Debu dan pasir yang diterbangkan angin meliuk-liuk bak tarian liar, mengiringi lembaran-lembaran kertas kimcoa yang melayang di udara. Lembaran itu kembali berhamburan, menghujani iring-iringan kereta yang perlahan menuju perbatasan wilayah Kekaisaran Shenguang. Suara gemerisik kertas yang jatuh terdengar seperti bisikan-bisikan gaib, mengisi udara dengan aura ganjil."Kertas-kertas ini lagi?" Pangeran Luo mendongak, menatap langit yang hampir tertutupi serpihan kertas berwarna kuning. Namun, pandangannya kabur, terganggu oleh derasnya lembaran kimcoa yang berputar-putar di udara seperti hujan badai tanpa henti."Kakak, apa semua baik-baik saja?" A Xian bertanya. Kepala mungilnya menyembul dari jendela kereta, rambutnya berkibar seiring tiupan angin. Ada nada khawatir dalam suaranya, seolah firasat buruk tengah mengintai mereka."Aku rasa tidak." Pangeran Luo mengalihkan pandangannya, menatap adiknya dengan sorot mata tajam dan tegas. "A Xian, jaga Tuan Ren."A Xian mengangguk tanpa b
Pangeran Luo menatap intens sosok yang berdiri gagah di atas kereta dimana Ren Hui dan adiknya berada. Wajah pria itu tertutup oleh topeng hantu menakutkan, seperti bayangan malam yang mencekam harapan."Apakah benar mereka adalah Pasukan Hantu Kematian?" gumamnya pelan. Matanya cepat melirik para prajurit yang terlibat dalam pertempuran sengit dengan pria-pria berjubah hitam yang muncul tiba-tiba, seperti bayangan kegelapan yang menyerap kehidupan."Kasim Ong, tangani mereka!" serunya pada kasim kepercayaannya, suaranya lantang dan bergema. Ia segera melesat ke atap kereta, menghadapi sosok berjubah hitam yang sejak tadi hanya menyaksikan dengan tenang penuh intimidasi."Wah! Wah! Pangeran Luo, nyalimu sungguh besar!" Pria berjubah hitam itu terkekeh, suaranya terdengar dingin seperti angin malam yang menusuk tulang."Apa tujuanmu?" Pangeran Luo tak menggubris ejekan itu, pandangan tetap tajam penuh determinasi, pedangnya terarah mantap ke leher pria berjubah hitam tersebut."Tujuank
Miu Yue berdiri tegak di atas pasir merah, menatap lekat pria berjubah hitam yang berada beberapa langkah di hadapannya. Tatapan mereka bertaut tajam, seperti dua bilah pedang yang siap berbenturan. Kedua tangan mereka menggenggam pedang erat-erat, seolah-olah angin pun bisa memulai serangan kapan saja."Pangeran Liuxing, menyerahlah!" Suara Miu Yue terdengar tenang namun tegas, seperti gemuruh petir di balik awan mendung. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam nada maupun sikapnya.Pria berjubah hitam itu tertawa pelan, tawa yang terdengar lebih seperti bisikan angin di malam pekat. "Sepertinya aku tak bisa bersembunyi lagi," katanya, sambil melepas topeng hantu yang menutupi wajahnya dengan gerakan penuh kehati-hatian. Topeng itu dilemparkannya ke pasir merah, menciptakan suara kecil namun menggema dalam keheningan yang mencekam."Itu lebih baik!" Miu Yue tersenyum sinis, seperti purnama yang terhalang kabut. "Sepuluh tahun kau membohongi publik dengan kematian palsumu. Hari ini, dram
Gurun Pasir Hóngshā yang MembaraPertempuran sengit masih berkecamuk di gurun pasir Hóngshā, seolah medan itu diciptakan untuk menyimpan aroma darah dan bara dendam. Pasir merah berhamburan, menciptakan kabut tipis yang bercampur dengan serpihan kertas kimcoa dan bau menyengat dupa pemakaman. Matahari memancar garang di langit, seperti seorang penguasa tiran yang membakar segalanya tanpa belas kasihan.Denting pedang yang beradu dengan irama liar desir anak panah mencabik udara, sementara jeritan memilukan melengkapi simfoni maut di tengah keheningan gurun. Di kejauhan, suara burung nasar melengking tajam, seperti peniup sangkakala kematian, menanti pesta mereka dari jasad-jasad yang segera akan memenuhi pasir merah.Di atas bukit pasir, dua sosok berdiri mengamati medan pertempuran dari kejauhan.“Tidak ingin bergabung dalam pertempuran?” tanya sebuah suara, datar namun penuh kewaspadaan.Pria muda itu, mengenakan jubah biru, menatap wanita di sampingnya. Wanita itu, Dongfang Yu, tam
Kedua pedang itu kembali beradu, memercikkan bunga api di udara. Gema benturannya menggema di padang pasir Hóngshā yang seolah menyaksikan duel sengit tersebut dengan keheningan yang mencekam. Miu Yue terseret mundur, langkah-langkahnya meninggalkan jejak yang menggurat pasir merah. Sedangkan Liuxing, seperti badai gurun yang tak kenal ampun, maju tanpa ragu."Miu Yue, kau bukan tandinganku!" Liuxing terkekeh, suaranya serupa lolongan angin yang menggigit malam. Pedang Bintang Jatuhnya berputar, menciptakan pusaran angin yang menghisap serpihan pasir merah bercampur kertas kimcoa, menyebarkannya seperti sayap ribuan kunang-kunang dalam badai."Pusaran Badai Surgawi," gumam Miu Yue. Suaranya hampir tenggelam oleh deru angin, namun ketegangan di wajahnya tak bisa disembunyikan. Dia tahu, jurus pamungkas Sekte Pedang Langit itu bukan sekadar ancaman. Raja An Bang pernah memperingatkannya akan kedahsyatan jurus itu."Miu Yue!" Teriakan Song Mingyu me
Ren Hui tersenyum tipis, sebuah senyuman yang lebih menyerupai bayangan musim semi yang singkat. Tatapannya bertemu dengan mata obsidian pria di hadapannya, sebuah pertemuan yang penuh dengan kisah tak terucap.Meski jauh di lubuk hatinya ia masih merasakan luka dan kekecewaan, Ren Hui telah memutuskan untuk berdamai dengan kenyataan. Pria itu—sosok berjubah hitam yang tampak angkuh di tengah padang pasir merah membara—adalah orang yang pernah mengkhianatinya."Guru Liuxing, apa kabarmu?" ucapnya lembut sambil memutar payung putihnya. Langkah-langkahnya di atas pasir terasa ringan, seperti angin yang melintas tanpa jejak.Pasir merah yang panas seolah tunduk pada tekadnya. Hatinya yang dahulu penuh luka kini seperti air yang jernih, tanpa keruh masa lalu. Ren Hui telah melepaskan beban pertanyaan dan dendam yang menghantuinya selama sepuluh tahun terakhir."Aku berharap kau baik-baik saja, Guru," katanya dengan nada yang tenang, kini jaraknya hanya beberapa langkah dari pria yang pern
Pasir merah bergulung-gulung seperti naga murka, mengurung mereka dalam pusaran yang mencekam. Udara seolah kehilangan napasnya, menyisakan rasa sesak dan kekhawatiran yang merambat ke dalam jiwa para prajurit. Mata mereka yang tajam kini mulai goyah."Kakak!" A Xian berteriak panik, suaranya tertelan badai. Pangeran Luo tak terlihat di antara deburan pasir, membuat hati gadis itu seolah tertikam pisau kekhawatiran. Di sisi lain, Song Mingyu yang memapah Miu Yue merasakan hal yang sama—beban di bahunya bertambah berat oleh rasa cemas yang merayap diam-diam."Tuan Putri, jangan bergerak!" serunya lantang, mencoba memperingatkan A Xian dari bahaya yang belum sepenuhnya mereka pahami. Angin menghempas, membawa butiran pasir yang menyakiti mata dan mengaburkan pandangan."Baiklah, Tuan Muda Song!" A Xian menyahut dengan suara penuh keteguhan. Di tengah badai ini, dia tetap berdiri seperti sebatang bambu—liuknya mungkin lentur, tetapi hatinya tak tergoyahkan. "Tidak usah mengkhawatirkanku!
"Ah, Nona Zhu Ling, maafkan aku! Aku tidak sengaja!" Sebuah suara lembut penuh kepolosan terdengar, diikuti tawa kecil yang samar. Ren Hui, dengan wajah sedikit memerah, menangkap kembali kipasnya dengan cekatan.Zhu Ling tertegun. Matanya membelalak, penuh keterkejutan, menatap sosok yang kini melayang turun dengan anggun dari udara. Gaun pengantin merah yang dikenakan Ren Hui berkilauan seperti bara api yang menari di tengah angin gurun. Dia mendarat di sebelah Junjie dengan sikap santai, seolah tak ada yang lebih wajar dari itu. Dengan gerakan ringan, dia mengipasi wajahnya menggunakan kipas putih yang barusan digunakan untuk menyerang.Zhu Ling tertegun, tubuhnya membeku sejenak saat melihat sosok bergaun pengantin merah yang baru saja melayang turun dan mendarat anggun di sisi Junjie. Gaun itu berkibar perlahan, seperti nyala api yang bermain dengan angin, kontras dengan salju halus yang masih melayang di udara. Ren Hui mengangkat kipas putih di tangannya, men
Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam