Pangeran Yongle, atau yang lebih dikenal sebagai Putra Mahkota dalam ingatannya, tidak akan pernah pudar begitu saja. Chao Ping tersenyum samar, tatapannya tetap tertuju pada sosok yang menghilang di balik jendela rumah beroda di tepi oasis. Meski hanya sebentar, dia yakin dia tidak salah melihat, tidak salah mengenali."Putra Mahkota," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh desiran angin gurun yang berbisik. Ia menatap rumah beroda itu dengan penuh perhatian, memikirkannya untuk beberapa detik lagi, sebelum akhirnya menghela napas pelan. Dengan langkah yang sedikit ragu, ia berbalik dan mengajak sang pelayan untuk meninggalkan tempat itu."Ayo kita kembali," bisiknya lirih, suaranya hanya terdengar seperti desahan di antara hembusan angin gurun. Dengan hati yang tak menentu, Chao Ping berbalik, langkahnya perlahan, pelan-pelan mengikuti jejak pelayan setianya.Namun, hingga mereka tiba di tendanya dan malam menjelang, sosok di balik jendela rumah beroda tadi masih menghantui
Ketiga pria tampan itu duduk di ruang makan, tapi kehangatan biasanya tidak terasa di antara mereka. Song Mingyu dan Junjie menyantap makanan dengan gerakan pelan, tanpa semangat. Ren Hui, sang pedagang arak, memandang keduanya dengan kening berkerut, berusaha memahami keganjilan yang tiba-tiba menyeruak di antara mereka.Mangkuk nasi Song Mingyu masih hampir penuh. Sumpitnya hanya memindahkan potongan daging tanpa berniat menyuapkannya ke mulut. Sesekali dia menghela napas panjang, seperti ada beban tak kasat mata yang menghimpit dadanya. Ren Hui merasa ada yang salah. Biasanya, Song Mingyu selalu riang, melontarkan lelucon tak berujung atau bahkan berebut makanan dengan Junjie. Tapi kini, kesunyian melingkupi mereka seperti kabut yang enggan pergi.“Kau sakit?” Ren Hui bertanya, memecah keheningan.Song Mingyu menggeleng tanpa berkata, tatapannya menerawang jauh seolah melihat bayangan yang hanya dia yang tahu. Ren Hui semakin bingung.“Kalau be
Wanita cantik itu melangkah mendekati Ren Hui dengan keanggunan yang memikat. Setiap langkahnya terdengar lembut, seperti rintik embun yang menyentuh daun. Mantel merah tua yang dikenakannya tampak kontras dengan pasir merah keemasan menyelimuti gurun luas itu. Di belakangnya, seorang pelayan dengan pakaian sederhana mengikuti dalam sikap penuh hormat, langkahnya nyaris tak bersuara."Tuan Ren, itu jika Anda tidak keberatan." Suaranya terdengar tenang, tetapi ada nada halus yang menandakan kegelisahan. Tatapan matanya sebening embun pagi, berusaha menyembunyikan sesuatu yang belum terungkap.Ren Hui, yang duduk santai di anak tangga rumah berodanya, perlahan bangkit. Ia mengibaskan ujung jubah putihnya, meninggalkan jejak lembut di udara sebelum melangkah turun dengan gerakan tenang tetapi sangat santai. Ia berhenti tepat di hadapan wanita itu, menatapnya sekilas."Apakah kita pernah bertemu sebelumnya, Nona?" tanyanya dengan sopan, sembari menghadirkan se
Ren Hui memimpin jalan memasuki rumah beroda. Udara di dalam terasa leluasa, karena jendela-jendela yang terbuka menghadirkan angin gurun yang sekali-kali berhembus sepoi-sepoi. Namun, kehadiran dua tamu tak terduga seketika mengubah suasana. Junjie dan Song Mingyu, yang tengah duduk santai, seolah kehilangan kata-kata. Meski wajah mereka tetap tenang, mata mereka menyiratkan keterkejutan yang sulit disembunyikan."Junjie! Mingyu! Ada dua nona cantik yang mengunjungi rumah kita dan ingin bertemu dengan seseorang. Mungkin salah satu di antara kalian yang nona-nona ini maksud," ujar Ren Hui sambil melirik sekilas pada dua wanita yang berdiri anggun di sebelahnya. Suaranya ringan, tetapi cukup untuk memecah keheningan yang mendadak menyergap.Wanita bermantel merah tua itu melangkah maju, kemudian berlutut di lantai tanpa ragu sedikit pun, diikuti oleh pelayannya. "Yang Mulia Pangeran Yongle, saya Chao Ping memberi hormat!" ucapnya dengan penuh takzim, kepalanya tertunduk dalam-dalam hin
Song Mingyu terdiam terpaku. Kakinya terasa berat seperti tertanam di pasir. Napasnya tersendat, dadanya bergemuruh seperti drum perang yang tak pernah berhenti berdetak. Lidahnya kelu, tak tahu harus berkata apa. Sementara itu, wanita bermantel putih melangkah mendekat. Setiap langkahnya terdengar tegas, menciptakan jejak kecil di atas pasir merah yang panas."Jenderal Miu," Ren Hui memecah keheningan. Ia membungkuk sopan, memberikan penghormatan tanpa ragu sedikit pun.Wanita itu mengangguk tipis, rambut panjangnya yang tergerai seperti sutra berkibar-kibar diterpa angin gurun. "Tuan Ren," sapanya dengan nada lembut, tetapi penuh wibawa. "Bisakah Anda mengantarkan beberapa guci arak ke tendaku?"Tidak ada kegugupan dalam suaranya. Kata-katanya seolah tertata sempurna, seperti butiran mutiara yang mengalir dalam kalimat.Ren Hui tersenyum, senyuman cerah yang menular. "Tentu saja. Saya akan mengantarkannya besok pagi," jawabnya dengan riang. Cahaya matahari seakan memantul dari senyu
Suasana malam di Oasis Merah cukup sepi, meskipun nyala lentera dan lampion yang terpasang di setiap tenda dan kereta menambah kilau kemeriahan yang temaram. Namun, sebagian besar penghuni tenda memilih berdiam diri di dalam kediaman mereka masing-masing, membiarkan angin gurun yang menusuk mengguncang ketenangan malam yang sunyi.Angin gurun semakin terasa dingin, menambah kesunyian malam yang hanya dihiasi oleh suara gemerisik pasir dan desiran angin."Jadi, kau bertemu dengannya?" Junjie bertanya pada pemuda yang duduk di hadapannya, suaranya datar, tetapi memancarkan rasa ingin tahu. Song Mingyu hanya mengangguk pelan, bibirnya rapat, tidak ada kata yang keluar.Mereka bertiga duduk di tepi oasis, menikmati makan malam sederhana yang ditemani arak hangat dan pemandangan indah kota Hóngshā yang terlihat jauh di kejauhan. Langit malam tampak begitu cerah, dengan bulan purnama yang menerangi oasis, menciptakan bayangan yang menari-nari di permukaan air ya
Beberapa hari berlalu dengan tenang di Oasis Merah. Song Mingyu, seperti biasanya, berlatih jurus Pedang Surgawi. Gerakannya ringan, namun penuh kekuatan, seperti angin yang menyapu permukaan oasis. Sesekali, Junjie akan menemani—meski pria pemalas itu lebih sering bersandar di jendela, tenggelam dalam surat-surat dari merpati pos atau sibuk membuka gulungan dokumen serta buku-bukunya.Sedangkan Ren Hui lebih sibuk dengan urusan dagangannya. Aroma manis dan tajam dari berbagai arak yang ia racik memenuhi udara. Ia sering mengunjungi tenda Jenderal Miu Yue untuk mengantarkan arak pesanan sang jenderal atau berjalan-jalan di pusat kota. Kadang ia ditemani Song Mingyu, dan jika Junjie sedang dalam suasana hati yang baik, ia pun akan bergabung, meski langkahnya sering lebih lambat, seperti orang yang enggan bergerak terlalu jauh.Namun, pagi ini, suasana di tenda Jenderal Miu Yue sedikit berbeda. Ren Hui duduk berhadapan dengan sang jenderal, seperti biasa mengantar arak pesanannya."Ehm,
Ren Hui meletakkan teko berisi teh yang baru diseduh di atas meja kayu yang terbuat dari pohon pinus berumur ratusan tahun. Aromanya yang harum segera mengisi udara pagi yang sejuk. Suasana di rumah beroda terasa tenang, dengan sinar matahari yang perlahan menyinari ruang tengah. Dia lalu kembali ke dapur dan segera kembali lagi membawa sepiring roti pita, salad kurma dan kacang almond, serta kue kacang hijau yang baru saja dipanggang. Pagi ini, dia memilih sarapan ringan yang menenangkan, terasa seperti pelukan hangat di pagi yang dingin."Junjie, apa semua sudah siap?" Ren Hui bertanya, suaranya lembut namun mengandung ketegasan. Matanya menatap pria itu yang masih duduk dengan tubuh santai di dekat jendela, tatapannya terfokus pada hamparan oasis di kejauhan. "Makanlah!" Tegurnya lagi dengan lembut, seakan mengajak Junjie keluar dari lamunannya.Junjie menoleh, matanya tak berkedip menatap meja di ruang tengah, penuh dengan hidangan yang tak biasa disajikan oleh Ren Hui. Tak biasan
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam
Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil
Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk
Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan