Share

Benar-benar Bodoh

Author: Aspasya
last update Last Updated: 2025-01-02 07:00:05

Angin gurun menyapu lembut butiran pasir merah yang tak berujung, membawa serta aroma kering dan panas. Di bawah langit biru tak berawan, Ren Hui melangkah perlahan sambil menggenggam tali kendali keledai hitam mereka, Lobak.

Ia menundukkan sedikit kepala untuk menghindari terpaan angin yang lebih kencang, sementara Junjie duduk dengan santai di punggung Lobak, tangannya menggantung bebas di sisi tubuh keledai itu.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Ren Hui tiba-tiba, suaranya pelan tetapi tegas, memecah keheningan yang hanya diisi oleh langkah kaki dan desir pasir.

Tatapan matanya tetap terpaku ke depan, seakan-akan takut pandangannya melenceng dan mereka tersesat di tengah lautan pasir merah yang tampak tak berujung.

"Mengenai apa? Ramalanmu? Nona Zhu Ling? Atau Xuan Yu?" Junjie menjawab dengan nada santai, sambil melirik pria yang berjalan di sampingnya.

Mata tajamnya mengamati wajah sahabatnya yang tenang, menc
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kristal Salju Di Terik Gurun Merah

    Mereka memang tidak sendirian di Gurun Merah. Hamparan pasir keemasan yang menyala di bawah matahari terik seolah tak berujung. Kota Hóngshā berdiri kecil dan rapuh di tengah padang pasir itu, seperti mutiara yang terselip di antara raksasa tak bernyawa. Di sekitar Oasis Merah, titik kehidupan yang menjadi harapan bagi pedagang dan pengelana, angin menderu membawa aroma pasir dan keheningan yang memekakkan.Bayang-bayang samar yang perlahan mendekati mereka kini semakin jelas, seolah terbuat dari kabut yang terbang membawa harapan atau ancaman. Ren Hui dan Junjie, yang masih terduduk di atas pasir merah yang terik, menatapnya dengan tatapan tajam, seakan berusaha memecahkan misteri yang semakin mendekat."Apa yang sedang kalian lakukan?" Sebuah suara lembut, namun tegas, memecah keheningan. Suara itu menyusup di antara panasnya udara gurun, seolah datang dari jauh namun begitu dekat.Keduanya mendongakkan kepala. Di hadapan mereka berdiri sosok yang mengen

    Last Updated : 2025-01-02
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kehangatan Malam Di Tepi Oasis

    Suasana di rumah beroda itu kembali hidup. Keberadaan Dongfang Yu dan Miu Yue memecah keheningan yang sebelumnya mendominasi, membawa warna baru di tengah suasana yang mencekam. Cahaya temaram bulan menyelimuti mereka, memantulkan bayangan di permukaan air yang tenang. Kedua wanita cantik itu duduk di batang kayu tua di tepi oasis, menunggu Ren Hui yang sibuk menyiapkan makan malam.Keheningan di antara mereka terasa tegang, seperti tali busur yang ditarik terlalu kencang. Hingga akhirnya, Miu Yue memecah kebekuan dengan suara lembut namun terukur. "Nona Dongfang, saya sudah lama mendengar kabar tentang Anda." Kata-kata itu, meski sederhana, menyeruak seperti riak kecil di atas permukaan air, memulai percakapan yang lama tertunda.Dongfang Yu, dengan wajah yang teduh namun penuh kewaspadaan, menoleh perlahan. Ini pertama kalinya mereka bertemu. Wajar jika suasana terasa canggung. Mereka berasal dari dunia yang berbeda. Miu Yue, putri Keluarga Miu yang dihormati kar

    Last Updated : 2025-01-02
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Siapa Pemilik Paviliun Embun Pagi?

    Di tepi Oasis Merah yang tenang, lima orang itu duduk melingkari meja kayu sederhana yang tampak usang, seolah menyimpan cerita tentang angin gurun yang pernah membelainya. Aroma daging domba panggang berpadu dengan rempah-rempah pedas, melayang di udara seperti melodi yang menggoda indra penciuman. Sesekali, uap dari hot pot yang mendidih bergulung lembut, membaur dengan hawa gurun yang mulai mendingin.Percakapan mengalir akrab, meski ada nada kehati-hatian yang terselip di antara mereka. Junjie, dengan nada serius yang nyaris menusuk keheningan, membuka pembicaraan. "Apakah semua berjalan lancar?" tanyanya, tatapannya tertuju pada dua wanita di hadapannya, Miu Yue dan Dongfang Yu. Tatapannya yang biasanya malas kini tajam bak menembus malam. Miu Yue, seperti biasa, menjawab lebih dulu. Nada suaranya tegas dan lugas, sementara tangannya yang anggun mengaduk isi mangkuk dengan tenang. "Ehm, semua baik-baik saja. Tidak ada masalah."Junjie menga

    Last Updated : 2025-01-03
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Tidak Dapat Melihat Wajahmu

    Ren Hui duduk bersebelahan dengan Junjie, di atas batang kayu tua yang tergeletak di tepi Oasis Merah. Tangannya memegang guci arak dengan cermat, mengguncangnya pelan, seolah mencari ketenangan di dalam riak-riak arak yang berputar."Ren Hui, kau sungguh-sungguh tidak tahu siapa pemilik Paviliun Embun Pagi?" Junjie yang sedari tadi menatapnya, akhirnya bertanya dengan nada serius. Suaranya rendah dan tenang, meski masih terkesan acuh tak acuh.Ren Hui menoleh dan menatap pria tampan di sebelahnya dengan tatapan penuh kebingungan. Kenapa Junjie menanyakan hal itu? Apakah itu suatu hal yang penting? Bahkan dirinya pun lupa tadi menanyakan siapa pemilik Paviliun Embun Pagi kepada Song Mingyu dan tamu mereka. "Apakah itu penting untuk aku ketahui?" Sahutnya, dengan santai, seolah perbincangan ini hanyalah angin lalu. "Tidak juga." Junjie menjawab singkat, kembali meraih sikap acuh tak acuhnya. "Ngomong-ngomong, kenapa kau meminta Song Mingyu untuk

    Last Updated : 2025-01-04
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kau Mirip Zhu Zijing

    Ren Hui dan Junjie terkejut oleh kehadiran Song Mingyu yang tiba-tiba, seolah-olah ia muncul dari bayang-bayang yang tak terdeteksi. Pemuda itu melangkah perlahan, langkahnya penuh wibawa, menatap kedua sahabatnya dengan tatapan yang dalam, seperti sedang menelusuri rahasia yang tersembunyi. Ren Hui berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Junjie, tetapi itu terasa seperti melepaskan sesuatu yang tak kasat mata, erat dan tak terhindarkan.Dia membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu, namun suara Junjie sudah lebih dulu menghentikan niatnya. "Penglihatan Ren Hui sedikit terganggu," ucap Junjie dengan nada yang lebih berat dari biasanya. Tidak ada lagi kekonyolan atau kebebasan dalam suaranya; hanya ada kekhawatiran yang terpendam dalam setiap kata yang diucapkan."Eh, apakah sakitmu kambuh lagi?" Song Mingyu bertanya cepat, langkahnya yang sebelumnya penuh keyakinan kini dipenuhi dengan rasa cemas. Kekhawatiran terpantul jelas di matanya, seperti riak air yang t

    Last Updated : 2025-01-04
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Tahu

    Song Mingyu merasa sebuah kesedihan menyelimuti hatinya. Namun, ia tak mampu menahan perasaannya. Ada sesuatu yang menggigit dalam dirinya, sebuah ketakutan yang entah berasal dari mana. Ia takut, takut bahwa Ren Hui benar-benar akan kehilangan penglihatannya. Ketika bayangan kegelisahan menyelimutinya, sebuah percakapan yang telah lama terlupakan kembali menghampirinya, membawa hembusan angin masa lalu.Tiba-tiba, wajah Nyonya Su Yang, ibunya, muncul di benaknya. Percakapan mereka sebelum dirinya meninggalkan Lingyun untuk menyusul Ren Hui dan Junjie, datang dengan jelas."Mingyu, jangan terlalu memikirkan apa yang kau dengar tadi," kata ibunya lembut, mencoba menenangkan keresahan di dalam hatinya. Suara Nyonya Su Yang, seperti musik yang menenangkan, tak dapat menepis ketegangan yang tumbuh dalam dada Song Mingyu. Ia mengingat dengan jelas percakapan yang tanpa sengaja ia dengar antara Dewa Obat dan ibunya."Aku... aku tidak memikirkan hal itu, Ibu," ja

    Last Updated : 2025-01-04
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hari Yang Berbeda Di Oasis Merah

    Suasana di Oasis Merah hari ini terasa tak biasa. Udara yang biasanya dipenuhi tawa para pedagang dan derit roda gerobak kini diwarnai ketegangan samar. Para prajurit sibuk mondar-mandir sejak fajar merekah, seperti semut yang tak henti bekerja.Mereka meminta para pedagang, pengelana, dan penduduk setempat untuk menjauhi sebuah tenda besar di tengah oasis. Tempat itu biasanya menjadi pusat peristirahatan yang ramai, tetapi kini diubah menjadi area tertutup yang dijaga ketat. Para prajurit mengarahkan aktivitas ke tempat lain, meskipun masih di sekitar oasis.Dari teras rumah beroda, Ren Hui berdiri bersama Junjie, mengamati kesibukan di bawah mereka. Sinar mentari memantulkan warna merah pasir, seperti darah yang tersembunyi dalam debu waktu."Kau baik-baik saja?" Junjie bertanya, suaranya rendah namun sarat kekhawatiran. Matanya, yang biasanya malas menatap dunia, kini memancarkan keseriusan.Ren Hui tersenyum cerah, seperti mentari musim semi yang menembus kabut. "Aku baik-baik saj

    Last Updated : 2025-01-05
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tidak Seperti Rumor

    Karavan itu, jika dilihat sekilas, tampak biasa saja. Sebuah gerobak besar dengan kayu kusam. Mirip dengan karavan milik pedagang atau pengelana yang kerap singgah di Oasis Merah. Namun, bagi yang jeli, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak mudah tertangkap oleh mata awam.Karavan ini tiba di tengah malam, saat angin gurun berdesir pelan, membelah keheningan. Kedatangannya yang sunyi membawa aura yang sulit diabaikan, seolah membawa rahasia yang berat namun enggan diceritakan.Junjie berjalan pelan mendekati karavan. Asap tipis mengepul dari cerobong, satu-satunya tanda kehidupan di dalamnya. Langkah kakinya melambat, lalu berhenti beberapa langkah dari pintu kayu yang tertutup rapat. Aroma samar kayu terbakar bercampur dengan angin gurun, membelai hidungnya."Hei, anak muda! Siapa yang kau cari?" Sebuah suara serak namun tegas memecah kesunyian. Junjie menoleh, mendapati seorang pria tua muncul dari balik rerumpunan pohon palem di sisi karavan. Pria tua itu mengenakan jubah lu

    Last Updated : 2025-01-06

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Selama Dunia Masih Mengijinkan

    Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kabar-kabar Gembira Di Kekaisaran Shenguang

    Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kembalinya Sang Dewa Pedang

    Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status