa Yin Tao yang terluka ke rumah beroda. Keheningan yang tersisa menusuk lebih tajam daripada jerit perih di tengah pertempuran.Kini hanya Ren Hui dan Wei Xueran yang berdiri di antara reruntuhan itu, bersama beberapa bawahan Yin Tao yang tersisa. Debu menempel di ujung pakaian mereka, jejak asap masih terasa menusuk hidung."Tuan...!" Suara seorang pria berhanfu hitam memec
Rumah beroda itu terus melaju pelan, meninggalkan jejak samar di atas jalan berdebu. Suara roda kayu yang berderit seolah melengkapi keheningan perjalanan mereka. Angin sore yang membawa wangi bunga liar membelai lembut wajah Ren Hui, tetapi langkahnya tetap tenang, selaras dengan detak waktu yang seolah melambat. Mereka tak lagi singgah terlalu lama di mana pun. Bahkan rencana untuk berhenti sejenak di Kota Muyun telah mereka batalkan. Ada desakan tak terlihat yang memacu perjalanan mereka ke Utara, seolah jawabannya menanti di sana. “Junjie, kau benar-benar ingin segera tiba di Utara?” tanya Ren Hui santai. Suaranya ringan, seperti angin yang bermain di antara dedaunan. “Iya,” sahut Junjie singkat. Pria yang tampak malas itu duduk santai di atas punggung Lobak, keledai hitamnya. Ren Hui melirik sekilas, tersenyum tipis pada sahabat yang telah menemaninya cukup lama dalam perjalanan ini. Dia memahami perasaan Junjie, meski
Ren Hui dan Junjie menatap deretan rumah berdinding dan beratap batu bata berlapis lumpur kering di hadapan mereka. Udara yang kering dan panas terasa menyengat kulit mereka, mengingatkan pada wilayah Utara yang terkenal dengan iklim gurun. Wilayah yang berada di perbatasan dengan Kekaisaran Baili, memiliki ciri khasnya sendiri. Di ujung Utara, menjulang tinggi Báiyuè Shān, gunung yang puncaknya dilapisi salju abadi, kontras dengan gurun yang membentang luas di bawahnya."Ini kota pertama yang kita singgahi di Utara." Junjie tetap menatap lurus ke depan, matanya sedikit menyipit, berusaha menahan teriknya sinar matahari yang membakar. Ren Hui mengangkat tangan, mencoba melindungi matanya dari sinar yang menyilaukan. "Kota apa ini?" tanyanya, suaranya sedikit tercekat karena teriknya matahari."Hóngshā, Kota Pasir Merah." Wei Xueran yang baru saja datang menyahut dengan nada tenang. Pria tampan itu datang bersama Yingying yang mengenakan doupeng
Hóngshā, Kota Pasir Merah, terletak di perbatasan utara Kekaisaran Shenguang, menjadi penjaga terakhir sebelum wilayah Kekaisaran Baili dimulai. Dikelilingi bukit pasir yang memantulkan cahaya keemasan saat matahari terbenam, kota ini tampak seperti bunga mawar emas yang berkembang di tengah gurun tandus. Di kejauhan, angin gurun berbisik lembut, membawa aroma pasir hangus bercampur harum oasis yang terletak di jantung kota.Di pinggiran sebuah oasis, deretan tenda-tenda menjadi pemandangan yang cukup mencolok. Meski diselingi sebuah oasis yang merupakan pusat kehidupan penduduk kota Hóngshā, nuansa gurun yang gersang lebih mendominasi. Penduduk di kota ini tidaklah banyak, sebagian besar tersebar dalam suku-suku yang hidup berpindah-pindah. Kota ini lebih didominasi para prajurit yang menjaga perbatasan dan segelintir peternak dan pejabat setempat. Selebihnya hanyalah pedagang dan pengelana yang kebetulan lewat dan singgah sebentar.Di dalam salah satu t
Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam