Home / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Aku Berharap Itu Bukan Dia

Share

Aku Berharap Itu Bukan Dia

Author: Aspasya
last update Last Updated: 2024-12-28 07:07:35

Song Mingyu terdiam terpaku. Kakinya terasa berat seperti tertanam di pasir. Napasnya tersendat, dadanya bergemuruh seperti drum perang yang tak pernah berhenti berdetak. Lidahnya kelu, tak tahu harus berkata apa. Sementara itu, wanita bermantel putih melangkah mendekat. Setiap langkahnya terdengar tegas, menciptakan jejak kecil di atas pasir merah yang panas.

"Jenderal Miu," Ren Hui memecah keheningan. Ia membungkuk sopan, memberikan penghormatan tanpa ragu sedikit pun.

Wanita itu mengangguk tipis, rambut panjangnya yang tergerai seperti sutra berkibar-kibar diterpa angin gurun. "Tuan Ren," sapanya dengan nada lembut, tetapi penuh wibawa. "Bisakah Anda mengantarkan beberapa guci arak ke tendaku?"

Tidak ada kegugupan dalam suaranya. Kata-katanya seolah tertata sempurna, seperti butiran mutiara yang mengalir dalam kalimat.

Ren Hui tersenyum, senyuman cerah yang menular. "Tentu saja. Saya akan mengantarkannya besok pagi," jawabnya dengan riang. Cahaya matahari seakan memantul dari senyu
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Malam Di Tepi Oasis Merah

    Suasana malam di Oasis Merah cukup sepi, meskipun nyala lentera dan lampion yang terpasang di setiap tenda dan kereta menambah kilau kemeriahan yang temaram. Namun, sebagian besar penghuni tenda memilih berdiam diri di dalam kediaman mereka masing-masing, membiarkan angin gurun yang menusuk mengguncang ketenangan malam yang sunyi.Angin gurun semakin terasa dingin, menambah kesunyian malam yang hanya dihiasi oleh suara gemerisik pasir dan desiran angin."Jadi, kau bertemu dengannya?" Junjie bertanya pada pemuda yang duduk di hadapannya, suaranya datar, tetapi memancarkan rasa ingin tahu. Song Mingyu hanya mengangguk pelan, bibirnya rapat, tidak ada kata yang keluar.Mereka bertiga duduk di tepi oasis, menikmati makan malam sederhana yang ditemani arak hangat dan pemandangan indah kota Hóngshā yang terlihat jauh di kejauhan. Langit malam tampak begitu cerah, dengan bulan purnama yang menerangi oasis, menciptakan bayangan yang menari-nari di permukaan air ya

    Last Updated : 2024-12-28
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Perbincangan Ren Hui Dan Miu Yue

    Beberapa hari berlalu dengan tenang di Oasis Merah. Song Mingyu, seperti biasanya, berlatih jurus Pedang Surgawi. Gerakannya ringan, namun penuh kekuatan, seperti angin yang menyapu permukaan oasis. Sesekali, Junjie akan menemani—meski pria pemalas itu lebih sering bersandar di jendela, tenggelam dalam surat-surat dari merpati pos atau sibuk membuka gulungan dokumen serta buku-bukunya.Sedangkan Ren Hui lebih sibuk dengan urusan dagangannya. Aroma manis dan tajam dari berbagai arak yang ia racik memenuhi udara. Ia sering mengunjungi tenda Jenderal Miu Yue untuk mengantarkan arak pesanan sang jenderal atau berjalan-jalan di pusat kota. Kadang ia ditemani Song Mingyu, dan jika Junjie sedang dalam suasana hati yang baik, ia pun akan bergabung, meski langkahnya sering lebih lambat, seperti orang yang enggan bergerak terlalu jauh.Namun, pagi ini, suasana di tenda Jenderal Miu Yue sedikit berbeda. Ren Hui duduk berhadapan dengan sang jenderal, seperti biasa mengantar arak pesanannya."Ehm,

    Last Updated : 2024-12-28
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Keputusan Junjie Dan Ren Hui

    Ren Hui meletakkan teko berisi teh yang baru diseduh di atas meja kayu yang terbuat dari pohon pinus berumur ratusan tahun. Aromanya yang harum segera mengisi udara pagi yang sejuk. Suasana di rumah beroda terasa tenang, dengan sinar matahari yang perlahan menyinari ruang tengah. Dia lalu kembali ke dapur dan segera kembali lagi membawa sepiring roti pita, salad kurma dan kacang almond, serta kue kacang hijau yang baru saja dipanggang. Pagi ini, dia memilih sarapan ringan yang menenangkan, terasa seperti pelukan hangat di pagi yang dingin."Junjie, apa semua sudah siap?" Ren Hui bertanya, suaranya lembut namun mengandung ketegasan. Matanya menatap pria itu yang masih duduk dengan tubuh santai di dekat jendela, tatapannya terfokus pada hamparan oasis di kejauhan. "Makanlah!" Tegurnya lagi dengan lembut, seakan mengajak Junjie keluar dari lamunannya.Junjie menoleh, matanya tak berkedip menatap meja di ruang tengah, penuh dengan hidangan yang tak biasa disajikan oleh Ren Hui. Tak biasan

    Last Updated : 2024-12-29
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pengunjung Baru Di Oasis Merah

    Suasana di Oasis Merah tetap seperti biasanya. Langit biru membentang luas, dengan matahari pagi yang memantulkan kilau keemasan di atas hamparan pasir. Penduduk lokal sibuk dengan rutinitasnya, mengambil air dari sumur, menjajakan barang dagangan, atau berburu di sekitar oasis. Hiruk-pikuk pusat kota Hóngshā terdengar dari kejauhan, menggema di antara deburan angin gurun. Para prajurit Kekaisaran Shenguang terus menjaga ketertiban, berpatroli di sekitar kemah militer dengan disiplin tanpa cela.Namun, di balik kesibukan itu, ada bayang-bayang yang mengintai. Dari kejauhan, serombongan pria berjubah hitam dengan topeng hantu mengawasi Oasis Merah. Mereka berdiri di atas bukit kecil, di bawah naungan bayangan sebuah batu besar. Mata-mata mereka memantulkan ketegangan dan kesungguhan yang mengisyaratkan sesuatu tengah direncanakan."Sama sekali tidak ada pergerakan," gumam salah satu dari mereka. Wajahnya tersembunyi di balik topeng menyeramkan, hanya suaranya yang berat dan tegas terde

    Last Updated : 2024-12-29
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Peramal Ilahi Di Oasis Merah

    Ren Hui dan Junjie melangkah perlahan di antara keramaian pedagang yang berlomba menawarkan dagangan mereka dengan suara lantang. Aroma rempah dan daging panggang bercampur dengan wangi buah-buahan kering yang tertata rapi di atas kain-kain berwarna cerah. Di bawah sinar matahari yang terik, suasana oasis itu terasa begitu hidup, seolah menggambarkan napas pengelana yang datang dan pergi tanpa henti. Junjie menggenggam tali kendali Lobak sementara Ren Hui berjalan di sisinya, matanya sibuk mengamati keadaan sekitar."Meski pasar di pusat kota Hóngshā lebih lengkap, kehadiran para pedagang dan pengelana di sini cukup membantu menghidupkan suasana," ujar Junjie, suaranya rendah meski terdengar sangat jelas, seperti gumaman seorang pemikir yang enggan mengeluarkan tenaga berlebih.Ren Hui mengangguk pelan, menambahkan, "Setidaknya orang-orang di sini tidak perlu bersusah payah pergi ke kota untuk memenuhi kebutuhan mereka. Perjalanan itu cukup jauh dan memakan waktu."Junjie menghela nap

    Last Updated : 2024-12-30
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tenda Peramal Ilahi Yang Aneh

    Ren Hui dan Junjie berdiri di hadapan seorang wanita cantik berjubah hitam yang duduk bersandar malas pada kursi panjang beralaskan bantal merah empuk. Meski tirai tipis menghalangi, pemandangan di baliknya tersaji dengan jelas dan nyata. Mata wanita itu tajam, memperhatikan kedua tamunya yang baru datang seolah membaca jiwa mereka. Tudung hitam yang dikenakannya hanya menambah kesan misterius pada dirinya."Jika aku tahu nasib dan takdir di masa depan, tentu aku tidak akan kemari, bukan?" Ren Hui menjawab santai, nada suaranya bercampur antara kelakar dan kejujuran.Tawa renyah yang merdu menggema di tenda yang cukup luas itu. Wanita itu mengubah posisinya, kini duduk tegak dengan sikap yang lebih anggun. Tatapannya tetap tertuju pada mereka, seolah tak ingin melewatkan gerak-gerik sekecil apa pun."Ah, Tuan-tuan! Selamat datang!" Sebuah suara lain memecah suasana. Seorang pemuda berjubah hitam muncul dari sudut tenda, langkahnya tenang, wajahnya ramah. Ia membungkukkan tubuh dengan

    Last Updated : 2024-12-30
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ramalan Dalam Kristal Biru

    Tirai sutra tipis yang melayang di udara disibakkan perlahan oleh Zhu Ling. Sosok perempuan dengan keanggunan yang memancar dari setiap gerakannya melangkah mendekati meja kayu di sudut tenda besar itu. Di belakangnya, Xuan Yu dengan langkah ringan membawa Ren Hui dan Junjie untuk mendekat. Ada atmosfer misterius yang memenuhi ruangan, seolah-olah tenda itu memisahkan mereka dari dunia luar. "Kristalku dapat melihat apapun yang ada pada dirimu, bahkan ke dalam hatimu yang paling dalam dan gelap," ujar Zhu Ling serius, suaranya rendah tetapi tegas, memecah keheningan. Tangannya membuka kain hitam yang menutupi sebuah benda di atas meja. Ternyata, sebuah bola kristal biru tua yang memancarkan cahaya redup namun memikat berada di sana. Kristal itu tampak berkilauan seperti lautan malam yang penuh rahasia. Sekilas, ia mengingatkan pada Bintang Batu Ilusi, namun ukurannya lebih besar dan aura dinginnya menyerupai mutiara es. "Kemarilah!" Xuan Yu melambaikan tangannya, senyumnya tipis te

    Last Updated : 2024-12-31
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Benar-benar Bodoh

    Angin gurun menyapu lembut butiran pasir merah yang tak berujung, membawa serta aroma kering dan panas. Di bawah langit biru tak berawan, Ren Hui melangkah perlahan sambil menggenggam tali kendali keledai hitam mereka, Lobak.Ia menundukkan sedikit kepala untuk menghindari terpaan angin yang lebih kencang, sementara Junjie duduk dengan santai di punggung Lobak, tangannya menggantung bebas di sisi tubuh keledai itu."Bagaimana menurutmu?" tanya Ren Hui tiba-tiba, suaranya pelan tetapi tegas, memecah keheningan yang hanya diisi oleh langkah kaki dan desir pasir.Tatapan matanya tetap terpaku ke depan, seakan-akan takut pandangannya melenceng dan mereka tersesat di tengah lautan pasir merah yang tampak tak berujung."Mengenai apa? Ramalanmu? Nona Zhu Ling? Atau Xuan Yu?" Junjie menjawab dengan nada santai, sambil melirik pria yang berjalan di sampingnya.Mata tajamnya mengamati wajah sahabatnya yang tenang, menc

    Last Updated : 2025-01-02

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Selama Dunia Masih Mengijinkan

    Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kabar-kabar Gembira Di Kekaisaran Shenguang

    Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kembalinya Sang Dewa Pedang

    Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status