Beranda / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Panggil Aku Dewa Pedang

Share

Panggil Aku Dewa Pedang

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-17 09:00:38

Ren Hui merasakan sebuah gelombang energi menghantam, membuyarkan kabut ilusinya seketika. Tubuhnya terseret mundur beberapa langkah, jejak kakinya menyembur tanah yang bergetar. Kelopak-kelopak bunga bi’an hua—merah menyala seperti api—hancur berhamburan, lenyap tanpa jejak bagai fatamorgana.

“Gelombang Lautan Surgawi,” gumamnya pelan, suara itu nyaris tertelan dalam hiruk pikuk angin yang berputar. Dia mengenali jurus ini. Salah satu teknik paling dahsyat dari Pedang Surgawi yang langka, sekaligus mematikan. Tanah di bawah kakinya terus bergetar, seperti lautan yang mengombang-ambingkan sebuah perahu kecil dalam badai.

Dari celah embusan angin, tubuh Ren Hui melesat ke udara. Dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, payung di tangannya berputar cepat, memecah aliran udara menjadi pusaran tajam. Seketika, puluhan pisau kecil berwarna biru berkilau menyembur dari balik payung itu, melesat bagaikan hujan meteor menuju Liuxing.

“Pisau apa ini?” gumam Liuxing
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tuan Muda Ketiga Hong

    Sosok berhanfu putih dan berjubah putih itu berdiri tegak di tengah ladang. Angin pagi berembus pelan, membuat helaian rambut hitamnya berkibar-kibar seperti pita sutra yang menari di udara. Sinar matahari yang masih redup menyorot dari balik pepohonan, menciptakan bayangan samar di wajah pucatnya yang dingin bak porselen."Yin Tao!" Suaranya menggema, seruan yang memecah keheningan. Nada tegasnya memanggil seorang wanita cantik yang berdiri tak jauh dari Ren Hui dan Wei Xueran."Tuan Muda!" Yin Tao membungkuk dalam, penuh hormat. Pancaran matanya tajam namun menyiratkan ketundukan yang tak terbantahkan."Bakar seluruh ladang dan gudang! Jangan sisakan apa pun!" Perintahnya meluncur bagai pisau."Hong Yue! Beraninya kau!" Hong Li tiba-tiba berteriak penuh amarah, wajahnya memerah seperti bara api. Dia hendak menerjang maju, namun sebelum langkahnya terayun, Liuxing sudah menahan pergelangan tangannya."Tuan Muda Pertama, apa kau lupa di m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Junjie Bertindak Cepat

    Suasana di ladang bunga seketika menjadi sunyi. Hanya suara gemeretak api yang memakan sisa-sisa kehidupan di sana. Kepulan asap kelabu meliuk-liuk ke langit, seolah mengadukan tragedi yang baru saja terjadi. Angin bertiup pelan, menghamburkan abu, kelopak bunga yang hangus, serta kertas kimcoa yang beterbangan tanpa arah, menciptakan lukisan suram yang kontras dengan keindahan ladang yang dulu pernah ada.Hong Li memapah Liuxing yang terluka, langkah mereka tertatih, diiringi Pasukan Hantu Kematian yang bergerak cepat dalam formasi senyap. Sementara itu, Song Mingyu dan Yingying membawa Yin Tao yang terluka ke rumah beroda. Keheningan yang tersisa menusuk lebih tajam daripada jerit perih di tengah pertempuran.Kini hanya Ren Hui dan Wei Xueran yang berdiri di antara reruntuhan itu, bersama beberapa bawahan Yin Tao yang tersisa. Debu menempel di ujung pakaian mereka, jejak asap masih terasa menusuk hidung."Tuan...!" Suara seorang pria berhanfu hitam memec

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Jejak Masa Lalu dan Pilihan Masa Depan

    Rumah beroda itu terus melaju pelan, meninggalkan jejak samar di atas jalan berdebu. Suara roda kayu yang berderit seolah melengkapi keheningan perjalanan mereka. Angin sore yang membawa wangi bunga liar membelai lembut wajah Ren Hui, tetapi langkahnya tetap tenang, selaras dengan detak waktu yang seolah melambat. Mereka tak lagi singgah terlalu lama di mana pun. Bahkan rencana untuk berhenti sejenak di Kota Muyun telah mereka batalkan. Ada desakan tak terlihat yang memacu perjalanan mereka ke Utara, seolah jawabannya menanti di sana. “Junjie, kau benar-benar ingin segera tiba di Utara?” tanya Ren Hui santai. Suaranya ringan, seperti angin yang bermain di antara dedaunan. “Iya,” sahut Junjie singkat. Pria yang tampak malas itu duduk santai di atas punggung Lobak, keledai hitamnya. Ren Hui melirik sekilas, tersenyum tipis pada sahabat yang telah menemaninya cukup lama dalam perjalanan ini. Dia memahami perasaan Junjie, meski

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Pasir Merah

    Ren Hui dan Junjie menatap deretan rumah berdinding dan beratap batu bata berlapis lumpur kering di hadapan mereka. Udara yang kering dan panas terasa menyengat kulit mereka, mengingatkan pada wilayah Utara yang terkenal dengan iklim gurun. Wilayah yang berada di perbatasan dengan Kekaisaran Baili, memiliki ciri khasnya sendiri. Di ujung Utara, menjulang tinggi Báiyuè Shān, gunung yang puncaknya dilapisi salju abadi, kontras dengan gurun yang membentang luas di bawahnya."Ini kota pertama yang kita singgahi di Utara." Junjie tetap menatap lurus ke depan, matanya sedikit menyipit, berusaha menahan teriknya sinar matahari yang membakar. Ren Hui mengangkat tangan, mencoba melindungi matanya dari sinar yang menyilaukan. "Kota apa ini?" tanyanya, suaranya sedikit tercekat karena teriknya matahari."Hóngshā, Kota Pasir Merah." Wei Xueran yang baru saja datang menyahut dengan nada tenang. Pria tampan itu datang bersama Yingying yang mengenakan doupeng

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Rumah Beroda Yang Aneh

    Hóngshā, Kota Pasir Merah, terletak di perbatasan utara Kekaisaran Shenguang, menjadi penjaga terakhir sebelum wilayah Kekaisaran Baili dimulai. Dikelilingi bukit pasir yang memantulkan cahaya keemasan saat matahari terbenam, kota ini tampak seperti bunga mawar emas yang berkembang di tengah gurun tandus. Di kejauhan, angin gurun berbisik lembut, membawa aroma pasir hangus bercampur harum oasis yang terletak di jantung kota.Di pinggiran sebuah oasis, deretan tenda-tenda menjadi pemandangan yang cukup mencolok. Meski diselingi sebuah oasis yang merupakan pusat kehidupan penduduk kota Hóngshā, nuansa gurun yang gersang lebih mendominasi. Penduduk di kota ini tidaklah banyak, sebagian besar tersebar dalam suku-suku yang hidup berpindah-pindah. Kota ini lebih didominasi para prajurit yang menjaga perbatasan dan segelintir peternak dan pejabat setempat. Selebihnya hanyalah pedagang dan pengelana yang kebetulan lewat dan singgah sebentar.Di dalam salah satu t

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Senja Di Oasis Merah

    Ren Hui dan Junjie berdiri di tepi oasis, menatap kagum pada pemandangan yang tersaji di depan mereka. Air jernih yang memantulkan sinar matahari senja berkilauan seperti hamparan emas dan merah delima. Oasis di kota Hóngshā ini sungguh terlihat seperti permata yang berkilauan di tengah gurun pasir merah yang luas dan gersang."Indah sekali, bak bunga mawar merah keemasan," gumam Ren Hui, suaranya hampir tenggelam dalam lembutnya hembusan angin senja. Matanya memancarkan kekaguman yang tulus.Junjie menoleh, memperhatikan Ren Hui yang berdiri di sampingnya. Meski panorama oasis begitu menakjubkan, pikirannya lebih terpaku pada sosok pria itu. Ren Hui, dengan jubah putih yang berkibar tertiup angin, rambut hitamnya yang tergerai, dan senyum yang terpancar alami, terlihat seperti bagian dari pemandangan itu sendiri—indah dan tak tergantikan."Aku tak menyangka ada sedikit kehidupan di tempat segersang ini," ujar Ren Hui, matanya menyapu area oasis yang mulai

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ikut Campur Atau Kabur?

    Suasana seketika menjadi hening. Angin gurun berdesir pelan, membawa aroma pasir dan dedaunan kering yang bergesekan di sekitar oasis. Beberapa prajurit segera bergerak cepat, melindungi teman-teman mereka yang tengah mengambil air. Ren Hui dan Junjie pun segera mengangkat kaki mereka dari air, mengeringkannya dengan tergesa-gesa sebelum mengenakan kembali sepatu bot.Tiba-tiba, desingan anak-anak panah memecah ketenangan. Kali ini, serangkaian anak panah meluncur deras ke arah mereka. Ren Hui bereaksi secepat kilat, mengeluarkan payung di punggungnya dan membukanya dengan gerakan gesit. Payung itu berputar, mematahkan setiap anak panah yang mengarah padanya dan Junjie.Gerakannya begitu lincah dan anggun, membuat para prajurit di sekitarnya tertegun. Mereka menatap pemandangan itu dengan kekaguman, bahkan sempat lupa dengan ancaman yang baru saja melintas.Ren Hui tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. "Maaf, kam

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Drama Pedagang Arak Miskin

    Junjie dengan tenang mencabut anak panah yang menancap di tanah, di ujung kaki mereka. Jarinya yang ramping memutar anak panah itu, mengamatinya dengan seksama. Sambil memegang anak panah tersebut, dia melambai pada pasukan berkuda yang dipimpin Jenderal Miu."Jenderal Miu! Kami hanya pengelana yang singgah sebentar! Izinkan kami pergi!" serunya dengan penuh percaya diri, suaranya tegas tetapi tidak berlebihan.Namun, kedua pasukan itu bergerak mendekat, mengencangkan formasi hingga ruang gerak semakin sempit. Tatapan penuh curiga mengarah pada Junjie dan Ren Hui, seolah menyiratkan bahwa mereka menyembunyikan sesuatu.Ren Hui menghela napas panjang, sebelum memasang wajah memelas yang sangat meyakinkan. "Aiyo! Kami hanya pedagang arak miskin yang kebetulan lewat. Sungguh sial kami terjebak dalam kekacauan seperti ini!" rengeknya memelas, suaranya terdengar dibuat-buat tetapi mengundang simpati.Beberapa prajurit di sekitar mereka memandang dengan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Baihua Dan Kelinci Buruannya

    Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Gelang Mutiara Malam

    Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ada Aku Di Sini

    Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Di Pasar Hóngshā

    Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pesona Ren Hui

    Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Kembali Untuk Diriku Sendiri

    Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ren Hui Dan Bi'an Hua

    Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Jenderal Miu Mengunjungi Rumah Beroda

    Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kaisar Yang Baik

    Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"

DMCA.com Protection Status