Share

Aku Tahu

Author: Aspasya
last update Last Updated: 2025-01-04 17:00:03

Song Mingyu merasa sebuah kesedihan menyelimuti hatinya. Namun, ia tak mampu menahan perasaannya. Ada sesuatu yang menggigit dalam dirinya, sebuah ketakutan yang entah berasal dari mana. Ia takut, takut bahwa Ren Hui benar-benar akan kehilangan penglihatannya. Ketika bayangan kegelisahan menyelimutinya, sebuah percakapan yang telah lama terlupakan kembali menghampirinya, membawa hembusan angin masa lalu.

Tiba-tiba, wajah Nyonya Su Yang, ibunya, muncul di benaknya. Percakapan mereka sebelum dirinya meninggalkan Lingyun untuk menyusul Ren Hui dan Junjie, datang dengan jelas.

"Mingyu, jangan terlalu memikirkan apa yang kau dengar tadi," kata ibunya lembut, mencoba menenangkan keresahan di dalam hatinya. Suara Nyonya Su Yang, seperti musik yang menenangkan, tak dapat menepis ketegangan yang tumbuh dalam dada Song Mingyu. Ia mengingat dengan jelas percakapan yang tanpa sengaja ia dengar antara Dewa Obat dan ibunya.

"Aku... aku tidak memikirkan hal itu, Ibu," ja
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hari Yang Berbeda Di Oasis Merah

    Suasana di Oasis Merah hari ini terasa tak biasa. Udara yang biasanya dipenuhi tawa para pedagang dan derit roda gerobak kini diwarnai ketegangan samar. Para prajurit sibuk mondar-mandir sejak fajar merekah, seperti semut yang tak henti bekerja.Mereka meminta para pedagang, pengelana, dan penduduk setempat untuk menjauhi sebuah tenda besar di tengah oasis. Tempat itu biasanya menjadi pusat peristirahatan yang ramai, tetapi kini diubah menjadi area tertutup yang dijaga ketat. Para prajurit mengarahkan aktivitas ke tempat lain, meskipun masih di sekitar oasis.Dari teras rumah beroda, Ren Hui berdiri bersama Junjie, mengamati kesibukan di bawah mereka. Sinar mentari memantulkan warna merah pasir, seperti darah yang tersembunyi dalam debu waktu."Kau baik-baik saja?" Junjie bertanya, suaranya rendah namun sarat kekhawatiran. Matanya, yang biasanya malas menatap dunia, kini memancarkan keseriusan.Ren Hui tersenyum cerah, seperti mentari musim semi yang menembus kabut. "Aku baik-baik saj

    Last Updated : 2025-01-05
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tidak Seperti Rumor

    Karavan itu, jika dilihat sekilas, tampak biasa saja. Sebuah gerobak besar dengan kayu kusam. Mirip dengan karavan milik pedagang atau pengelana yang kerap singgah di Oasis Merah. Namun, bagi yang jeli, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak mudah tertangkap oleh mata awam.Karavan ini tiba di tengah malam, saat angin gurun berdesir pelan, membelah keheningan. Kedatangannya yang sunyi membawa aura yang sulit diabaikan, seolah membawa rahasia yang berat namun enggan diceritakan.Junjie berjalan pelan mendekati karavan. Asap tipis mengepul dari cerobong, satu-satunya tanda kehidupan di dalamnya. Langkah kakinya melambat, lalu berhenti beberapa langkah dari pintu kayu yang tertutup rapat. Aroma samar kayu terbakar bercampur dengan angin gurun, membelai hidungnya."Hei, anak muda! Siapa yang kau cari?" Sebuah suara serak namun tegas memecah kesunyian. Junjie menoleh, mendapati seorang pria tua muncul dari balik rerumpunan pohon palem di sisi karavan. Pria tua itu mengenakan jubah lu

    Last Updated : 2025-01-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Apa Yang Paling Menarik?

    Tuan Luo tersenyum kecil, nyaris seperti seringai, sementara matanya yang tajam terus menelisik Junjie. Tatapan itu seakan hendak menguak lebih banyak dari apa yang disembunyikan oleh tamunya.Tuan Luo tertawa lepas, suara tawanya renyah, menggema lembut di dalam karavan yang kini lebih terang oleh cahaya pagi. Tawanya memiliki irama yang merdu, nyaris seperti melodi yang memancarkan kebebasan tanpa batas. Junjie memperhatikan, diam-diam mengakui bahwa ada sesuatu yang luar biasa dalam cara pria itu menertawakan dunia—sebuah kebebasan yang terasa asing baginya."Jadi, bagaimana?" Junjie bertanya santai, sedikit mengangkat alis setelah tawa Tuan Luo mereda. "Apakah kita hanya akan membicarakan rumor tentang kita sepanjang pagi ini?" Nada bicaranya datar namun mengandung sindiran halus, seolah mencoba mengukur reaksi pria di depannya."Oh, tentu tidak, Tuan Junjie," jawab Tuan Luo dengan nada yang sama santainya. Senyumnya kembali menghiasi wajahnya, kali in

    Last Updated : 2025-01-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kita Sepakat

    Kedua pria itu kini saling menatap dalam keheningan yang nyaris terasa berat, seolah udara di antara mereka telah mengental. Pak Tua Ong muncul membawa nampan berisi teh dan camilan, memecah kesunyian. Langkahnya ringan, namun ada sesuatu dalam gerak-geriknya yang anggun, kontras dengan jubah lusuh yang dikenakannya."Anak muda, cicipilah teh merah dari Baili," katanya ramah sambil menuangkan cairan hangat berwarna merah tua ke dalam cangkir porselen. Aroma teh itu segera memenuhi udara, memancarkan keharuman yang lembut dan menenangkan, seperti embusan angin musim semi yang membawa wangi bunga mekar.Junjie menerima cangkir itu dengan hati-hati. Dia mengendus aroma teh tersebut, matanya menyipit seolah menganalisis tiap molekul harumnya. "Aromanya sangat harum. Bunga mawar?" tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.Pak Tua Ong tersenyum kecil. Sebelum dia sempat menjawab, Tuan Luo menimpali, "Baili memang dikenal sebagai penghasil bunga mawar terbes

    Last Updated : 2025-01-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pertarungan Di Menara Tianxia

    Kota Tianxia, Kekaisaran Shenguang tahun ke-20 TianjianDi atas menara kota Tianxia, dua orang jagoan pedang berdiri saling berhadapan. Ren Jie, Dewa Pedang dari sekte Pedang Langit, menatap tajam ke arah lawannya. Di hadapannya, Wang Jiang, putra penguasa Kota Tianxia yang dijuluki sebagai Raja Pedang, memegang pedangnya dengan penuh keyakinan.Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga plum yang mekar di sekitar menara. Suara gemerisik daun terdengar samar, seolah menjadi saksi bisu dari pertarungan yang akan segera dimulai. Di bawah sinar bulan yang pucat, kedua pedang itu berkilauan, mencerminkan tekad dan ambisi pemiliknya."Ren Jie, sudah lama aku menantikan saat ini," kata Wang Jiang dengan suara rendah namun penuh determinasi. "Hari ini, kita akan menentukan siapa yang layak menyandang gelar Raja Pedang di Shenguang."Ren Jie hanya tersenyum tipis. "Aku tidak pernah menginginkan gelar itu, Wang Jiang. Aku datang ke Tianxia untuk mencari jawaban atas kematian guruku dan

    Last Updated : 2024-08-04
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tak Berdaya

    Lembah Obat, beberapa bulan kemudian Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah dinding gubuk sederhana, menciptakan pola cahaya yang menari di lantai kayu. Ren Jie terbangun perlahan, matanya yang lelah berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya. Di kejauhan, terdengar alunan guqin yang merdu, berpadu dengan kicau burung yang seolah menyanyikan lagu alam. "Di mana ini?" gumamnya tak jelas. Bibirnya terasa kering dan lidahnya kelu. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa terlalu lemah. Setiap gerakan kecil mengirimkan gelombang rasa sakit yang menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Sebelum dia bisa berbuat lebih jauh, suara lembut seorang wanita menghentikannya. "Jangan bergerak terlalu banyak, tubuhmu belum pulih sepenuhnya," katanya dengan nada penuh perhatian. Ren Jie menoleh dan tertegun melihat seorang wanita duduk di ujung ruangan. Dia mengenakan caping bambu bercadar biru yang menutupi wajahnya. Jari-jarinya yang lentik memetik senar guqin dengan keahlian yang memuka

    Last Updated : 2024-08-05
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hutang

    Sepuluh tahun kemudian, kota Xuelian Pasar kota Xuelian, di pagi hari yang cerah, seperti biasanya mulai dipenuhi pedagang dan pembeli. Ren Hui, pedagang arak yang menyewa sebuah lapak di pinggir jalan pasar, tengah sibuk menurunkan beberapa guci arak dari gerobaknya. Suasana pasar cukup ramai pagi itu. Aroma rempah dan suara riuh rendah para pedagang serta pembeli memenuhi udara. Beberapa orang datang dan membeli araknya, mengobrol sejenak sebelum melanjutkan aktivitas mereka. "Hei jangan lari kau!" Terdengar seruan-seruan di kejauhan. Menarik perhatian para pengunjung pasar termasuk Ren Hui. Namun, dia tidak mempedulikannya dan kembali sibuk melayani para pelanggannya. Tiba-tiba saja seorang pemuda yang tengah dikejar-kejar beberapa orang menerjang gerobaknya. Guci-guci araknya pun berjatuhan dan pecah hancur. Araknya berhamburan membasahi tanah, menciptakan genangan yang memancarkan aroma tajam. Beberapa pelanggannya kabur tanpa membayar, meninggalkan Ren Hui yang terperanga

    Last Updated : 2024-08-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bujang Lapuk Tak Laku

    Ren Hui mengajak pemuda itu meninggalkan pasar yang ramai. "Ayo, bantu dorong gerobak ini," katanya menunjuk gerobak di depannya. Pemuda itu mengangguk dan dengan terpaksa mendorong gerobak kayu yang kini kosong. Tidak ada guci arak yang tersisa karena pecah semua akibat pertarungan tadi. "Hei pedagang arak!" Seorang pedagang daging berseru memanggil Ren Hui. "Eh Paman Wang!" Ren Hui segera berlari mendekati lapak pedagang itu. Sedangkan Song Mingyu berhenti mendorong gerobak dan menunggunya di tepi jalan di bawah pohon persik. "Sepagi ini kau sudah mau pulang? Apakah arakmu sudah habis semua?" Paman Wang, pedagang daging itu bertanya seraya melirik gerobaknya yang kosong melompong tanpa ada sebuah guci arak pun. "Aiyo Paman, hari ini sungguh sial nasibku." Ren Hui mengeluh kemudian bercerita apa yang baru saja terjadi. "Ah begitu. Tetapi, aku rasa ada baiknya untukmu. Setidaknya ada yang menemanimu sekarang." Paman Wang tersenyum seraya melirik Song Mingyu yang masih duduk d

    Last Updated : 2024-08-07

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kita Sepakat

    Kedua pria itu kini saling menatap dalam keheningan yang nyaris terasa berat, seolah udara di antara mereka telah mengental. Pak Tua Ong muncul membawa nampan berisi teh dan camilan, memecah kesunyian. Langkahnya ringan, namun ada sesuatu dalam gerak-geriknya yang anggun, kontras dengan jubah lusuh yang dikenakannya."Anak muda, cicipilah teh merah dari Baili," katanya ramah sambil menuangkan cairan hangat berwarna merah tua ke dalam cangkir porselen. Aroma teh itu segera memenuhi udara, memancarkan keharuman yang lembut dan menenangkan, seperti embusan angin musim semi yang membawa wangi bunga mekar.Junjie menerima cangkir itu dengan hati-hati. Dia mengendus aroma teh tersebut, matanya menyipit seolah menganalisis tiap molekul harumnya. "Aromanya sangat harum. Bunga mawar?" tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.Pak Tua Ong tersenyum kecil. Sebelum dia sempat menjawab, Tuan Luo menimpali, "Baili memang dikenal sebagai penghasil bunga mawar terbes

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Apa Yang Paling Menarik?

    Tuan Luo tersenyum kecil, nyaris seperti seringai, sementara matanya yang tajam terus menelisik Junjie. Tatapan itu seakan hendak menguak lebih banyak dari apa yang disembunyikan oleh tamunya.Tuan Luo tertawa lepas, suara tawanya renyah, menggema lembut di dalam karavan yang kini lebih terang oleh cahaya pagi. Tawanya memiliki irama yang merdu, nyaris seperti melodi yang memancarkan kebebasan tanpa batas. Junjie memperhatikan, diam-diam mengakui bahwa ada sesuatu yang luar biasa dalam cara pria itu menertawakan dunia—sebuah kebebasan yang terasa asing baginya."Jadi, bagaimana?" Junjie bertanya santai, sedikit mengangkat alis setelah tawa Tuan Luo mereda. "Apakah kita hanya akan membicarakan rumor tentang kita sepanjang pagi ini?" Nada bicaranya datar namun mengandung sindiran halus, seolah mencoba mengukur reaksi pria di depannya."Oh, tentu tidak, Tuan Junjie," jawab Tuan Luo dengan nada yang sama santainya. Senyumnya kembali menghiasi wajahnya, kali in

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tidak Seperti Rumor

    Karavan itu, jika dilihat sekilas, tampak biasa saja. Sebuah gerobak besar dengan kayu kusam. Mirip dengan karavan milik pedagang atau pengelana yang kerap singgah di Oasis Merah. Namun, bagi yang jeli, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak mudah tertangkap oleh mata awam.Karavan ini tiba di tengah malam, saat angin gurun berdesir pelan, membelah keheningan. Kedatangannya yang sunyi membawa aura yang sulit diabaikan, seolah membawa rahasia yang berat namun enggan diceritakan.Junjie berjalan pelan mendekati karavan. Asap tipis mengepul dari cerobong, satu-satunya tanda kehidupan di dalamnya. Langkah kakinya melambat, lalu berhenti beberapa langkah dari pintu kayu yang tertutup rapat. Aroma samar kayu terbakar bercampur dengan angin gurun, membelai hidungnya."Hei, anak muda! Siapa yang kau cari?" Sebuah suara serak namun tegas memecah kesunyian. Junjie menoleh, mendapati seorang pria tua muncul dari balik rerumpunan pohon palem di sisi karavan. Pria tua itu mengenakan jubah lu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hari Yang Berbeda Di Oasis Merah

    Suasana di Oasis Merah hari ini terasa tak biasa. Udara yang biasanya dipenuhi tawa para pedagang dan derit roda gerobak kini diwarnai ketegangan samar. Para prajurit sibuk mondar-mandir sejak fajar merekah, seperti semut yang tak henti bekerja.Mereka meminta para pedagang, pengelana, dan penduduk setempat untuk menjauhi sebuah tenda besar di tengah oasis. Tempat itu biasanya menjadi pusat peristirahatan yang ramai, tetapi kini diubah menjadi area tertutup yang dijaga ketat. Para prajurit mengarahkan aktivitas ke tempat lain, meskipun masih di sekitar oasis.Dari teras rumah beroda, Ren Hui berdiri bersama Junjie, mengamati kesibukan di bawah mereka. Sinar mentari memantulkan warna merah pasir, seperti darah yang tersembunyi dalam debu waktu."Kau baik-baik saja?" Junjie bertanya, suaranya rendah namun sarat kekhawatiran. Matanya, yang biasanya malas menatap dunia, kini memancarkan keseriusan.Ren Hui tersenyum cerah, seperti mentari musim semi yang menembus kabut. "Aku baik-baik saj

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Tahu

    Song Mingyu merasa sebuah kesedihan menyelimuti hatinya. Namun, ia tak mampu menahan perasaannya. Ada sesuatu yang menggigit dalam dirinya, sebuah ketakutan yang entah berasal dari mana. Ia takut, takut bahwa Ren Hui benar-benar akan kehilangan penglihatannya. Ketika bayangan kegelisahan menyelimutinya, sebuah percakapan yang telah lama terlupakan kembali menghampirinya, membawa hembusan angin masa lalu.Tiba-tiba, wajah Nyonya Su Yang, ibunya, muncul di benaknya. Percakapan mereka sebelum dirinya meninggalkan Lingyun untuk menyusul Ren Hui dan Junjie, datang dengan jelas."Mingyu, jangan terlalu memikirkan apa yang kau dengar tadi," kata ibunya lembut, mencoba menenangkan keresahan di dalam hatinya. Suara Nyonya Su Yang, seperti musik yang menenangkan, tak dapat menepis ketegangan yang tumbuh dalam dada Song Mingyu. Ia mengingat dengan jelas percakapan yang tanpa sengaja ia dengar antara Dewa Obat dan ibunya."Aku... aku tidak memikirkan hal itu, Ibu," ja

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kau Mirip Zhu Zijing

    Ren Hui dan Junjie terkejut oleh kehadiran Song Mingyu yang tiba-tiba, seolah-olah ia muncul dari bayang-bayang yang tak terdeteksi. Pemuda itu melangkah perlahan, langkahnya penuh wibawa, menatap kedua sahabatnya dengan tatapan yang dalam, seperti sedang menelusuri rahasia yang tersembunyi. Ren Hui berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Junjie, tetapi itu terasa seperti melepaskan sesuatu yang tak kasat mata, erat dan tak terhindarkan.Dia membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu, namun suara Junjie sudah lebih dulu menghentikan niatnya. "Penglihatan Ren Hui sedikit terganggu," ucap Junjie dengan nada yang lebih berat dari biasanya. Tidak ada lagi kekonyolan atau kebebasan dalam suaranya; hanya ada kekhawatiran yang terpendam dalam setiap kata yang diucapkan."Eh, apakah sakitmu kambuh lagi?" Song Mingyu bertanya cepat, langkahnya yang sebelumnya penuh keyakinan kini dipenuhi dengan rasa cemas. Kekhawatiran terpantul jelas di matanya, seperti riak air yang t

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Tidak Dapat Melihat Wajahmu

    Ren Hui duduk bersebelahan dengan Junjie, di atas batang kayu tua yang tergeletak di tepi Oasis Merah. Tangannya memegang guci arak dengan cermat, mengguncangnya pelan, seolah mencari ketenangan di dalam riak-riak arak yang berputar."Ren Hui, kau sungguh-sungguh tidak tahu siapa pemilik Paviliun Embun Pagi?" Junjie yang sedari tadi menatapnya, akhirnya bertanya dengan nada serius. Suaranya rendah dan tenang, meski masih terkesan acuh tak acuh.Ren Hui menoleh dan menatap pria tampan di sebelahnya dengan tatapan penuh kebingungan. Kenapa Junjie menanyakan hal itu? Apakah itu suatu hal yang penting? Bahkan dirinya pun lupa tadi menanyakan siapa pemilik Paviliun Embun Pagi kepada Song Mingyu dan tamu mereka. "Apakah itu penting untuk aku ketahui?" Sahutnya, dengan santai, seolah perbincangan ini hanyalah angin lalu. "Tidak juga." Junjie menjawab singkat, kembali meraih sikap acuh tak acuhnya. "Ngomong-ngomong, kenapa kau meminta Song Mingyu untuk

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Siapa Pemilik Paviliun Embun Pagi?

    Di tepi Oasis Merah yang tenang, lima orang itu duduk melingkari meja kayu sederhana yang tampak usang, seolah menyimpan cerita tentang angin gurun yang pernah membelainya. Aroma daging domba panggang berpadu dengan rempah-rempah pedas, melayang di udara seperti melodi yang menggoda indra penciuman. Sesekali, uap dari hot pot yang mendidih bergulung lembut, membaur dengan hawa gurun yang mulai mendingin.Percakapan mengalir akrab, meski ada nada kehati-hatian yang terselip di antara mereka. Junjie, dengan nada serius yang nyaris menusuk keheningan, membuka pembicaraan. "Apakah semua berjalan lancar?" tanyanya, tatapannya tertuju pada dua wanita di hadapannya, Miu Yue dan Dongfang Yu. Tatapannya yang biasanya malas kini tajam bak menembus malam. Miu Yue, seperti biasa, menjawab lebih dulu. Nada suaranya tegas dan lugas, sementara tangannya yang anggun mengaduk isi mangkuk dengan tenang. "Ehm, semua baik-baik saja. Tidak ada masalah."Junjie menga

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kehangatan Malam Di Tepi Oasis

    Suasana di rumah beroda itu kembali hidup. Keberadaan Dongfang Yu dan Miu Yue memecah keheningan yang sebelumnya mendominasi, membawa warna baru di tengah suasana yang mencekam. Cahaya temaram bulan menyelimuti mereka, memantulkan bayangan di permukaan air yang tenang. Kedua wanita cantik itu duduk di batang kayu tua di tepi oasis, menunggu Ren Hui yang sibuk menyiapkan makan malam.Keheningan di antara mereka terasa tegang, seperti tali busur yang ditarik terlalu kencang. Hingga akhirnya, Miu Yue memecah kebekuan dengan suara lembut namun terukur. "Nona Dongfang, saya sudah lama mendengar kabar tentang Anda." Kata-kata itu, meski sederhana, menyeruak seperti riak kecil di atas permukaan air, memulai percakapan yang lama tertunda.Dongfang Yu, dengan wajah yang teduh namun penuh kewaspadaan, menoleh perlahan. Ini pertama kalinya mereka bertemu. Wajar jika suasana terasa canggung. Mereka berasal dari dunia yang berbeda. Miu Yue, putri Keluarga Miu yang dihormati kar

DMCA.com Protection Status