Meski rasa penasaran menyelimuti hati mereka mengenai situasi di ladang bunga milik Keluarga Hong, tidak ada seorang pun di antara mereka yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga tersebut. Seolah-olah, ladang itu dikelilingi oleh tabir misteri yang sulit ditembus.
Bahkan Wei Xueran tidak sepenuhnya yakin dirinya bisa bertamu dengan bebas. Saat itu, dia hanya mendampingi Chu Wang, dan hal itu tak memberi alasan kuat untuk memulai percakapan santai. Sementara Junjie, jelas tidak akan dengan mudah mengungkap identitasnya sebagai Pangeran Yongle. Kendati hal itu mungkin menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan akses ke salah satu tempat milik Keluarga Hong.“Tuan Muda Wei, apakah kau yakin jika ada orang-orang yang menurutmu bukan bagian dari Kediaman Keberuntungan Besar?” Yingying bertanya hati-hati, nada suaranya seolah mencoba mencari celah kebenaran.Wei Xueran mengangguk mantap, tanpa sedikit pun keraguan di wajahnya. “Ren Hui, kau tadi melihat sesKeesokan harinya, di pagi buta, mereka dikejutkan oleh keributan di ladang bunga. Yingying, yang baru saja berganti pakaian, terperanjat dan segera berlari ke teras kamarnya di lantai atas rumah beroda.Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat serombongan orang berjubah dan bertudung hitam menyerbu masuk melalui pintu gerbang bambu yang dibuka paksa. Angin pagi yang dingin membawa aroma bunga yang terganggu oleh suara gaduh itu. Dengan cepat, ia meraih doupeng birunya dan berlari menuruni tangga kayu yang dingin.“Apa kalian melihatnya?” tanyanya dengan napas terengah pada para pria yang rupanya juga mendengar keributan itu. Ren Hui dan Junjie mengangguk serempak, sementara Song Mingyu dan Wei Xueran tampak kebingungan.“Baru semalam kita membicarakannya, dan pagi ini sesuatu sudah terjadi,” gumam Wei Xueran pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.“Apakah kita harus membantu?” Song Mingyu melirik Ren Hui dan Junjie, suaranya penuh ke
Ren Hui memandang tajam ke arah sosok berjubah hitam yang tengah bertarung dengan Yin Tao. Di tengah ladang penuh bunga bermekaran, pedang korset Yin Tao melayang lincah, meliuk seperti ular yang haus darah, lalu melingkar sempurna mengurung lawannya."Liuxing," gumam Ren Hui pelan, seolah nama itu membawa ribuan kenangan yang pahit. Kedua tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Di sampingnya, Wei Xueran melirik diam-diam, tatapannya rumit di balik doupeng putih yang menutupi wajahnya.Wei Xueran memahami gelombang emosi yang menguasai Ren Hui. Bagaimana tidak? Guru yang selama ini diyakini telah tiada, kini muncul kembali dengan wajah yang dingin, bukan sebagai penyelamat, melainkan sebagai dalang yang menyebabkan kematian adik seperguruannya, Wang Jian, dan racun yang bersarang di tubuhnya sendiri."Kalau itu terjadi padaku, aku mungkin sudah hancur lebih dari dirimu, Ren Hui," pikir Wei Xueran. Tangan putihnya bergerak tanpa sadar, men
Wei Xueran tersenyum tipis di balik doupeng putihnya, melindungi wajah dari tatapan tajam lawannya. Kehadiran pemilik Pedang Musim Gugur adalah misteri yang jarang terungkap. Hanya sedikit yang mengetahui siapa pemilik sejati pedang legendaris itu, apalagi menghubungkannya dengan Pedang Musim Dingin, pasangan sejatinya. Kehati-hatian Wei Xueran dan Chu Wang menjaga identitas mereka membuat mereka nyaris seperti bayangan, selalu hadir tanpa jejak, hanya muncul saat keadaan mendesak.Bahkan Liuxing sendiri, mantan Ketua Sekte Pedang Langit, tak pernah menduga siapa pemilik kedua pedang itu. Ia hanya tahu Pedang Musim Semi berada di tangan Wang Jian, sementara Pedang Musim Panas dimiliki oleh Pangeran Yongle. Keempat pedang legendaris itu dikenal sebagai Pedang Empat Musim, setara dengan Pedang Surgawi, dan hanya mereka yang memiliki keterampilan tingkat dewa, seperti Ren Jie, yang dianggap mampu menandingi kekuatan para pemiliknya.Namun, kini Wei Xueran berdiri di d
Angin menderu kencang, membawa hawa dingin yang menggigit. Deraiannya memukul ladang bunga yang semula sunyi, meremukkan ketenangan menjadi kekacauan. Wei Xueran melompat mundur, pedangnya berkilau memantulkan sinar terakhir matahari senja, mencoba memotong pusaran angin dari Tarian Angin Surgawi milik Liuxing. Tubuhnya terseret beberapa langkah, tetapi dia tetap berdiri tegap. Tak ada luka terlihat, hanya mata tajam yang berkilat penuh keyakinan. Namun, pusaran angin itu terus bergulung, mengejarnya tanpa henti. Wei Xueran tersenyum tipis, seperti seorang pelukis yang siap menggoreskan kuas terakhir. Gerakan pedangnya tampak tak beraturan, seperti mainan anak kecil memotong udara kosong. Tapi, tiba-tiba, suara gemuruh menggelegar. Daun-daun beterbangan, genting-genting rumah peristirahatan melayang ke udara, berjatuhan seperti daun musim gugur. Liuxing menarik pedangnya, menghentikan serangannya. Dia menyadari, Tarian Angin Surgawi tidak akan mampu men
Ren Hui merasakan sebuah gelombang energi menghantam, membuyarkan kabut ilusinya seketika. Tubuhnya terseret mundur beberapa langkah, jejak kakinya menyembur tanah yang bergetar. Kelopak-kelopak bunga bi’an hua—merah menyala seperti api—hancur berhamburan, lenyap tanpa jejak bagai fatamorgana.“Gelombang Lautan Surgawi,” gumamnya pelan, suara itu nyaris tertelan dalam hiruk pikuk angin yang berputar. Dia mengenali jurus ini. Salah satu teknik paling dahsyat dari Pedang Surgawi yang langka, sekaligus mematikan. Tanah di bawah kakinya terus bergetar, seperti lautan yang mengombang-ambingkan sebuah perahu kecil dalam badai.Dari celah embusan angin, tubuh Ren Hui melesat ke udara. Dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, payung di tangannya berputar cepat, memecah aliran udara menjadi pusaran tajam. Seketika, puluhan pisau kecil berwarna biru berkilau menyembur dari balik payung itu, melesat bagaikan hujan meteor menuju Liuxing.“Pisau apa ini?” gumam Liuxing
Sosok berhanfu putih dan berjubah putih itu berdiri tegak di tengah ladang. Angin pagi berembus pelan, membuat helaian rambut hitamnya berkibar-kibar seperti pita sutra yang menari di udara. Sinar matahari yang masih redup menyorot dari balik pepohonan, menciptakan bayangan samar di wajah pucatnya yang dingin bak porselen."Yin Tao!" Suaranya menggema, seruan yang memecah keheningan. Nada tegasnya memanggil seorang wanita cantik yang berdiri tak jauh dari Ren Hui dan Wei Xueran."Tuan Muda!" Yin Tao membungkuk dalam, penuh hormat. Pancaran matanya tajam namun menyiratkan ketundukan yang tak terbantahkan."Bakar seluruh ladang dan gudang! Jangan sisakan apa pun!" Perintahnya meluncur bagai pisau."Hong Yue! Beraninya kau!" Hong Li tiba-tiba berteriak penuh amarah, wajahnya memerah seperti bara api. Dia hendak menerjang maju, namun sebelum langkahnya terayun, Liuxing sudah menahan pergelangan tangannya."Tuan Muda Pertama, apa kau lupa di m
Suasana di ladang bunga seketika menjadi sunyi. Hanya suara gemeretak api yang memakan sisa-sisa kehidupan di sana. Kepulan asap kelabu meliuk-liuk ke langit, seolah mengadukan tragedi yang baru saja terjadi. Angin bertiup pelan, menghamburkan abu, kelopak bunga yang hangus, serta kertas kimcoa yang beterbangan tanpa arah, menciptakan lukisan suram yang kontras dengan keindahan ladang yang dulu pernah ada.Hong Li memapah Liuxing yang terluka, langkah mereka tertatih, diiringi Pasukan Hantu Kematian yang bergerak cepat dalam formasi senyap. Sementara itu, Song Mingyu dan Yingying membawa Yin Tao yang terluka ke rumah beroda. Keheningan yang tersisa menusuk lebih tajam daripada jerit perih di tengah pertempuran.Kini hanya Ren Hui dan Wei Xueran yang berdiri di antara reruntuhan itu, bersama beberapa bawahan Yin Tao yang tersisa. Debu menempel di ujung pakaian mereka, jejak asap masih terasa menusuk hidung."Tuan...!" Suara seorang pria berhanfu hitam memec
Rumah beroda itu terus melaju pelan, meninggalkan jejak samar di atas jalan berdebu. Suara roda kayu yang berderit seolah melengkapi keheningan perjalanan mereka. Angin sore yang membawa wangi bunga liar membelai lembut wajah Ren Hui, tetapi langkahnya tetap tenang, selaras dengan detak waktu yang seolah melambat. Mereka tak lagi singgah terlalu lama di mana pun. Bahkan rencana untuk berhenti sejenak di Kota Muyun telah mereka batalkan. Ada desakan tak terlihat yang memacu perjalanan mereka ke Utara, seolah jawabannya menanti di sana. “Junjie, kau benar-benar ingin segera tiba di Utara?” tanya Ren Hui santai. Suaranya ringan, seperti angin yang bermain di antara dedaunan. “Iya,” sahut Junjie singkat. Pria yang tampak malas itu duduk santai di atas punggung Lobak, keledai hitamnya. Ren Hui melirik sekilas, tersenyum tipis pada sahabat yang telah menemaninya cukup lama dalam perjalanan ini. Dia memahami perasaan Junjie, meski
Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg
Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"