Share

Drama Di Pagi Hari

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-07 07:00:25

Tenda besar itu sunyi, lebih sunyi dari biasanya. Sinar matahari pagi menyusup perlahan melalui celah-celah kain, memantulkan bayangan lembut di atas pasir. Tidak ada jejak keramaian yang biasanya menghiasi Oasis Merah saat pagi. Suasana terasa lesu, seakan seluruh oasis tenggelam dalam tidur yang tak terganggu.

"Aku bosan!" seru Xuan Yu tiba-tiba, suaranya bergema di dalam tenda yang kosong. Ia menguap lebar, tubuhnya bersandar santai di kursi kayu yang sudah aus oleh waktu. Matanya menyapu ruang di sekelilingnya—tidak ada siapa pun kecuali dirinya. Zhu Ling, sang Peramal Ilahi, entah pergi ke mana. Tapi Xuan Yu tidak peduli, kesunyian sudah menjadi teman setianya.

"Apakah masih lama?" gumamnya, sembari bangkit berdiri. Tubuhnya digerakkan, tangan direntangkan, dan punggungnya diputar, memecah kekakuan yang terasa di setiap sendi.

Beberapa hari terakhir, ia hanya bermalas-malasan di tenda itu, menjalani perannya sebagai bawahan Peramal Ilahi yang terkenal
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Xuan Yu dan Lei

    Junjie melangkah perlahan menjejak pasir merah keemasan, langkahnya begitu santai seakan dunia ini tak mampu mengusik ketenangannya. Ujung mantel birunya berkibar lembut diterpa angin gurun, memancarkan kilau di bawah sinar matahari yang garang. Perpaduan pasir merah dan mantel biru itu membentuk pemandangan indah bak lukisan alam yang hidup, seperti guratan halus tinta pada kanvas seorang maestro."Aku tahu, bukan pedagang arak yang menarik perhatianmu, tapi pria itu," bisik Lei, suaranya serupa angin yang berusaha menyusupkan rahasia. Jemarinya dengan hati-hati menunjuk sosok Junjie yang semakin mendekat.Xuan Yu tidak menanggapi. Tatapannya tak beranjak dari pria bermantel biru itu, matanya penuh dengan sorot tajam yang menelisik. Sosok yang tengah berjalan mendekat itu memancarkan aura elegan, seakan-akan waktu berhenti hanya untuk menunggunya. Ketika mantel birunya berkibar, dia tampak seperti langit yang bergemuruh tenang sebelum badai menghantam."L

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pengantin Yang Cantik

    Tiga pria tampan itu saling berpandangan, seolah-olah ada percikan api yang terpantul di antara mereka. Debat kecil di antara mereka berlangsung dengan semangat yang tak bisa dipadamkan. Tidak ada satupun dari mereka yang tampak rela melakukan apa yang kini menjadi perdebatan sengit mereka."Bagaimana kalau kita suit saja?" usul salah satu dari mereka. Suara Song Mingyu yang penuh kegelisahan hampir terdengar seperti desahan angin yang terperangkap di celah-celah kereta pengantin milik Nona Muda Chao Ping. Song Mingyu yang sudah sejak lama ingin lepas dari peranannya, kini merasa peluang itu datang."Baiklah!" sahut dua pria lainnya serempak. Ren Hui dan Junjie pun bersiap untuk adu suit, seakan-akan mereka sedang menghidupkan kembali kegembiraan masa kecil mereka yang lama terkubur."Gunting! Batu! Kertas!" teriak mereka bersamaan dengan penuh semangat. Suara mereka memekik di udara, seperti riuhnya anak-anak yang sedang memilih teman untuk bermain petak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pengantin Dari Oasis Merah

    Iring-iringan kereta berjalan perlahan, roda-roda kayunya menggurat pasir merah yang berkilau di bawah sengatan matahari gurun. Bendera-bendera yang berkibar malas diterpa angin panas mengumumkan tujuan mereka, Baili. Di sekeliling kereta, beberapa prajurit Shenguang dan Baili berbaris dengan waspada, tombak mereka memantulkan kilau tajam sinar matahari.Di dalam salah satu kereta, Ren Hui duduk santai dengan gaya yang sama sekali tidak mencerminkan seorang "pengantin". Dari balik tirai tipis, dia menatap kosong ke luar, seolah-olah sinar matahari yang menyilaukan lebih menarik perhatian daripada situasi konyol yang menjeratnya."Tuan Ren, kaki Anda!" tegur seorang wanita muda yang duduk di hadapannya, nada suaranya setengah geli, setengah kesal.Ren Hui mengangkat wajahnya perlahan, melirik wanita itu tanpa banyak emosi, sebelum mengabaikan tegurannya. Dengan sengaja, ia tetap membiarkan kakinya bertengger di bangku kereta. Pose ini begitu bertolak belakang dengan gaun pengantin mewa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hujan Kimcoa Di Gurun Merah

    Ren Hui mendengar keributan di luar kereta. Dengan gerakan perlahan namun waspada, ia menyibak tirai dan menatap keluar jendela. Kertas-kertas kimcoa beterbangan di udara, mengiringi aroma dupa pemakaman yang menyusup menusuk penciumannya. Hembusan angin membawa kertas-kertas itu berputar liar, seolah tarian suram kematian tengah berlangsung di langit gurun merah yang tandus. Jantungnya berdegup lebih kencang, sebuah firasat buruk menyeruak di benaknya."Pasukan Hantu Kematian," gumamnya pelan, seperti bisikan angin yang menyelip masuk ke sela-sela jendela. Namun, suara lirih itu cukup jelas untuk ditangkap oleh A Xian, gadis cantik yang duduk anggun di hadapannya.A Xian menoleh, kemudian mengalihkan pandangannya ke luar. Matanya membulat, menatap kertas-kertas kimcoa yang melayang-layang seperti hujan di tengah gurun kering. "Wah, apakah ada pemakaman di sekitar sini?" tanyanya dengan nada takjub, menatap keindahan yang kontras dengan suasana mencekam di luar.Ren Hui menyandarkan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Para Pria Berjubah Hitam

    Pria-pria berjubah hitam dengan topeng hantu yang menyeramkan itu masih berdiri di puncak bukit pasir merah, menatap iring-iringan kereta pengantin yang bergerak perlahan di kejauhan. Dari balik topeng mereka, hawa dingin seperti menetes ke udara, menyelimuti malam yang mencekam."Bagaimana dengan rumah beroda itu?" Salah satu dari mereka menunjuk ke bawah, ke arah sebuah rumah beroda yang melaju perlahan, seperti siput yang merayap di atas pasir merah yang membara."Pedagang arak itu ya?" gumam sang pemimpin dengan suara serak, nyaris seperti bisikan angin gurun. Dia meraih topeng hantunya, melepasnya dengan gerakan lamban, dan menatap rumah beroda itu lekat-lekat, seakan berusaha mengurai rahasia yang tersembunyi di balik dinding kayunya.Hingga kini, pria itu belum sepenuhnya memahami hubungan rumah beroda aneh itu dengan serangkaian peristiwa yang mengacaukan rencananya selama beberapa waktu terakhir. Yang dia tahu hanyalah bahwa pemilik rumah itu adalah seorang pedagang arak, yan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pertarungan Di Menara Tianxia

    Kota Tianxia, Kekaisaran Shenguang tahun ke-20 TianjianDi atas menara kota Tianxia, dua orang jagoan pedang berdiri saling berhadapan. Ren Jie, Dewa Pedang dari sekte Pedang Langit, menatap tajam ke arah lawannya. Di hadapannya, Wang Jiang, putra penguasa Kota Tianxia yang dijuluki sebagai Raja Pedang, memegang pedangnya dengan penuh keyakinan.Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga plum yang mekar di sekitar menara. Suara gemerisik daun terdengar samar, seolah menjadi saksi bisu dari pertarungan yang akan segera dimulai. Di bawah sinar bulan yang pucat, kedua pedang itu berkilauan, mencerminkan tekad dan ambisi pemiliknya."Ren Jie, sudah lama aku menantikan saat ini," kata Wang Jiang dengan suara rendah namun penuh determinasi. "Hari ini, kita akan menentukan siapa yang layak menyandang gelar Raja Pedang di Shenguang."Ren Jie hanya tersenyum tipis. "Aku tidak pernah menginginkan gelar itu, Wang Jiang. Aku datang ke Tianxia untuk mencari jawaban atas kematian guruku dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-04
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tak Berdaya

    Lembah Obat, beberapa bulan kemudian Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah dinding gubuk sederhana, menciptakan pola cahaya yang menari di lantai kayu. Ren Jie terbangun perlahan, matanya yang lelah berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya. Di kejauhan, terdengar alunan guqin yang merdu, berpadu dengan kicau burung yang seolah menyanyikan lagu alam. "Di mana ini?" gumamnya tak jelas. Bibirnya terasa kering dan lidahnya kelu. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa terlalu lemah. Setiap gerakan kecil mengirimkan gelombang rasa sakit yang menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Sebelum dia bisa berbuat lebih jauh, suara lembut seorang wanita menghentikannya. "Jangan bergerak terlalu banyak, tubuhmu belum pulih sepenuhnya," katanya dengan nada penuh perhatian. Ren Jie menoleh dan tertegun melihat seorang wanita duduk di ujung ruangan. Dia mengenakan caping bambu bercadar biru yang menutupi wajahnya. Jari-jarinya yang lentik memetik senar guqin dengan keahlian yang memuka

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-05
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hutang

    Sepuluh tahun kemudian, kota Xuelian Pasar kota Xuelian, di pagi hari yang cerah, seperti biasanya mulai dipenuhi pedagang dan pembeli. Ren Hui, pedagang arak yang menyewa sebuah lapak di pinggir jalan pasar, tengah sibuk menurunkan beberapa guci arak dari gerobaknya. Suasana pasar cukup ramai pagi itu. Aroma rempah dan suara riuh rendah para pedagang serta pembeli memenuhi udara. Beberapa orang datang dan membeli araknya, mengobrol sejenak sebelum melanjutkan aktivitas mereka. "Hei jangan lari kau!" Terdengar seruan-seruan di kejauhan. Menarik perhatian para pengunjung pasar termasuk Ren Hui. Namun, dia tidak mempedulikannya dan kembali sibuk melayani para pelanggannya. Tiba-tiba saja seorang pemuda yang tengah dikejar-kejar beberapa orang menerjang gerobaknya. Guci-guci araknya pun berjatuhan dan pecah hancur. Araknya berhamburan membasahi tanah, menciptakan genangan yang memancarkan aroma tajam. Beberapa pelanggannya kabur tanpa membayar, meninggalkan Ren Hui yang terperanga

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-06

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Para Pria Berjubah Hitam

    Pria-pria berjubah hitam dengan topeng hantu yang menyeramkan itu masih berdiri di puncak bukit pasir merah, menatap iring-iringan kereta pengantin yang bergerak perlahan di kejauhan. Dari balik topeng mereka, hawa dingin seperti menetes ke udara, menyelimuti malam yang mencekam."Bagaimana dengan rumah beroda itu?" Salah satu dari mereka menunjuk ke bawah, ke arah sebuah rumah beroda yang melaju perlahan, seperti siput yang merayap di atas pasir merah yang membara."Pedagang arak itu ya?" gumam sang pemimpin dengan suara serak, nyaris seperti bisikan angin gurun. Dia meraih topeng hantunya, melepasnya dengan gerakan lamban, dan menatap rumah beroda itu lekat-lekat, seakan berusaha mengurai rahasia yang tersembunyi di balik dinding kayunya.Hingga kini, pria itu belum sepenuhnya memahami hubungan rumah beroda aneh itu dengan serangkaian peristiwa yang mengacaukan rencananya selama beberapa waktu terakhir. Yang dia tahu hanyalah bahwa pemilik rumah itu adalah seorang pedagang arak, yan

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hujan Kimcoa Di Gurun Merah

    Ren Hui mendengar keributan di luar kereta. Dengan gerakan perlahan namun waspada, ia menyibak tirai dan menatap keluar jendela. Kertas-kertas kimcoa beterbangan di udara, mengiringi aroma dupa pemakaman yang menyusup menusuk penciumannya. Hembusan angin membawa kertas-kertas itu berputar liar, seolah tarian suram kematian tengah berlangsung di langit gurun merah yang tandus. Jantungnya berdegup lebih kencang, sebuah firasat buruk menyeruak di benaknya."Pasukan Hantu Kematian," gumamnya pelan, seperti bisikan angin yang menyelip masuk ke sela-sela jendela. Namun, suara lirih itu cukup jelas untuk ditangkap oleh A Xian, gadis cantik yang duduk anggun di hadapannya.A Xian menoleh, kemudian mengalihkan pandangannya ke luar. Matanya membulat, menatap kertas-kertas kimcoa yang melayang-layang seperti hujan di tengah gurun kering. "Wah, apakah ada pemakaman di sekitar sini?" tanyanya dengan nada takjub, menatap keindahan yang kontras dengan suasana mencekam di luar.Ren Hui menyandarkan

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pengantin Dari Oasis Merah

    Iring-iringan kereta berjalan perlahan, roda-roda kayunya menggurat pasir merah yang berkilau di bawah sengatan matahari gurun. Bendera-bendera yang berkibar malas diterpa angin panas mengumumkan tujuan mereka, Baili. Di sekeliling kereta, beberapa prajurit Shenguang dan Baili berbaris dengan waspada, tombak mereka memantulkan kilau tajam sinar matahari.Di dalam salah satu kereta, Ren Hui duduk santai dengan gaya yang sama sekali tidak mencerminkan seorang "pengantin". Dari balik tirai tipis, dia menatap kosong ke luar, seolah-olah sinar matahari yang menyilaukan lebih menarik perhatian daripada situasi konyol yang menjeratnya."Tuan Ren, kaki Anda!" tegur seorang wanita muda yang duduk di hadapannya, nada suaranya setengah geli, setengah kesal.Ren Hui mengangkat wajahnya perlahan, melirik wanita itu tanpa banyak emosi, sebelum mengabaikan tegurannya. Dengan sengaja, ia tetap membiarkan kakinya bertengger di bangku kereta. Pose ini begitu bertolak belakang dengan gaun pengantin mewa

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pengantin Yang Cantik

    Tiga pria tampan itu saling berpandangan, seolah-olah ada percikan api yang terpantul di antara mereka. Debat kecil di antara mereka berlangsung dengan semangat yang tak bisa dipadamkan. Tidak ada satupun dari mereka yang tampak rela melakukan apa yang kini menjadi perdebatan sengit mereka."Bagaimana kalau kita suit saja?" usul salah satu dari mereka. Suara Song Mingyu yang penuh kegelisahan hampir terdengar seperti desahan angin yang terperangkap di celah-celah kereta pengantin milik Nona Muda Chao Ping. Song Mingyu yang sudah sejak lama ingin lepas dari peranannya, kini merasa peluang itu datang."Baiklah!" sahut dua pria lainnya serempak. Ren Hui dan Junjie pun bersiap untuk adu suit, seakan-akan mereka sedang menghidupkan kembali kegembiraan masa kecil mereka yang lama terkubur."Gunting! Batu! Kertas!" teriak mereka bersamaan dengan penuh semangat. Suara mereka memekik di udara, seperti riuhnya anak-anak yang sedang memilih teman untuk bermain petak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Xuan Yu dan Lei

    Junjie melangkah perlahan menjejak pasir merah keemasan, langkahnya begitu santai seakan dunia ini tak mampu mengusik ketenangannya. Ujung mantel birunya berkibar lembut diterpa angin gurun, memancarkan kilau di bawah sinar matahari yang garang. Perpaduan pasir merah dan mantel biru itu membentuk pemandangan indah bak lukisan alam yang hidup, seperti guratan halus tinta pada kanvas seorang maestro."Aku tahu, bukan pedagang arak yang menarik perhatianmu, tapi pria itu," bisik Lei, suaranya serupa angin yang berusaha menyusupkan rahasia. Jemarinya dengan hati-hati menunjuk sosok Junjie yang semakin mendekat.Xuan Yu tidak menanggapi. Tatapannya tak beranjak dari pria bermantel biru itu, matanya penuh dengan sorot tajam yang menelisik. Sosok yang tengah berjalan mendekat itu memancarkan aura elegan, seakan-akan waktu berhenti hanya untuk menunggunya. Ketika mantel birunya berkibar, dia tampak seperti langit yang bergemuruh tenang sebelum badai menghantam."L

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Drama Di Pagi Hari

    Tenda besar itu sunyi, lebih sunyi dari biasanya. Sinar matahari pagi menyusup perlahan melalui celah-celah kain, memantulkan bayangan lembut di atas pasir. Tidak ada jejak keramaian yang biasanya menghiasi Oasis Merah saat pagi. Suasana terasa lesu, seakan seluruh oasis tenggelam dalam tidur yang tak terganggu."Aku bosan!" seru Xuan Yu tiba-tiba, suaranya bergema di dalam tenda yang kosong. Ia menguap lebar, tubuhnya bersandar santai di kursi kayu yang sudah aus oleh waktu. Matanya menyapu ruang di sekelilingnya—tidak ada siapa pun kecuali dirinya. Zhu Ling, sang Peramal Ilahi, entah pergi ke mana. Tapi Xuan Yu tidak peduli, kesunyian sudah menjadi teman setianya."Apakah masih lama?" gumamnya, sembari bangkit berdiri. Tubuhnya digerakkan, tangan direntangkan, dan punggungnya diputar, memecah kekakuan yang terasa di setiap sendi.Beberapa hari terakhir, ia hanya bermalas-malasan di tenda itu, menjalani perannya sebagai bawahan Peramal Ilahi yang terkenal

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kita Sepakat

    Kedua pria itu kini saling menatap dalam keheningan yang nyaris terasa berat, seolah udara di antara mereka telah mengental. Pak Tua Ong muncul membawa nampan berisi teh dan camilan, memecah kesunyian. Langkahnya ringan, namun ada sesuatu dalam gerak-geriknya yang anggun, kontras dengan jubah lusuh yang dikenakannya."Anak muda, cicipilah teh merah dari Baili," katanya ramah sambil menuangkan cairan hangat berwarna merah tua ke dalam cangkir porselen. Aroma teh itu segera memenuhi udara, memancarkan keharuman yang lembut dan menenangkan, seperti embusan angin musim semi yang membawa wangi bunga mekar.Junjie menerima cangkir itu dengan hati-hati. Dia mengendus aroma teh tersebut, matanya menyipit seolah menganalisis tiap molekul harumnya. "Aromanya sangat harum. Bunga mawar?" tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.Pak Tua Ong tersenyum kecil. Sebelum dia sempat menjawab, Tuan Luo menimpali, "Baili memang dikenal sebagai penghasil bunga mawar terbes

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Apa Yang Paling Menarik?

    Tuan Luo tersenyum kecil, nyaris seperti seringai, sementara matanya yang tajam terus menelisik Junjie. Tatapan itu seakan hendak menguak lebih banyak dari apa yang disembunyikan oleh tamunya.Tuan Luo tertawa lepas, suara tawanya renyah, menggema lembut di dalam karavan yang kini lebih terang oleh cahaya pagi. Tawanya memiliki irama yang merdu, nyaris seperti melodi yang memancarkan kebebasan tanpa batas. Junjie memperhatikan, diam-diam mengakui bahwa ada sesuatu yang luar biasa dalam cara pria itu menertawakan dunia—sebuah kebebasan yang terasa asing baginya."Jadi, bagaimana?" Junjie bertanya santai, sedikit mengangkat alis setelah tawa Tuan Luo mereda. "Apakah kita hanya akan membicarakan rumor tentang kita sepanjang pagi ini?" Nada bicaranya datar namun mengandung sindiran halus, seolah mencoba mengukur reaksi pria di depannya."Oh, tentu tidak, Tuan Junjie," jawab Tuan Luo dengan nada yang sama santainya. Senyumnya kembali menghiasi wajahnya, kali in

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tidak Seperti Rumor

    Karavan itu, jika dilihat sekilas, tampak biasa saja. Sebuah gerobak besar dengan kayu kusam. Mirip dengan karavan milik pedagang atau pengelana yang kerap singgah di Oasis Merah. Namun, bagi yang jeli, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak mudah tertangkap oleh mata awam.Karavan ini tiba di tengah malam, saat angin gurun berdesir pelan, membelah keheningan. Kedatangannya yang sunyi membawa aura yang sulit diabaikan, seolah membawa rahasia yang berat namun enggan diceritakan.Junjie berjalan pelan mendekati karavan. Asap tipis mengepul dari cerobong, satu-satunya tanda kehidupan di dalamnya. Langkah kakinya melambat, lalu berhenti beberapa langkah dari pintu kayu yang tertutup rapat. Aroma samar kayu terbakar bercampur dengan angin gurun, membelai hidungnya."Hei, anak muda! Siapa yang kau cari?" Sebuah suara serak namun tegas memecah kesunyian. Junjie menoleh, mendapati seorang pria tua muncul dari balik rerumpunan pohon palem di sisi karavan. Pria tua itu mengenakan jubah lu

DMCA.com Protection Status