Junjie dengan tenang mencabut anak panah yang menancap di tanah, di ujung kaki mereka. Jarinya yang ramping memutar anak panah itu, mengamatinya dengan seksama. Sambil memegang anak panah tersebut, dia melambai pada pasukan berkuda yang dipimpin Jenderal Miu."Jenderal Miu! Kami hanya pengelana yang singgah sebentar! Izinkan kami pergi!" serunya dengan penuh percaya diri, suaranya tegas tetapi tidak berlebihan.Namun, kedua pasukan itu bergerak mendekat, mengencangkan formasi hingga ruang gerak semakin sempit. Tatapan penuh curiga mengarah pada Junjie dan Ren Hui, seolah menyiratkan bahwa mereka menyembunyikan sesuatu.Ren Hui menghela napas panjang, sebelum memasang wajah memelas yang sangat meyakinkan. "Aiyo! Kami hanya pedagang arak miskin yang kebetulan lewat. Sungguh sial kami terjebak dalam kekacauan seperti ini!" rengeknya memelas, suaranya terdengar dibuat-buat tetapi mengundang simpati.Beberapa prajurit di sekitar mereka memandang dengan
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Ren Hui dan Junjie berdiri di hadapan seorang wanita cantik berjubah hitam yang duduk bersandar malas pada kursi panjang beralaskan bantal merah empuk. Meski tirai tipis menghalangi, pemandangan di baliknya tersaji dengan jelas dan nyata. Mata wanita itu tajam, memperhatikan kedua tamunya yang baru datang seolah membaca jiwa mereka. Tudung hitam yang dikenakannya hanya menambah kesan misterius pada dirinya."Jika aku tahu nasib dan takdir di masa depan, tentu aku tidak akan kemari, bukan?" Ren Hui menjawab santai, nada suaranya bercampur antara kelakar dan kejujuran.Tawa renyah yang merdu menggema di tenda yang cukup luas itu. Wanita itu mengubah posisinya, kini duduk tegak dengan sikap yang lebih anggun. Tatapannya tetap tertuju pada mereka, seolah tak ingin melewatkan gerak-gerik sekecil apa pun."Ah, Tuan-tuan! Selamat datang!" Sebuah suara lain memecah suasana. Seorang pemuda berjubah hitam muncul dari sudut tenda, langkahnya tenang, wajahnya ramah. Ia membungkukkan tubuh dengan
Ren Hui dan Junjie melangkah perlahan di antara keramaian pedagang yang berlomba menawarkan dagangan mereka dengan suara lantang. Aroma rempah dan daging panggang bercampur dengan wangi buah-buahan kering yang tertata rapi di atas kain-kain berwarna cerah. Di bawah sinar matahari yang terik, suasana oasis itu terasa begitu hidup, seolah menggambarkan napas pengelana yang datang dan pergi tanpa henti. Junjie menggenggam tali kendali Lobak sementara Ren Hui berjalan di sisinya, matanya sibuk mengamati keadaan sekitar."Meski pasar di pusat kota Hóngshā lebih lengkap, kehadiran para pedagang dan pengelana di sini cukup membantu menghidupkan suasana," ujar Junjie, suaranya rendah meski terdengar sangat jelas, seperti gumaman seorang pemikir yang enggan mengeluarkan tenaga berlebih.Ren Hui mengangguk pelan, menambahkan, "Setidaknya orang-orang di sini tidak perlu bersusah payah pergi ke kota untuk memenuhi kebutuhan mereka. Perjalanan itu cukup jauh dan memakan waktu."Junjie menghela nap
Suasana di Oasis Merah tetap seperti biasanya. Langit biru membentang luas, dengan matahari pagi yang memantulkan kilau keemasan di atas hamparan pasir. Penduduk lokal sibuk dengan rutinitasnya, mengambil air dari sumur, menjajakan barang dagangan, atau berburu di sekitar oasis. Hiruk-pikuk pusat kota Hóngshā terdengar dari kejauhan, menggema di antara deburan angin gurun. Para prajurit Kekaisaran Shenguang terus menjaga ketertiban, berpatroli di sekitar kemah militer dengan disiplin tanpa cela.Namun, di balik kesibukan itu, ada bayang-bayang yang mengintai. Dari kejauhan, serombongan pria berjubah hitam dengan topeng hantu mengawasi Oasis Merah. Mereka berdiri di atas bukit kecil, di bawah naungan bayangan sebuah batu besar. Mata-mata mereka memantulkan ketegangan dan kesungguhan yang mengisyaratkan sesuatu tengah direncanakan."Sama sekali tidak ada pergerakan," gumam salah satu dari mereka. Wajahnya tersembunyi di balik topeng menyeramkan, hanya suaranya yang berat dan tegas terde
Ren Hui meletakkan teko berisi teh yang baru diseduh di atas meja kayu yang terbuat dari pohon pinus berumur ratusan tahun. Aromanya yang harum segera mengisi udara pagi yang sejuk. Suasana di rumah beroda terasa tenang, dengan sinar matahari yang perlahan menyinari ruang tengah. Dia lalu kembali ke dapur dan segera kembali lagi membawa sepiring roti pita, salad kurma dan kacang almond, serta kue kacang hijau yang baru saja dipanggang. Pagi ini, dia memilih sarapan ringan yang menenangkan, terasa seperti pelukan hangat di pagi yang dingin."Junjie, apa semua sudah siap?" Ren Hui bertanya, suaranya lembut namun mengandung ketegasan. Matanya menatap pria itu yang masih duduk dengan tubuh santai di dekat jendela, tatapannya terfokus pada hamparan oasis di kejauhan. "Makanlah!" Tegurnya lagi dengan lembut, seakan mengajak Junjie keluar dari lamunannya.Junjie menoleh, matanya tak berkedip menatap meja di ruang tengah, penuh dengan hidangan yang tak biasa disajikan oleh Ren Hui. Tak biasan
Beberapa hari berlalu dengan tenang di Oasis Merah. Song Mingyu, seperti biasanya, berlatih jurus Pedang Surgawi. Gerakannya ringan, namun penuh kekuatan, seperti angin yang menyapu permukaan oasis. Sesekali, Junjie akan menemani—meski pria pemalas itu lebih sering bersandar di jendela, tenggelam dalam surat-surat dari merpati pos atau sibuk membuka gulungan dokumen serta buku-bukunya.Sedangkan Ren Hui lebih sibuk dengan urusan dagangannya. Aroma manis dan tajam dari berbagai arak yang ia racik memenuhi udara. Ia sering mengunjungi tenda Jenderal Miu Yue untuk mengantarkan arak pesanan sang jenderal atau berjalan-jalan di pusat kota. Kadang ia ditemani Song Mingyu, dan jika Junjie sedang dalam suasana hati yang baik, ia pun akan bergabung, meski langkahnya sering lebih lambat, seperti orang yang enggan bergerak terlalu jauh.Namun, pagi ini, suasana di tenda Jenderal Miu Yue sedikit berbeda. Ren Hui duduk berhadapan dengan sang jenderal, seperti biasa mengantar arak pesanannya."Ehm,
Suasana malam di Oasis Merah cukup sepi, meskipun nyala lentera dan lampion yang terpasang di setiap tenda dan kereta menambah kilau kemeriahan yang temaram. Namun, sebagian besar penghuni tenda memilih berdiam diri di dalam kediaman mereka masing-masing, membiarkan angin gurun yang menusuk mengguncang ketenangan malam yang sunyi.Angin gurun semakin terasa dingin, menambah kesunyian malam yang hanya dihiasi oleh suara gemerisik pasir dan desiran angin."Jadi, kau bertemu dengannya?" Junjie bertanya pada pemuda yang duduk di hadapannya, suaranya datar, tetapi memancarkan rasa ingin tahu. Song Mingyu hanya mengangguk pelan, bibirnya rapat, tidak ada kata yang keluar.Mereka bertiga duduk di tepi oasis, menikmati makan malam sederhana yang ditemani arak hangat dan pemandangan indah kota Hóngshā yang terlihat jauh di kejauhan. Langit malam tampak begitu cerah, dengan bulan purnama yang menerangi oasis, menciptakan bayangan yang menari-nari di permukaan air ya
Song Mingyu terdiam terpaku. Kakinya terasa berat seperti tertanam di pasir. Napasnya tersendat, dadanya bergemuruh seperti drum perang yang tak pernah berhenti berdetak. Lidahnya kelu, tak tahu harus berkata apa. Sementara itu, wanita bermantel putih melangkah mendekat. Setiap langkahnya terdengar tegas, menciptakan jejak kecil di atas pasir merah yang panas."Jenderal Miu," Ren Hui memecah keheningan. Ia membungkuk sopan, memberikan penghormatan tanpa ragu sedikit pun.Wanita itu mengangguk tipis, rambut panjangnya yang tergerai seperti sutra berkibar-kibar diterpa angin gurun. "Tuan Ren," sapanya dengan nada lembut, tetapi penuh wibawa. "Bisakah Anda mengantarkan beberapa guci arak ke tendaku?"Tidak ada kegugupan dalam suaranya. Kata-katanya seolah tertata sempurna, seperti butiran mutiara yang mengalir dalam kalimat.Ren Hui tersenyum, senyuman cerah yang menular. "Tentu saja. Saya akan mengantarkannya besok pagi," jawabnya dengan riang. Cahaya matahari seakan memantul dari senyu
Ren Hui memimpin jalan memasuki rumah beroda. Udara di dalam terasa leluasa, karena jendela-jendela yang terbuka menghadirkan angin gurun yang sekali-kali berhembus sepoi-sepoi. Namun, kehadiran dua tamu tak terduga seketika mengubah suasana. Junjie dan Song Mingyu, yang tengah duduk santai, seolah kehilangan kata-kata. Meski wajah mereka tetap tenang, mata mereka menyiratkan keterkejutan yang sulit disembunyikan."Junjie! Mingyu! Ada dua nona cantik yang mengunjungi rumah kita dan ingin bertemu dengan seseorang. Mungkin salah satu di antara kalian yang nona-nona ini maksud," ujar Ren Hui sambil melirik sekilas pada dua wanita yang berdiri anggun di sebelahnya. Suaranya ringan, tetapi cukup untuk memecah keheningan yang mendadak menyergap.Wanita bermantel merah tua itu melangkah maju, kemudian berlutut di lantai tanpa ragu sedikit pun, diikuti oleh pelayannya. "Yang Mulia Pangeran Yongle, saya Chao Ping memberi hormat!" ucapnya dengan penuh takzim, kepalanya tertunduk dalam-dalam hin
Wanita cantik itu melangkah mendekati Ren Hui dengan keanggunan yang memikat. Setiap langkahnya terdengar lembut, seperti rintik embun yang menyentuh daun. Mantel merah tua yang dikenakannya tampak kontras dengan pasir merah keemasan menyelimuti gurun luas itu. Di belakangnya, seorang pelayan dengan pakaian sederhana mengikuti dalam sikap penuh hormat, langkahnya nyaris tak bersuara."Tuan Ren, itu jika Anda tidak keberatan." Suaranya terdengar tenang, tetapi ada nada halus yang menandakan kegelisahan. Tatapan matanya sebening embun pagi, berusaha menyembunyikan sesuatu yang belum terungkap.Ren Hui, yang duduk santai di anak tangga rumah berodanya, perlahan bangkit. Ia mengibaskan ujung jubah putihnya, meninggalkan jejak lembut di udara sebelum melangkah turun dengan gerakan tenang tetapi sangat santai. Ia berhenti tepat di hadapan wanita itu, menatapnya sekilas."Apakah kita pernah bertemu sebelumnya, Nona?" tanyanya dengan sopan, sembari menghadirkan se