Beranda / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Pertarungan Di Gurun Merah 1

Share

Pertarungan Di Gurun Merah 1

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-13 15:50:59

Junjie dan Ren Hui saling berpandangan, diam dalam kerangka waktu yang terasa membeku. Ini bukan pertama kalinya mereka harus menghadapi pertarungan bersama, meskipun momen seperti ini jarang terjadi. Hidup mereka, seperti dua sungai berbeda, mengalir di jalur yang tak pernah bersinggungan kecuali saat menghadapi musuh-musuh mereka.

Junjie lebih sering bergulat dengan dunia politik dan pertempuran besar di medan perang, tempat strategi dan kekuatan militer saling bertaut. Sebaliknya, Ren Hui hidup di bawah bayang-bayang duel maut, bertarung satu lawan satu dengan ahli beladiri atau murid-murid sekte lain. Dunia mereka bertolak belakang, tetapi hari ini garis nasib mempertemukan mereka kembali.

“Bertarung atau kabur?” Ren Hui bertanya santai, memutar payung di tangannya dengan gerakan malas, seakan badai pasir yang mengancam itu hanyalah angin musim semi.

“Menurutmu?” Junjie balas bertanya, suaranya serupa desau angin dingin yang menggugurkan daun-daun terakhir. Dia mengibaskan lengan
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pertarungan Di Gurun Merah 2

    Ren Hui dan Liuxing kini benar-benar berhadapan di tengah hamparan gurun pasir merah yang menderu diterpa angin. Matahari menggantung rendah di langit, menciptakan kilauan tembaga di atas pasir yang seolah menyala. Kedua pria itu berdiri diam sejenak, ketegangan melingkupi mereka seperti senar busur yang ditarik hingga hampir putus.Liuxing, dengan tatapan dinginnya, tak ingin membuang waktu. Tanpa sepatah kata, dia melancarkan serangan pertama. Pedang Bintang Jatuh di tangannya menyambar seperti badai musim gugur, menciptakan gelombang energi yang menghantam gurun. Pasir berhamburan ke udara, berputar seperti topan kecil yang melenyapkan batas antara langit dan bumi. Tanah bergemuruh seolah naga kuno bangkit dari tidurnya.Ren Hui bergerak cepat, tubuhnya melompat dengan kelincahan seekor kijang yang melintasi jurang.Pasir merah beterbangan, menciptakan kabut yang menutupi pertarungan. Di kejauhan, para saksi hanya bisa menyipitkan mata, berusaha menembus tirai debu."Junjie! Menjau

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Di Tengah Badai Pasir

    “Badai pasir,” gumam Miu Yue, suaranya bergetar di antara desau angin yang menderu-deru. Kekhawatiran terpancar jelas dari sorot matanya yang sempat melirik horizon yang perlahan memerah. Tanpa sadar, dia menggenggam erat lengan Song Mingyu, seperti mencari kekuatan dalam kegentingan. Sentuhan dingin jemarinya segera disambut kehangatan tangan pemuda itu, yang diam-diam berusaha menenangkan ketakutannya.Gemuruh angin yang membawa pasir merah bergulung-gulung laksana naga yang menari liar di cakrawala. Ini bukan sekadar ancaman sepele, tetapi fenomena alam yang mampu melahap seluruh kehidupan yang berdiri di hadapannya. Bukit pasir berguguran, lalu terbentuk kembali dengan wujud yang baru—seolah gurun ini hidup, berubah dengan setiap hempasan badai.“Berlindung di balik kereta!” Miu Yue dan Kasim Ong berteriak bersamaan.Tanpa membuang waktu, para prajurit berlarian ke balik kereta-kereta berat yang penuh dengan barang bawaan. Kereta-kereta itu,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Meteor Di Gurun Merah

    Ren Hui mengangkat Pedang Bintang Ilusi tinggi-tinggi, mata pedang itu bersinar dingin, siap menyambar lawannya dengan kekuatan tak terbayangkan. Liuxing, tak kalah sigap, memposisikan Pedang Bintang Jatuhnya. Dengan setiap gerakan tubuhnya, pedang itu memancarkan aura seperti sebuah bintang yang siap runtuh ke bumi.Junjie, yang telah beberapa saat menghindar dari serangan Xuan Yu, merasa gelisah. Meski tidak berniat membalas serangan, tatapannya terarah penuh kecemasan pada pertarungan Ren Hui dan Liuxing. "Celaka! Jika keduanya mengeluarkan serangan meteor, gurun ini akan hancur lebur," gumamnya dalam hati, menatap badai pasir yang semakin mengganas."Menyingkir!" Tanpa berpikir panjang, Junjie berteriak, suaranya menggema di tengah hutan pasir yang bergulung. "Semua, cepat menjauh!"Kekhawatiran Junjie berubah menjadi kenyataan. Pedang Ren Hui berkelebat cepat, seakan-akan meteorit yang meluncur dari langit, menembus keheningan udara yang kian mencekam

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pertarungan Berakhir

    Junjie menjadi sasaran utama serangan Liuxing. Pedang Bintang Jatuh milik Liuxing menderu, menghunus udara dengan kilatan seperti sambaran petir. Tanpa ragu, Junjie menarik tubuh Ren Hui, memindahkannya dari lintasan maut itu. Pada saat yang sama, Dongfang Yu bergerak bagaikan bayangan. Serulingnya terangkat, dan dengan satu sapuan cepat, dia menangkis serangan Liuxing. Gerakannya yang lincah menyerupai tarian musim semi, menyapu langkah Liuxing hingga pria itu terpaksa mundur. "Wah! Ini curang, Nona Dongfang Yu!" Sebuah suara keras memecah ketegangan. Zhu Ling, diikuti Xuan Yu serta Pasukan Hantu Kematian, telah mengepung Dongfang Yu. "Oh, curang, ya?" Dongfang Yu terkekeh kecil, suaranya seperti lonceng perak di malam gelap. "Tadi memang aku berniat curang. Tapi sekarang, rasanya kalian yang mencurangiku." Senyumnya menggantung dingin, dan dia kembali meniup serulingnya. Nada seruling itu melengking tajam, menghunjam tel

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kenapa Kalian Tidak Membunuhnya?

    Malam di Oasis Merah terasa seperti sebuah kanvas gelap yang dilukis dengan ketegangan. Setelah pertempuran sengit di perbatasan, keheningan menggantikan gemuruh perang, namun bukan kedamaian yang hadir—melainkan bayangan ancaman yang membekap udara. Kedua belah pihak mundur dengan luka masing-masing, menyisakan jejak pertempuran yang masih menguar di antara angin padang pasir.Pasukan Jenderal Miu Yue kembali ke Oasis Merah, diikuti oleh Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu. Di sisi lain, Pangeran Luo membawa pasukannya ke perbatasan, sementara Pasukan Hantu Kematian menghilang tanpa jejak, terkubur dalam badai pasir yang diciptakan Zhu Ling.Di dalam rumah beroda, api lentera yang bergoyang lembut diterpa angin malam menghangatkan suasana yang sedikit muram. Song Mingyu menatap Junjie dengan pandangan penuh tanya. Hening malam diselingi bunyiangin yang terasa lebih nyaring dari biasanya. "Apakah ini hasil yang kau inginkan?" tanyanya akhirnya, memecah kehen

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ibukota Yang Sepi

    Ibukota Kekaisaran Shenguang dalam beberapa hari ini terasa sunyi. Hanya derap langkah prajurit berpatroli yang memecah keheningan lorong-lorong kota di jam-jam tertentu. Udara pagi menghembuskan hawa dingin, membawa serta aroma lembab dari batu-batu jalanan yang jarang terinjak. Para penduduk menjalani hidup penuh tekanan, tak berani beraktivitas seperti biasanya. Lorong-lorong yang dulu ramai kini tampak lengang, bagaikan labirin batu yang kosong.Namun, sesekali ada sedikit kelonggaran. Penduduk diizinkan membuka toko atau berdagang, meski hanya dalam waktu dan ruang yang terbatas. Di bawah pengawasan ketat para prajurit. Suasana tetap terkendali, langkah-langkah mereka terasa berat seolah takut menimbulkan gema yang bisa mengundang bahaya."Masih terkendali, bukan, Tuan Han Jin?" Mo Yuan, orang kepercayaan Chu Wang, menatap lurus pria yang berkuda di sampingnya. Sorot matanya dingin, seperti batu giok tanpa cela, mengamati situasi kota dengan kewaspadaan tinggi

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ukiran Bi’an Hua di Peti Mati Giok Lavender

    Rumah beroda itu berderak pelan meninggalkan Oasis Merah, sebuah tempat peristirahatan yang sunyi di tengah bentangan pasir. Mentari pagi baru saja menyembul di cakrawala, menyapu gurun dengan semburat jingga. Para penghuni tenda-tenda dan karavan masih terlelap, terlindung dari dinginnya pagi. Hanya derak roda dan deru angin gurun yang menemani perjalanan itu.Song Mingyu mengendalikan rumah beroda dengan hati-hati, ditemani Baihua, rubah putih yang setia menempel di sisinya. Di samping mereka, keledai hitam bernama Lobak berjalan perlahan, menggerutu dengan dengusan-dengusan kecil."Sudahlah, Lobak! Kau jangan merajuk lagi," tegur Song Mingyu dengan nada geli sambil melirik keledai yang tampak cemberut. Dia terkekeh, seakan keledai itu mengerti.Meski pasir merah yang bergulung-gulung di bawah roda kerap membuat perjalanan terseok-seok, rumah beroda itu terus melaju. Lobak, meski tak puas, tetap setia mengikuti di sisi, tanpa ada niat sedikit pun untuk m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Lagu Merdu Di Tengah Gurun Merah

    Miu Yue duduk tegap di atas kudanya, sorot matanya tak lepas dari rumah beroda yang perlahan menjauh, menembus cakrawala Oasis Merah. Gurun yang tadinya tampak begitu luas kini terasa sempit oleh perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Rumah beroda itu semakin mengecil, hingga akhirnya hanya menjadi titik di kejauhan. Perasaan pedih seperti dicubit keras merambat dalam dadanya.“Jenderal Miu,” suara lembut memecah lamunannya. Sosok wanita berhanfu putih berdiri tak jauh darinya, menyisir angin gurun yang membelai wajahnya.Miu Yue menoleh, berusaha menyunggingkan senyum, meski hambar. “Nona Dongfang, kenapa Anda tidak ikut bersama mereka?” tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar, matanya mengamati wanita di depannya yang tampak seolah tidak terpengaruh oleh suasana.Dongfang Yu, wanita cantik berwajah tenang itu, tersenyum samar. “Arah dan tujuan kami berbeda,” jawabnya, suaranya selembut tiupan angin yang membawa debu pasir. “Namun, kami sudah sepakat untuk bertemu di Kota Yuzhu.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Selama Dunia Masih Mengijinkan

    Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kabar-kabar Gembira Di Kekaisaran Shenguang

    Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kembalinya Sang Dewa Pedang

    Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status