Share

Tuan Muda Ketiga Hong

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-17 13:00:07

Sosok berhanfu putih dan berjubah putih itu berdiri tegak di tengah ladang. Angin pagi berembus pelan, membuat helaian rambut hitamnya berkibar-kibar seperti pita sutra yang menari di udara. Sinar matahari yang masih redup menyorot dari balik pepohonan, menciptakan bayangan samar di wajah pucatnya yang dingin bak porselen.

"Yin Tao!" Suaranya menggema, seruan yang memecah keheningan. Nada tegasnya memanggil seorang wanita cantik yang berdiri tak jauh dari Ren Hui dan Wei Xueran.

"Tuan Muda!" Yin Tao membungkuk dalam, penuh hormat. Pancaran matanya tajam namun menyiratkan ketundukan yang tak terbantahkan.

"Bakar seluruh ladang dan gudang! Jangan sisakan apa pun!" Perintahnya meluncur bagai pisau.

"Hong Yue! Beraninya kau!" Hong Li tiba-tiba berteriak penuh amarah, wajahnya memerah seperti bara api. Dia hendak menerjang maju, namun sebelum langkahnya terayun, Liuxing sudah menahan pergelangan tangannya.

"Tuan Muda Pertama, apa kau lupa di m
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Junjie Bertindak Cepat

    Suasana di ladang bunga seketika menjadi sunyi. Hanya suara gemeretak api yang memakan sisa-sisa kehidupan di sana. Kepulan asap kelabu meliuk-liuk ke langit, seolah mengadukan tragedi yang baru saja terjadi. Angin bertiup pelan, menghamburkan abu, kelopak bunga yang hangus, serta kertas kimcoa yang beterbangan tanpa arah, menciptakan lukisan suram yang kontras dengan keindahan ladang yang dulu pernah ada.Hong Li memapah Liuxing yang terluka, langkah mereka tertatih, diiringi Pasukan Hantu Kematian yang bergerak cepat dalam formasi senyap. Sementara itu, Song Mingyu dan Yingying membawa Yin Tao yang terluka ke rumah beroda. Keheningan yang tersisa menusuk lebih tajam daripada jerit perih di tengah pertempuran.Kini hanya Ren Hui dan Wei Xueran yang berdiri di antara reruntuhan itu, bersama beberapa bawahan Yin Tao yang tersisa. Debu menempel di ujung pakaian mereka, jejak asap masih terasa menusuk hidung."Tuan...!" Suara seorang pria berhanfu hitam memec

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Jejak Masa Lalu dan Pilihan Masa Depan

    Rumah beroda itu terus melaju pelan, meninggalkan jejak samar di atas jalan berdebu. Suara roda kayu yang berderit seolah melengkapi keheningan perjalanan mereka. Angin sore yang membawa wangi bunga liar membelai lembut wajah Ren Hui, tetapi langkahnya tetap tenang, selaras dengan detak waktu yang seolah melambat. Mereka tak lagi singgah terlalu lama di mana pun. Bahkan rencana untuk berhenti sejenak di Kota Muyun telah mereka batalkan. Ada desakan tak terlihat yang memacu perjalanan mereka ke Utara, seolah jawabannya menanti di sana. “Junjie, kau benar-benar ingin segera tiba di Utara?” tanya Ren Hui santai. Suaranya ringan, seperti angin yang bermain di antara dedaunan. “Iya,” sahut Junjie singkat. Pria yang tampak malas itu duduk santai di atas punggung Lobak, keledai hitamnya. Ren Hui melirik sekilas, tersenyum tipis pada sahabat yang telah menemaninya cukup lama dalam perjalanan ini. Dia memahami perasaan Junjie, meski

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Pasir Merah

    Ren Hui dan Junjie menatap deretan rumah berdinding dan beratap batu bata berlapis lumpur kering di hadapan mereka. Udara yang kering dan panas terasa menyengat kulit mereka, mengingatkan pada wilayah Utara yang terkenal dengan iklim gurun. Wilayah yang berada di perbatasan dengan Kekaisaran Baili, memiliki ciri khasnya sendiri. Di ujung Utara, menjulang tinggi Báiyuè Shān, gunung yang puncaknya dilapisi salju abadi, kontras dengan gurun yang membentang luas di bawahnya."Ini kota pertama yang kita singgahi di Utara." Junjie tetap menatap lurus ke depan, matanya sedikit menyipit, berusaha menahan teriknya sinar matahari yang membakar. Ren Hui mengangkat tangan, mencoba melindungi matanya dari sinar yang menyilaukan. "Kota apa ini?" tanyanya, suaranya sedikit tercekat karena teriknya matahari."Hóngshā, Kota Pasir Merah." Wei Xueran yang baru saja datang menyahut dengan nada tenang. Pria tampan itu datang bersama Yingying yang mengenakan doupeng

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Rumah Beroda Yang Aneh

    Hóngshā, Kota Pasir Merah, terletak di perbatasan utara Kekaisaran Shenguang, menjadi penjaga terakhir sebelum wilayah Kekaisaran Baili dimulai. Dikelilingi bukit pasir yang memantulkan cahaya keemasan saat matahari terbenam, kota ini tampak seperti bunga mawar emas yang berkembang di tengah gurun tandus. Di kejauhan, angin gurun berbisik lembut, membawa aroma pasir hangus bercampur harum oasis yang terletak di jantung kota.Di pinggiran sebuah oasis, deretan tenda-tenda menjadi pemandangan yang cukup mencolok. Meski diselingi sebuah oasis yang merupakan pusat kehidupan penduduk kota Hóngshā, nuansa gurun yang gersang lebih mendominasi. Penduduk di kota ini tidaklah banyak, sebagian besar tersebar dalam suku-suku yang hidup berpindah-pindah. Kota ini lebih didominasi para prajurit yang menjaga perbatasan dan segelintir peternak dan pejabat setempat. Selebihnya hanyalah pedagang dan pengelana yang kebetulan lewat dan singgah sebentar.Di dalam salah satu t

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Senja Di Oasis Merah

    Ren Hui dan Junjie berdiri di tepi oasis, menatap kagum pada pemandangan yang tersaji di depan mereka. Air jernih yang memantulkan sinar matahari senja berkilauan seperti hamparan emas dan merah delima. Oasis di kota Hóngshā ini sungguh terlihat seperti permata yang berkilauan di tengah gurun pasir merah yang luas dan gersang."Indah sekali, bak bunga mawar merah keemasan," gumam Ren Hui, suaranya hampir tenggelam dalam lembutnya hembusan angin senja. Matanya memancarkan kekaguman yang tulus.Junjie menoleh, memperhatikan Ren Hui yang berdiri di sampingnya. Meski panorama oasis begitu menakjubkan, pikirannya lebih terpaku pada sosok pria itu. Ren Hui, dengan jubah putih yang berkibar tertiup angin, rambut hitamnya yang tergerai, dan senyum yang terpancar alami, terlihat seperti bagian dari pemandangan itu sendiri—indah dan tak tergantikan."Aku tak menyangka ada sedikit kehidupan di tempat segersang ini," ujar Ren Hui, matanya menyapu area oasis yang mulai

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ikut Campur Atau Kabur?

    Suasana seketika menjadi hening. Angin gurun berdesir pelan, membawa aroma pasir dan dedaunan kering yang bergesekan di sekitar oasis. Beberapa prajurit segera bergerak cepat, melindungi teman-teman mereka yang tengah mengambil air. Ren Hui dan Junjie pun segera mengangkat kaki mereka dari air, mengeringkannya dengan tergesa-gesa sebelum mengenakan kembali sepatu bot.Tiba-tiba, desingan anak-anak panah memecah ketenangan. Kali ini, serangkaian anak panah meluncur deras ke arah mereka. Ren Hui bereaksi secepat kilat, mengeluarkan payung di punggungnya dan membukanya dengan gerakan gesit. Payung itu berputar, mematahkan setiap anak panah yang mengarah padanya dan Junjie.Gerakannya begitu lincah dan anggun, membuat para prajurit di sekitarnya tertegun. Mereka menatap pemandangan itu dengan kekaguman, bahkan sempat lupa dengan ancaman yang baru saja melintas.Ren Hui tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. "Maaf, kam

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Drama Pedagang Arak Miskin

    Junjie dengan tenang mencabut anak panah yang menancap di tanah, di ujung kaki mereka. Jarinya yang ramping memutar anak panah itu, mengamatinya dengan seksama. Sambil memegang anak panah tersebut, dia melambai pada pasukan berkuda yang dipimpin Jenderal Miu."Jenderal Miu! Kami hanya pengelana yang singgah sebentar! Izinkan kami pergi!" serunya dengan penuh percaya diri, suaranya tegas tetapi tidak berlebihan.Namun, kedua pasukan itu bergerak mendekat, mengencangkan formasi hingga ruang gerak semakin sempit. Tatapan penuh curiga mengarah pada Junjie dan Ren Hui, seolah menyiratkan bahwa mereka menyembunyikan sesuatu.Ren Hui menghela napas panjang, sebelum memasang wajah memelas yang sangat meyakinkan. "Aiyo! Kami hanya pedagang arak miskin yang kebetulan lewat. Sungguh sial kami terjebak dalam kekacauan seperti ini!" rengeknya memelas, suaranya terdengar dibuat-buat tetapi mengundang simpati.Beberapa prajurit di sekitar mereka memandang dengan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kaisar Yang Baik

    Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Puncak Báiyuè Shān

    Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Es

    Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Menunggu

    Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status