Beranda / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Tangkap Aku Jika Kau Bisa

Share

Tangkap Aku Jika Kau Bisa

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-10 09:47:37

Miu Yue berdiri tegak di atas pasir merah, menatap lekat pria berjubah hitam yang berada beberapa langkah di hadapannya. Tatapan mereka bertaut tajam, seperti dua bilah pedang yang siap berbenturan. Kedua tangan mereka menggenggam pedang erat-erat, seolah-olah angin pun bisa memulai serangan kapan saja.

"Pangeran Liuxing, menyerahlah!" Suara Miu Yue terdengar tenang namun tegas, seperti gemuruh petir di balik awan mendung. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam nada maupun sikapnya.

Pria berjubah hitam itu tertawa pelan, tawa yang terdengar lebih seperti bisikan angin di malam pekat. "Sepertinya aku tak bisa bersembunyi lagi," katanya, sambil melepas topeng hantu yang menutupi wajahnya dengan gerakan penuh kehati-hatian. Topeng itu dilemparkannya ke pasir merah, menciptakan suara kecil namun menggema dalam keheningan yang mencekam.

"Itu lebih baik!" Miu Yue tersenyum sinis, seperti purnama yang terhalang kabut. "Sepuluh tahun kau membohongi publik dengan kematian palsumu. Hari ini, dram
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kau Berhak Bahagia

    Gurun Pasir Hóngshā yang MembaraPertempuran sengit masih berkecamuk di gurun pasir Hóngshā, seolah medan itu diciptakan untuk menyimpan aroma darah dan bara dendam. Pasir merah berhamburan, menciptakan kabut tipis yang bercampur dengan serpihan kertas kimcoa dan bau menyengat dupa pemakaman. Matahari memancar garang di langit, seperti seorang penguasa tiran yang membakar segalanya tanpa belas kasihan.Denting pedang yang beradu dengan irama liar desir anak panah mencabik udara, sementara jeritan memilukan melengkapi simfoni maut di tengah keheningan gurun. Di kejauhan, suara burung nasar melengking tajam, seperti peniup sangkakala kematian, menanti pesta mereka dari jasad-jasad yang segera akan memenuhi pasir merah.Di atas bukit pasir, dua sosok berdiri mengamati medan pertempuran dari kejauhan.“Tidak ingin bergabung dalam pertempuran?” tanya sebuah suara, datar namun penuh kewaspadaan.Pria muda itu, mengenakan jubah biru, menatap wanita di sampingnya. Wanita itu, Dongfang Yu, tam

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Apa Kabar Paman?

    Kedua pedang itu kembali beradu, memercikkan bunga api di udara. Gema benturannya menggema di padang pasir Hóngshā yang seolah menyaksikan duel sengit tersebut dengan keheningan yang mencekam. Miu Yue terseret mundur, langkah-langkahnya meninggalkan jejak yang menggurat pasir merah. Sedangkan Liuxing, seperti badai gurun yang tak kenal ampun, maju tanpa ragu."Miu Yue, kau bukan tandinganku!" Liuxing terkekeh, suaranya serupa lolongan angin yang menggigit malam. Pedang Bintang Jatuhnya berputar, menciptakan pusaran angin yang menghisap serpihan pasir merah bercampur kertas kimcoa, menyebarkannya seperti sayap ribuan kunang-kunang dalam badai."Pusaran Badai Surgawi," gumam Miu Yue. Suaranya hampir tenggelam oleh deru angin, namun ketegangan di wajahnya tak bisa disembunyikan. Dia tahu, jurus pamungkas Sekte Pedang Langit itu bukan sekadar ancaman. Raja An Bang pernah memperingatkannya akan kedahsyatan jurus itu."Miu Yue!" Teriakan Song Mingyu me

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Reuni Guru Dan Murid

    Ren Hui tersenyum tipis, sebuah senyuman yang lebih menyerupai bayangan musim semi yang singkat. Tatapannya bertemu dengan mata obsidian pria di hadapannya, sebuah pertemuan yang penuh dengan kisah tak terucap.Meski jauh di lubuk hatinya ia masih merasakan luka dan kekecewaan, Ren Hui telah memutuskan untuk berdamai dengan kenyataan. Pria itu—sosok berjubah hitam yang tampak angkuh di tengah padang pasir merah membara—adalah orang yang pernah mengkhianatinya."Guru Liuxing, apa kabarmu?" ucapnya lembut sambil memutar payung putihnya. Langkah-langkahnya di atas pasir terasa ringan, seperti angin yang melintas tanpa jejak.Pasir merah yang panas seolah tunduk pada tekadnya. Hatinya yang dahulu penuh luka kini seperti air yang jernih, tanpa keruh masa lalu. Ren Hui telah melepaskan beban pertanyaan dan dendam yang menghantuinya selama sepuluh tahun terakhir."Aku berharap kau baik-baik saja, Guru," katanya dengan nada yang tenang, kini jaraknya hanya beberapa langkah dari pria yang pern

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Badai Pasir

    Pasir merah bergulung-gulung seperti naga murka, mengurung mereka dalam pusaran yang mencekam. Udara seolah kehilangan napasnya, menyisakan rasa sesak dan kekhawatiran yang merambat ke dalam jiwa para prajurit. Mata mereka yang tajam kini mulai goyah."Kakak!" A Xian berteriak panik, suaranya tertelan badai. Pangeran Luo tak terlihat di antara deburan pasir, membuat hati gadis itu seolah tertikam pisau kekhawatiran. Di sisi lain, Song Mingyu yang memapah Miu Yue merasakan hal yang sama—beban di bahunya bertambah berat oleh rasa cemas yang merayap diam-diam."Tuan Putri, jangan bergerak!" serunya lantang, mencoba memperingatkan A Xian dari bahaya yang belum sepenuhnya mereka pahami. Angin menghempas, membawa butiran pasir yang menyakiti mata dan mengaburkan pandangan."Baiklah, Tuan Muda Song!" A Xian menyahut dengan suara penuh keteguhan. Di tengah badai ini, dia tetap berdiri seperti sebatang bambu—liuknya mungkin lentur, tetapi hatinya tak tergoyahkan. "Tidak usah mengkhawatirkanku!

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Siapa Yang Akan Bertahan Hidup?

    "Ah, Nona Zhu Ling, maafkan aku! Aku tidak sengaja!" Sebuah suara lembut penuh kepolosan terdengar, diikuti tawa kecil yang samar. Ren Hui, dengan wajah sedikit memerah, menangkap kembali kipasnya dengan cekatan.Zhu Ling tertegun. Matanya membelalak, penuh keterkejutan, menatap sosok yang kini melayang turun dengan anggun dari udara. Gaun pengantin merah yang dikenakan Ren Hui berkilauan seperti bara api yang menari di tengah angin gurun. Dia mendarat di sebelah Junjie dengan sikap santai, seolah tak ada yang lebih wajar dari itu. Dengan gerakan ringan, dia mengipasi wajahnya menggunakan kipas putih yang barusan digunakan untuk menyerang.Zhu Ling tertegun, tubuhnya membeku sejenak saat melihat sosok bergaun pengantin merah yang baru saja melayang turun dan mendarat anggun di sisi Junjie. Gaun itu berkibar perlahan, seperti nyala api yang bermain dengan angin, kontras dengan salju halus yang masih melayang di udara. Ren Hui mengangkat kipas putih di tangannya, men

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pertarungan Di Menara Tianxia

    Kota Tianxia, Kekaisaran Shenguang tahun ke-20 TianjianDi atas menara kota Tianxia, dua orang jagoan pedang berdiri saling berhadapan. Ren Jie, Dewa Pedang dari sekte Pedang Langit, menatap tajam ke arah lawannya. Di hadapannya, Wang Jiang, putra penguasa Kota Tianxia yang dijuluki sebagai Raja Pedang, memegang pedangnya dengan penuh keyakinan.Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga plum yang mekar di sekitar menara. Suara gemerisik daun terdengar samar, seolah menjadi saksi bisu dari pertarungan yang akan segera dimulai. Di bawah sinar bulan yang pucat, kedua pedang itu berkilauan, mencerminkan tekad dan ambisi pemiliknya."Ren Jie, sudah lama aku menantikan saat ini," kata Wang Jiang dengan suara rendah namun penuh determinasi. "Hari ini, kita akan menentukan siapa yang layak menyandang gelar Raja Pedang di Shenguang."Ren Jie hanya tersenyum tipis. "Aku tidak pernah menginginkan gelar itu, Wang Jiang. Aku datang ke Tianxia untuk mencari jawaban atas kematian guruku dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-04
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tak Berdaya

    Lembah Obat, beberapa bulan kemudian Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah dinding gubuk sederhana, menciptakan pola cahaya yang menari di lantai kayu. Ren Jie terbangun perlahan, matanya yang lelah berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya. Di kejauhan, terdengar alunan guqin yang merdu, berpadu dengan kicau burung yang seolah menyanyikan lagu alam. "Di mana ini?" gumamnya tak jelas. Bibirnya terasa kering dan lidahnya kelu. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa terlalu lemah. Setiap gerakan kecil mengirimkan gelombang rasa sakit yang menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Sebelum dia bisa berbuat lebih jauh, suara lembut seorang wanita menghentikannya. "Jangan bergerak terlalu banyak, tubuhmu belum pulih sepenuhnya," katanya dengan nada penuh perhatian. Ren Jie menoleh dan tertegun melihat seorang wanita duduk di ujung ruangan. Dia mengenakan caping bambu bercadar biru yang menutupi wajahnya. Jari-jarinya yang lentik memetik senar guqin dengan keahlian yang memuka

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-05
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hutang

    Sepuluh tahun kemudian, kota Xuelian Pasar kota Xuelian, di pagi hari yang cerah, seperti biasanya mulai dipenuhi pedagang dan pembeli. Ren Hui, pedagang arak yang menyewa sebuah lapak di pinggir jalan pasar, tengah sibuk menurunkan beberapa guci arak dari gerobaknya. Suasana pasar cukup ramai pagi itu. Aroma rempah dan suara riuh rendah para pedagang serta pembeli memenuhi udara. Beberapa orang datang dan membeli araknya, mengobrol sejenak sebelum melanjutkan aktivitas mereka. "Hei jangan lari kau!" Terdengar seruan-seruan di kejauhan. Menarik perhatian para pengunjung pasar termasuk Ren Hui. Namun, dia tidak mempedulikannya dan kembali sibuk melayani para pelanggannya. Tiba-tiba saja seorang pemuda yang tengah dikejar-kejar beberapa orang menerjang gerobaknya. Guci-guci araknya pun berjatuhan dan pecah hancur. Araknya berhamburan membasahi tanah, menciptakan genangan yang memancarkan aroma tajam. Beberapa pelanggannya kabur tanpa membayar, meninggalkan Ren Hui yang terperanga

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-06

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Siapa Yang Akan Bertahan Hidup?

    "Ah, Nona Zhu Ling, maafkan aku! Aku tidak sengaja!" Sebuah suara lembut penuh kepolosan terdengar, diikuti tawa kecil yang samar. Ren Hui, dengan wajah sedikit memerah, menangkap kembali kipasnya dengan cekatan.Zhu Ling tertegun. Matanya membelalak, penuh keterkejutan, menatap sosok yang kini melayang turun dengan anggun dari udara. Gaun pengantin merah yang dikenakan Ren Hui berkilauan seperti bara api yang menari di tengah angin gurun. Dia mendarat di sebelah Junjie dengan sikap santai, seolah tak ada yang lebih wajar dari itu. Dengan gerakan ringan, dia mengipasi wajahnya menggunakan kipas putih yang barusan digunakan untuk menyerang.Zhu Ling tertegun, tubuhnya membeku sejenak saat melihat sosok bergaun pengantin merah yang baru saja melayang turun dan mendarat anggun di sisi Junjie. Gaun itu berkibar perlahan, seperti nyala api yang bermain dengan angin, kontras dengan salju halus yang masih melayang di udara. Ren Hui mengangkat kipas putih di tangannya, men

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Badai Pasir

    Pasir merah bergulung-gulung seperti naga murka, mengurung mereka dalam pusaran yang mencekam. Udara seolah kehilangan napasnya, menyisakan rasa sesak dan kekhawatiran yang merambat ke dalam jiwa para prajurit. Mata mereka yang tajam kini mulai goyah."Kakak!" A Xian berteriak panik, suaranya tertelan badai. Pangeran Luo tak terlihat di antara deburan pasir, membuat hati gadis itu seolah tertikam pisau kekhawatiran. Di sisi lain, Song Mingyu yang memapah Miu Yue merasakan hal yang sama—beban di bahunya bertambah berat oleh rasa cemas yang merayap diam-diam."Tuan Putri, jangan bergerak!" serunya lantang, mencoba memperingatkan A Xian dari bahaya yang belum sepenuhnya mereka pahami. Angin menghempas, membawa butiran pasir yang menyakiti mata dan mengaburkan pandangan."Baiklah, Tuan Muda Song!" A Xian menyahut dengan suara penuh keteguhan. Di tengah badai ini, dia tetap berdiri seperti sebatang bambu—liuknya mungkin lentur, tetapi hatinya tak tergoyahkan. "Tidak usah mengkhawatirkanku!

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Reuni Guru Dan Murid

    Ren Hui tersenyum tipis, sebuah senyuman yang lebih menyerupai bayangan musim semi yang singkat. Tatapannya bertemu dengan mata obsidian pria di hadapannya, sebuah pertemuan yang penuh dengan kisah tak terucap.Meski jauh di lubuk hatinya ia masih merasakan luka dan kekecewaan, Ren Hui telah memutuskan untuk berdamai dengan kenyataan. Pria itu—sosok berjubah hitam yang tampak angkuh di tengah padang pasir merah membara—adalah orang yang pernah mengkhianatinya."Guru Liuxing, apa kabarmu?" ucapnya lembut sambil memutar payung putihnya. Langkah-langkahnya di atas pasir terasa ringan, seperti angin yang melintas tanpa jejak.Pasir merah yang panas seolah tunduk pada tekadnya. Hatinya yang dahulu penuh luka kini seperti air yang jernih, tanpa keruh masa lalu. Ren Hui telah melepaskan beban pertanyaan dan dendam yang menghantuinya selama sepuluh tahun terakhir."Aku berharap kau baik-baik saja, Guru," katanya dengan nada yang tenang, kini jaraknya hanya beberapa langkah dari pria yang pern

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Apa Kabar Paman?

    Kedua pedang itu kembali beradu, memercikkan bunga api di udara. Gema benturannya menggema di padang pasir Hóngshā yang seolah menyaksikan duel sengit tersebut dengan keheningan yang mencekam. Miu Yue terseret mundur, langkah-langkahnya meninggalkan jejak yang menggurat pasir merah. Sedangkan Liuxing, seperti badai gurun yang tak kenal ampun, maju tanpa ragu."Miu Yue, kau bukan tandinganku!" Liuxing terkekeh, suaranya serupa lolongan angin yang menggigit malam. Pedang Bintang Jatuhnya berputar, menciptakan pusaran angin yang menghisap serpihan pasir merah bercampur kertas kimcoa, menyebarkannya seperti sayap ribuan kunang-kunang dalam badai."Pusaran Badai Surgawi," gumam Miu Yue. Suaranya hampir tenggelam oleh deru angin, namun ketegangan di wajahnya tak bisa disembunyikan. Dia tahu, jurus pamungkas Sekte Pedang Langit itu bukan sekadar ancaman. Raja An Bang pernah memperingatkannya akan kedahsyatan jurus itu."Miu Yue!" Teriakan Song Mingyu me

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kau Berhak Bahagia

    Gurun Pasir Hóngshā yang MembaraPertempuran sengit masih berkecamuk di gurun pasir Hóngshā, seolah medan itu diciptakan untuk menyimpan aroma darah dan bara dendam. Pasir merah berhamburan, menciptakan kabut tipis yang bercampur dengan serpihan kertas kimcoa dan bau menyengat dupa pemakaman. Matahari memancar garang di langit, seperti seorang penguasa tiran yang membakar segalanya tanpa belas kasihan.Denting pedang yang beradu dengan irama liar desir anak panah mencabik udara, sementara jeritan memilukan melengkapi simfoni maut di tengah keheningan gurun. Di kejauhan, suara burung nasar melengking tajam, seperti peniup sangkakala kematian, menanti pesta mereka dari jasad-jasad yang segera akan memenuhi pasir merah.Di atas bukit pasir, dua sosok berdiri mengamati medan pertempuran dari kejauhan.“Tidak ingin bergabung dalam pertempuran?” tanya sebuah suara, datar namun penuh kewaspadaan.Pria muda itu, mengenakan jubah biru, menatap wanita di sampingnya. Wanita itu, Dongfang Yu, tam

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tangkap Aku Jika Kau Bisa

    Miu Yue berdiri tegak di atas pasir merah, menatap lekat pria berjubah hitam yang berada beberapa langkah di hadapannya. Tatapan mereka bertaut tajam, seperti dua bilah pedang yang siap berbenturan. Kedua tangan mereka menggenggam pedang erat-erat, seolah-olah angin pun bisa memulai serangan kapan saja."Pangeran Liuxing, menyerahlah!" Suara Miu Yue terdengar tenang namun tegas, seperti gemuruh petir di balik awan mendung. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam nada maupun sikapnya.Pria berjubah hitam itu tertawa pelan, tawa yang terdengar lebih seperti bisikan angin di malam pekat. "Sepertinya aku tak bisa bersembunyi lagi," katanya, sambil melepas topeng hantu yang menutupi wajahnya dengan gerakan penuh kehati-hatian. Topeng itu dilemparkannya ke pasir merah, menciptakan suara kecil namun menggema dalam keheningan yang mencekam."Itu lebih baik!" Miu Yue tersenyum sinis, seperti purnama yang terhalang kabut. "Sepuluh tahun kau membohongi publik dengan kematian palsumu. Hari ini, dram

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pertarungan Baru Saja Dimulai

    Pangeran Luo menatap intens sosok yang berdiri gagah di atas kereta dimana Ren Hui dan adiknya berada. Wajah pria itu tertutup oleh topeng hantu menakutkan, seperti bayangan malam yang mencekam harapan."Apakah benar mereka adalah Pasukan Hantu Kematian?" gumamnya pelan. Matanya cepat melirik para prajurit yang terlibat dalam pertempuran sengit dengan pria-pria berjubah hitam yang muncul tiba-tiba, seperti bayangan kegelapan yang menyerap kehidupan."Kasim Ong, tangani mereka!" serunya pada kasim kepercayaannya, suaranya lantang dan bergema. Ia segera melesat ke atap kereta, menghadapi sosok berjubah hitam yang sejak tadi hanya menyaksikan dengan tenang penuh intimidasi."Wah! Wah! Pangeran Luo, nyalimu sungguh besar!" Pria berjubah hitam itu terkekeh, suaranya terdengar dingin seperti angin malam yang menusuk tulang."Apa tujuanmu?" Pangeran Luo tak menggubris ejekan itu, pandangan tetap tajam penuh determinasi, pedangnya terarah mantap ke leher pria berjubah hitam tersebut."Tujuank

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Serangan Mendadak

    Debu dan pasir yang diterbangkan angin meliuk-liuk bak tarian liar, mengiringi lembaran-lembaran kertas kimcoa yang melayang di udara. Lembaran itu kembali berhamburan, menghujani iring-iringan kereta yang perlahan menuju perbatasan wilayah Kekaisaran Shenguang. Suara gemerisik kertas yang jatuh terdengar seperti bisikan-bisikan gaib, mengisi udara dengan aura ganjil."Kertas-kertas ini lagi?" Pangeran Luo mendongak, menatap langit yang hampir tertutupi serpihan kertas berwarna kuning. Namun, pandangannya kabur, terganggu oleh derasnya lembaran kimcoa yang berputar-putar di udara seperti hujan badai tanpa henti."Kakak, apa semua baik-baik saja?" A Xian bertanya. Kepala mungilnya menyembul dari jendela kereta, rambutnya berkibar seiring tiupan angin. Ada nada khawatir dalam suaranya, seolah firasat buruk tengah mengintai mereka."Aku rasa tidak." Pangeran Luo mengalihkan pandangannya, menatap adiknya dengan sorot mata tajam dan tegas. "A Xian, jaga Tuan Ren."A Xian mengangguk tanpa b

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Para Pria Berjubah Hitam

    Pria-pria berjubah hitam dengan topeng hantu yang menyeramkan itu masih berdiri di puncak bukit pasir merah, menatap iring-iringan kereta pengantin yang bergerak perlahan di kejauhan. Dari balik topeng mereka, hawa dingin seperti menetes ke udara, menyelimuti malam yang mencekam."Bagaimana dengan rumah beroda itu?" Salah satu dari mereka menunjuk ke bawah, ke arah sebuah rumah beroda yang melaju perlahan, seperti siput yang merayap di atas pasir merah yang membara."Pedagang arak itu ya?" gumam sang pemimpin dengan suara serak, nyaris seperti bisikan angin gurun. Dia meraih topeng hantunya, melepasnya dengan gerakan lamban, dan menatap rumah beroda itu lekat-lekat, seakan berusaha mengurai rahasia yang tersembunyi di balik dinding kayunya.Hingga kini, pria itu belum sepenuhnya memahami hubungan rumah beroda aneh itu dengan serangkaian peristiwa yang mengacaukan rencananya selama beberapa waktu terakhir. Yang dia tahu hanyalah bahwa pemilik rumah itu adalah seorang pedagang arak, yan

DMCA.com Protection Status