Share

Ada Aku Di Sini

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-22 07:47:14

Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki.

"Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.

Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Gelang Mutiara Malam

    Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Baihua Dan Kelinci Buruannya

    Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Song Mingyu Kembali

    Setelah cukup sibuk di dapur ditemani Miu Yue, Ren Hui membawa kelinci panggang dan sup kelinci yang sudah matang ke ruang tengah. Aroma gurih dari daging panggang dan rempah-rempah memenuhi udara, berpadu dengan hangatnya ruangan rumah beroda itu. Ia meletakkan piring dan bejana berisi sup beserta tungkunya di atas meja, mengatur semuanya dengan rapi."Junjie, ayo kita makan!" serunya kepada pria pemalas yang masih duduk bertopang dagu di dekat jendela, menatap keluar dengan pandangan kosong.Junjie menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri, meregangkan tubuhnya dengan gerakan malas. "Akhirnya," gumamnya. Meski dari pagi hanya duduk menulis balasan surat dan mengirimkannya lewat burung-burung merpati, tubuhnya terasa pegal-pegal."Jenderal Miu, Anda juga duduklah bersama kami," ujar Ren Hui ramah kepada wanita yang sejak tadi menemaninya di dapur.Miu Yue menatap Ren Hui, lalu mengangguk. "Aku tidak pandai urusan dapur," katanya sambil dudu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ulah Song Mingyu

    Song Mingyu melangkah masuk dengan riang, langsung memeluk Ren Hui erat-erat. Wajahnya penuh kebahagiaan, seperti seorang adik kecil yang lama tak bertemu kakaknya. "Ren Hui, aku sangat merindukanmu!" serunya lantang, membuat suasana rumah beroda kecil itu mendadak riuh.Ren Hui tersenyum kecut, mencoba melonggarkan pelukan Song Mingyu yang seolah menjerat lehernya. "I... iya, aku tahu kau rindu padaku. Tapi, bisakah kau tidak memelukku seperti itu?" Ia menghela napas, wajahnya memerah sedikit karena ulah pemuda itu.Sementara Miu Yue membelalakkan matanya menatap pemuda yang baru saja menerobos masuk ke dalam rumah beroda dan membuat keributan. Dia menatap pemuda itu lekat-lekat."Tidak akan!" sahut Song Mingyu, kini kedua tangannya malah bergeser memeluk leher Ren Hui lebih erat.Junjie, yang sejak tadi duduk diam, hanya berdecak kesal. Dalam sekejap, ia sudah berdiri di belakang Song Mingyu, mencengkeram kerah hanfu pemuda itu dan menyeretnya m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hari-hari Di Kota Hóngshā

    Song Mingyu berdiri mematung di bibir oasis, matanya menyapu keindahan di hadapannya. Oasis merah, surga kecil yang menjadi anomali di tengah gurun pasir merah keemasan yang membentang tanpa ujung. Pohon-pohon kurma menjulang anggun, palem melambai pelan diterpa angin, dan semak jujube berkerumun di berbagai sudut. Di sela bebatuan, bunga-bunga kecil dengan warna-warna cerah tumbuh malu-malu dan di beberapa tempat semak-semak anggur liar mulai memunculkan buahnya, menyajikan kontras hidup di tengah gurun. Aroma samar dedaunan kering bercampur aroma gurun yang khas, menyelusup lembut ke dalam hidungnya."Sejauh mata memandang, hanya pasir merah," gumamnya perlahan. Dia melepaskan kendali Lobak dan membiarkan Baihua, rubah putih kecil yang cerdas, berjalan mengikutinya.Hari ini, dia bertugas membeli bahan makanan. Ren Hui terlalu sibuk menyuling arak, sementara Junjie—seperti biasa—bermalas-malasan di rumah beroda. Bagi Song Mingyu, Junjie adalah personifikasi sifat menyebalkan, meskip

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sosok Di Balik Jendela Rumah Beroda

    Song Mingyu mengerutkan kening, mencoba menggali ingatannya. Siapa gadis cantik berjubah merah tua itu? Diiringi seorang pelayan, mereka tampak mengenalnya. Namun, baginya, wajah mereka sama sekali asing."Tuan Muda Song, musim dingin kemarin ada rombongan dari ibukota yang singgah di Paviliun Pinus Hijau, bukan?" tanya gadis pelayan dengan sopan, suaranya terdengar lembut seperti angin yang menyapa dedaunan.Ah, kenangan itu mendadak muncul. Kedatangan rombongan dari ibukota yang dipimpin oleh Kasim Han. Mereka mengawal putri Perdana Menteri Kanan Chao ke perbatasan utara. Gadis berjubah merah tua itu ternyata adalah penumpang kereta yang pernah ia lihat melintas di Paviliun Pinus Hijau. Wajahnya tampak begitu murung kala itu, seperti menanggung beban yang tak terlihat.“Nona Muda Pertama Chao, Nona Chao Ping?” gumam Song Mingyu perlahan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Kedua wanita itu mengangguk pelan, senyum lemah tersungging di bibir mereka. Pelayan yang berdiri di

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Mengenang Pangeran Yongle

    Pangeran Yongle, atau yang lebih dikenal sebagai Putra Mahkota dalam ingatannya, tidak akan pernah pudar begitu saja. Chao Ping tersenyum samar, tatapannya tetap tertuju pada sosok yang menghilang di balik jendela rumah beroda di tepi oasis. Meski hanya sebentar, dia yakin dia tidak salah melihat, tidak salah mengenali."Putra Mahkota," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh desiran angin gurun yang berbisik. Ia menatap rumah beroda itu dengan penuh perhatian, memikirkannya untuk beberapa detik lagi, sebelum akhirnya menghela napas pelan. Dengan langkah yang sedikit ragu, ia berbalik dan mengajak sang pelayan untuk meninggalkan tempat itu."Ayo kita kembali," bisiknya lirih, suaranya hanya terdengar seperti desahan di antara hembusan angin gurun. Dengan hati yang tak menentu, Chao Ping berbalik, langkahnya perlahan, pelan-pelan mengikuti jejak pelayan setianya.Namun, hingga mereka tiba di tendanya dan malam menjelang, sosok di balik jendela rumah beroda tadi masih menghantui

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Suasana Yang Tidak Seperti Biasanya

    Ketiga pria tampan itu duduk di ruang makan, tapi kehangatan biasanya tidak terasa di antara mereka. Song Mingyu dan Junjie menyantap makanan dengan gerakan pelan, tanpa semangat. Ren Hui, sang pedagang arak, memandang keduanya dengan kening berkerut, berusaha memahami keganjilan yang tiba-tiba menyeruak di antara mereka.Mangkuk nasi Song Mingyu masih hampir penuh. Sumpitnya hanya memindahkan potongan daging tanpa berniat menyuapkannya ke mulut. Sesekali dia menghela napas panjang, seperti ada beban tak kasat mata yang menghimpit dadanya. Ren Hui merasa ada yang salah. Biasanya, Song Mingyu selalu riang, melontarkan lelucon tak berujung atau bahkan berebut makanan dengan Junjie. Tapi kini, kesunyian melingkupi mereka seperti kabut yang enggan pergi.“Kau sakit?” Ren Hui bertanya, memecah keheningan.Song Mingyu menggeleng tanpa berkata, tatapannya menerawang jauh seolah melihat bayangan yang hanya dia yang tahu. Ren Hui semakin bingung.“Kalau be

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-27

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Puncak Báiyuè Shān

    Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Es

    Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Menunggu

    Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status