Beranda / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Hari Yang Berbeda Di Oasis Merah

Share

Hari Yang Berbeda Di Oasis Merah

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-05 06:56:23

Suasana di Oasis Merah hari ini terasa tak biasa. Udara yang biasanya dipenuhi tawa para pedagang dan derit roda gerobak kini diwarnai ketegangan samar. Para prajurit sibuk mondar-mandir sejak fajar merekah, seperti semut yang tak henti bekerja.

Mereka meminta para pedagang, pengelana, dan penduduk setempat untuk menjauhi sebuah tenda besar di tengah oasis. Tempat itu biasanya menjadi pusat peristirahatan yang ramai, tetapi kini diubah menjadi area tertutup yang dijaga ketat. Para prajurit mengarahkan aktivitas ke tempat lain, meskipun masih di sekitar oasis.

Dari teras rumah beroda, Ren Hui berdiri bersama Junjie, mengamati kesibukan di bawah mereka. Sinar mentari memantulkan warna merah pasir, seperti darah yang tersembunyi dalam debu waktu.

"Kau baik-baik saja?" Junjie bertanya, suaranya rendah namun sarat kekhawatiran. Matanya, yang biasanya malas menatap dunia, kini memancarkan keseriusan.

Ren Hui tersenyum cerah, seperti mentari musim semi yang menembus kabut. "Aku baik-baik saj
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tidak Seperti Rumor

    Karavan itu, jika dilihat sekilas, tampak biasa saja. Sebuah gerobak besar dengan kayu kusam. Mirip dengan karavan milik pedagang atau pengelana yang kerap singgah di Oasis Merah. Namun, bagi yang jeli, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak mudah tertangkap oleh mata awam.Karavan ini tiba di tengah malam, saat angin gurun berdesir pelan, membelah keheningan. Kedatangannya yang sunyi membawa aura yang sulit diabaikan, seolah membawa rahasia yang berat namun enggan diceritakan.Junjie berjalan pelan mendekati karavan. Asap tipis mengepul dari cerobong, satu-satunya tanda kehidupan di dalamnya. Langkah kakinya melambat, lalu berhenti beberapa langkah dari pintu kayu yang tertutup rapat. Aroma samar kayu terbakar bercampur dengan angin gurun, membelai hidungnya."Hei, anak muda! Siapa yang kau cari?" Sebuah suara serak namun tegas memecah kesunyian. Junjie menoleh, mendapati seorang pria tua muncul dari balik rerumpunan pohon palem di sisi karavan. Pria tua itu mengenakan jubah lu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Apa Yang Paling Menarik?

    Tuan Luo tersenyum kecil, nyaris seperti seringai, sementara matanya yang tajam terus menelisik Junjie. Tatapan itu seakan hendak menguak lebih banyak dari apa yang disembunyikan oleh tamunya.Tuan Luo tertawa lepas, suara tawanya renyah, menggema lembut di dalam karavan yang kini lebih terang oleh cahaya pagi. Tawanya memiliki irama yang merdu, nyaris seperti melodi yang memancarkan kebebasan tanpa batas. Junjie memperhatikan, diam-diam mengakui bahwa ada sesuatu yang luar biasa dalam cara pria itu menertawakan dunia—sebuah kebebasan yang terasa asing baginya."Jadi, bagaimana?" Junjie bertanya santai, sedikit mengangkat alis setelah tawa Tuan Luo mereda. "Apakah kita hanya akan membicarakan rumor tentang kita sepanjang pagi ini?" Nada bicaranya datar namun mengandung sindiran halus, seolah mencoba mengukur reaksi pria di depannya."Oh, tentu tidak, Tuan Junjie," jawab Tuan Luo dengan nada yang sama santainya. Senyumnya kembali menghiasi wajahnya, kali in

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kita Sepakat

    Kedua pria itu kini saling menatap dalam keheningan yang nyaris terasa berat, seolah udara di antara mereka telah mengental. Pak Tua Ong muncul membawa nampan berisi teh dan camilan, memecah kesunyian. Langkahnya ringan, namun ada sesuatu dalam gerak-geriknya yang anggun, kontras dengan jubah lusuh yang dikenakannya."Anak muda, cicipilah teh merah dari Baili," katanya ramah sambil menuangkan cairan hangat berwarna merah tua ke dalam cangkir porselen. Aroma teh itu segera memenuhi udara, memancarkan keharuman yang lembut dan menenangkan, seperti embusan angin musim semi yang membawa wangi bunga mekar.Junjie menerima cangkir itu dengan hati-hati. Dia mengendus aroma teh tersebut, matanya menyipit seolah menganalisis tiap molekul harumnya. "Aromanya sangat harum. Bunga mawar?" tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.Pak Tua Ong tersenyum kecil. Sebelum dia sempat menjawab, Tuan Luo menimpali, "Baili memang dikenal sebagai penghasil bunga mawar terbes

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Drama Di Pagi Hari

    Tenda besar itu sunyi, lebih sunyi dari biasanya. Sinar matahari pagi menyusup perlahan melalui celah-celah kain, memantulkan bayangan lembut di atas pasir. Tidak ada jejak keramaian yang biasanya menghiasi Oasis Merah saat pagi. Suasana terasa lesu, seakan seluruh oasis tenggelam dalam tidur yang tak terganggu."Aku bosan!" seru Xuan Yu tiba-tiba, suaranya bergema di dalam tenda yang kosong. Ia menguap lebar, tubuhnya bersandar santai di kursi kayu yang sudah aus oleh waktu. Matanya menyapu ruang di sekelilingnya—tidak ada siapa pun kecuali dirinya. Zhu Ling, sang Peramal Ilahi, entah pergi ke mana. Tapi Xuan Yu tidak peduli, kesunyian sudah menjadi teman setianya."Apakah masih lama?" gumamnya, sembari bangkit berdiri. Tubuhnya digerakkan, tangan direntangkan, dan punggungnya diputar, memecah kekakuan yang terasa di setiap sendi.Beberapa hari terakhir, ia hanya bermalas-malasan di tenda itu, menjalani perannya sebagai bawahan Peramal Ilahi yang terkenal

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Xuan Yu dan Lei

    Junjie melangkah perlahan menjejak pasir merah keemasan, langkahnya begitu santai seakan dunia ini tak mampu mengusik ketenangannya. Ujung mantel birunya berkibar lembut diterpa angin gurun, memancarkan kilau di bawah sinar matahari yang garang. Perpaduan pasir merah dan mantel biru itu membentuk pemandangan indah bak lukisan alam yang hidup, seperti guratan halus tinta pada kanvas seorang maestro."Aku tahu, bukan pedagang arak yang menarik perhatianmu, tapi pria itu," bisik Lei, suaranya serupa angin yang berusaha menyusupkan rahasia. Jemarinya dengan hati-hati menunjuk sosok Junjie yang semakin mendekat.Xuan Yu tidak menanggapi. Tatapannya tak beranjak dari pria bermantel biru itu, matanya penuh dengan sorot tajam yang menelisik. Sosok yang tengah berjalan mendekat itu memancarkan aura elegan, seakan-akan waktu berhenti hanya untuk menunggunya. Ketika mantel birunya berkibar, dia tampak seperti langit yang bergemuruh tenang sebelum badai menghantam."L

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pengantin Yang Cantik

    Tiga pria tampan itu saling berpandangan, seolah-olah ada percikan api yang terpantul di antara mereka. Debat kecil di antara mereka berlangsung dengan semangat yang tak bisa dipadamkan. Tidak ada satupun dari mereka yang tampak rela melakukan apa yang kini menjadi perdebatan sengit mereka."Bagaimana kalau kita suit saja?" usul salah satu dari mereka. Suara Song Mingyu yang penuh kegelisahan hampir terdengar seperti desahan angin yang terperangkap di celah-celah kereta pengantin milik Nona Muda Chao Ping. Song Mingyu yang sudah sejak lama ingin lepas dari peranannya, kini merasa peluang itu datang."Baiklah!" sahut dua pria lainnya serempak. Ren Hui dan Junjie pun bersiap untuk adu suit, seakan-akan mereka sedang menghidupkan kembali kegembiraan masa kecil mereka yang lama terkubur."Gunting! Batu! Kertas!" teriak mereka bersamaan dengan penuh semangat. Suara mereka memekik di udara, seperti riuhnya anak-anak yang sedang memilih teman untuk bermain petak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pengantin Dari Oasis Merah

    Iring-iringan kereta berjalan perlahan, roda-roda kayunya menggurat pasir merah yang berkilau di bawah sengatan matahari gurun. Bendera-bendera yang berkibar malas diterpa angin panas mengumumkan tujuan mereka, Baili. Di sekeliling kereta, beberapa prajurit Shenguang dan Baili berbaris dengan waspada, tombak mereka memantulkan kilau tajam sinar matahari.Di dalam salah satu kereta, Ren Hui duduk santai dengan gaya yang sama sekali tidak mencerminkan seorang "pengantin". Dari balik tirai tipis, dia menatap kosong ke luar, seolah-olah sinar matahari yang menyilaukan lebih menarik perhatian daripada situasi konyol yang menjeratnya."Tuan Ren, kaki Anda!" tegur seorang wanita muda yang duduk di hadapannya, nada suaranya setengah geli, setengah kesal.Ren Hui mengangkat wajahnya perlahan, melirik wanita itu tanpa banyak emosi, sebelum mengabaikan tegurannya. Dengan sengaja, ia tetap membiarkan kakinya bertengger di bangku kereta. Pose ini begitu bertolak belakang dengan gaun pengantin mewa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hujan Kimcoa Di Gurun Merah

    Ren Hui mendengar keributan di luar kereta. Dengan gerakan perlahan namun waspada, ia menyibak tirai dan menatap keluar jendela. Kertas-kertas kimcoa beterbangan di udara, mengiringi aroma dupa pemakaman yang menyusup menusuk penciumannya. Hembusan angin membawa kertas-kertas itu berputar liar, seolah tarian suram kematian tengah berlangsung di langit gurun merah yang tandus. Jantungnya berdegup lebih kencang, sebuah firasat buruk menyeruak di benaknya."Pasukan Hantu Kematian," gumamnya pelan, seperti bisikan angin yang menyelip masuk ke sela-sela jendela. Namun, suara lirih itu cukup jelas untuk ditangkap oleh A Xian, gadis cantik yang duduk anggun di hadapannya.A Xian menoleh, kemudian mengalihkan pandangannya ke luar. Matanya membulat, menatap kertas-kertas kimcoa yang melayang-layang seperti hujan di tengah gurun kering. "Wah, apakah ada pemakaman di sekitar sini?" tanyanya dengan nada takjub, menatap keindahan yang kontras dengan suasana mencekam di luar.Ren Hui menyandarkan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Puncak Báiyuè Shān

    Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Es

    Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Menunggu

    Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status