Menjelang siang, Ren Hui dan Junjie kembali ke rumah beroda mereka. Kali ini mereka benar-benar mendapatkan banyak bahan perbekalan. Gerobak mereka penuh dengan bahan makanan, cukup untuk bekal perjalanan panjang ke depan. Angin musim panas yang kering bertiup lembut, membawa harum bunga canola yang sedang bermekaran di sekeliling ladang. Namun, meski aroma itu menenangkan, pikiran Ren Hui terusik oleh apa yang ia temui pagi tadi.
“Di tempat seperti ini, memang sulit bertahan hidup,” Ren Hui berujar dengan nada datar, matanya menatap kosong ke arah ladang. Ia teringat wajah-wajah para petani yang penuh harap saat ia menawarkan obat-obatan dan kain. Ada sesuatu yang begitu menyentuh hatinya di sana.“Benar,” sahut Junjie dengan nada tenang. “Meski tanahnya subur, hasil panen melimpah akan sia-sia jika mereka tidak bisa menjualnya. Jarak ke kota besar terlalu jauh.” Tatapan Junjie menyapu horizon, ke arah yang bahkan tidak terlihat ujungnya.Ren Hui menganggJunjie duduk di kursi dekat jendela rumah beroda, menatap keluar dengan wajah muram. Mantelnya telah dilepas, namun hawa panas yang menggantung di udara malam membuat kulitnya tetap berkeringat. Ia menggerakkan kipas lipat kecil yang ia ambil dari meja, berusaha menyejukkan dirinya meski angin malam yang bertiup pun terasa enggan menyapa. Di sudut lain ruangan, Song Mingyu menunduk serius, pena bulunya bergerak lincah di atas kertas. Ia terlihat fokus menulis surat, sebagaimana yang sering ia lakukan akhir-akhir ini. Surat itu akan dikirimkan kepada ibunya, Nyonya Su Yang, yang tinggal jauh di Kota Lingyun. Sementara itu, aroma harum mulai memenuhi rumah beroda kecil mereka, berasal dari dapur sempit tempat Ren Hui sedang sibuk menyiapkan makan malam. Baihua, rubah putih yang setia menemani mereka, duduk diam di sudut dapur, matanya berbinar menunggu sesuatu yang lezat. "Ren Hui, apa yang kau masak?" Song Mingyu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari suratnya. "Sup iga deng
Mereka bertiga menatap pintu rumah beroda yang tertutup rapat. Malam itu hening, hanya ditemani hembusan angin yang membawa aroma lembap tanah dan dedaunan. Namun, keheningan itu pecah oleh suara ketukan. Awalnya pelan, seperti ragu, lalu berubah menjadi irama tetap yang mengundang rasa penasaran.Ren Hui mengangkat wajahnya dari mangkuk bubur jagung. "Aku akan membukanya. Mungkin saja itu petani yang membutuhkan bantuan," ujarnya, meletakkan mangkuknya ke meja dengan gerakan mantap.Junjie dan Song Mingyu saling pandang sebelum mengangguk. Mereka tidak menunjukkan kekhawatiran, namun tetap ada sedikit keheranan. Rumah beroda mereka tengah singgah di tempat terpencil, jauh dari pemukiman dan jalur ramai yang biasa dilalui para pengelana, apalagi di malam hari.Ren Hui melangkah perlahan ke arah pintu, memastikan tangannya tetap stabil saat menarik kait pintu. Ketika pintu terbuka, dia tertegun. Di hadapannya berdiri tiga sosok yang kontras dengan kegelapan
Keesokan paginya, suasana rumah beroda terasa lebih ramai dibanding biasanya. Yingying sudah berangkat ke pemukiman petani ditemani Song Mingyu. Seorang petani mengetuk pintu sebelum fajar, memohon pertolongan karena istrinya hendak melahirkan. Tanpa ragu, mereka berdua segera membantu.Sementara itu, di sekitar ladang dan hutan yang membentang tak jauh dari tempat mereka singgah, Ren Hui dan Dewa Obat berjalan santai. Cahaya pagi yang hangat menembus celah dedaunan, memantulkan embun yang berkilauan seperti berlian. Ren Hui melirik sekeliling dengan penuh perhatian, mencari jamur liar atau herbal yang bisa ia jadikan bahan araknya. Wajahnya memancarkan antusiasme, seperti anak kecil yang menemukan harta karun.Di dalam rumah beroda, Junjie duduk bersama Wei Xueran, tenggelam dalam tumpukan gulungan yang dikirimkan Chu Wang. Aroma kertas tua bercampur dengan keharuman teh plum dan jujube kering yang tersisa dari sarapan mereka. Sebagian besar gulungan itu berasal d
Suasana sore hari terasa lebih meriah dengan kehadiran mereka yang berkumpul di rumah beroda. Udara segar mengalir lembut, membawa wangi tanah basah dari hutan terdekat. Yingying dengan cekatan memilah-milah tanaman obat liar yang baru saja di ambil Ren Hui dan gurunya dari hutan. Tangannya yang terampil menyisihkan bagian yang rusak, mencuci setiap helai daun dengan hati-hati, dan menjemurnya di pelataran yang hangat, di bawah sinar matahari sore yang temaram. Suara gemerisik daun-daun kering yang tertiup angin menambah ketenangan suasana.Di dapur, Ren Hui tampak sibuk menyiapkan sesuatu untuk makan malam. Kali ini, dia ditemani oleh Wei Xueran yang cukup cekatan bekerja, meskipun ada beberapa kali pemuda itu tanpa sengaja menambahkan bumbu yang tak sesuai. Meski begitu, senyum tipis tetap menghiasi wajahnya, menikmati kehangatan yang tercipta dari kerjasama yang tak terduga ini.Dewa Obat, yang biasanya selalu tenang, kali ini tampak lebih sibuk daripada biasany
Kota Muyun masih cukup jauh, dan malam mulai melarut. Perjalanan melelahkan itu memaksa mereka berhenti di tengah ladang yang baru saja ditanami. Beberapa petak mulai menguning, menandakan waktu panen sudah dekat. Ladang itu memanjang sejauh mata memandang, dengan aliran sungai kecil berkelok di tengahnya, memantulkan sinar bulan yang baru muncul dari balik awan."Aiyo, ternyata lumayan jauh juga memotong jalur ke Utara," keluh Song Mingyu, sambil memutar pinggang hingga terdengar bunyi pelan, seolah membebaskan diri dari penat."Ini memang perjalanan panjang," sahut Junjie yang berdiri di sebelahnya. Ia membawa Lobak, keledai hitam setianya, ke tepi sungai. Air sungai yang jernih dan dingin memercik saat Lobak dengan riang merendam kakinya. Keledai itu mendengus puas, menikmati kesegaran malam.Song Mingyu dan Wei Xueran yang baru saja menambatkan kuda-kuda mereka di pohon plum tua yang tumbuh di tepi sungai, meniru keledai itu. Mereka melepas sepatu dan
Ren Hui kembali duduk di tempatnya. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang dikenal sebagai Dewa Obat. Sosok tenang itu tampak tidak peduli meskipun beberapa pasang mata, termasuk murid kesayangannya Yingying, menatapnya penuh tanda tanya."Jangan menatapku seperti itu!" ucap Dewa Obat tiba-tiba, suaranya rendah tetapi penuh wibawa.Tatapannya menyapu semua orang di hadapannya, memaksa mereka kembali menundukkan kepala. Pria tua itu menghela napas panjang, lalu dengan santai meletakkan sumpitnya. "Yìcǎo, rumput ilusi dari Persia," katanya. "Bukan barang aneh jika kita berada di wilayah Keluarga Hong Barat."Suasana seketika hening. Junjie tertegun, lalu bertukar pandang dengan Wei Xueran. Sebagai putra keluarga berpengaruh dalam pemerintahan, keduanya memahami bahwa Yìcǎo bukanlah tanaman sembarangan. Namun, mendengar Dewa Obat berbicara dengan begitu santai membuat mereka sedikit terkejut."Keluarga Hong mendapatkan izin kekaisaran untuk m
Seperti yang telah direncanakan, Ren Hui kini berdiri di tepi ladang berpagar bambu. Udara pagi terasa hangat, dengan aroma segar dedaunan dan embusan angin lembut yang mengusik helai rambutnya. Matahari mulai memancarkan cahayanya, membuat bayangan pagar bambu terpantul seperti garis-garis halus di atas tanah. Mereka bertiga, Ren Hui, Junjie, dan Wei Xueran, memperhatikan situasi di sekitar ladang yang sepi, hingga pintu gerbang bambu itu tiba-tiba terbuka dengan suara berderit pelan."Tuan, ini lahan milik pribadi. Mohon maaf, saya tidak bisa membiarkan kalian masuk," ujar seorang pria muda dengan suara sopan. Ia berdiri di depan pintu gerbang, membungkuk hormat, wajahnya tampak sedikit tegang."Ah, begitu ya," Ren Hui mengusap dagunya pelan, senyumnya tipis namun penuh kekecewaan yang tak ia sembunyikan. Ia telah menunggu cukup lama hanya untuk mendengar jawaban ini.Namun, pelayan muda itu melanjutkan dengan nada ramah, "Tetapi, jika Tuan ingin beristi
Meski rasa penasaran menyelimuti hati mereka mengenai situasi di ladang bunga milik Keluarga Hong, tidak ada seorang pun di antara mereka yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga tersebut. Seolah-olah, ladang itu dikelilingi oleh tabir misteri yang sulit ditembus.Bahkan Wei Xueran tidak sepenuhnya yakin dirinya bisa bertamu dengan bebas. Saat itu, dia hanya mendampingi Chu Wang, dan hal itu tak memberi alasan kuat untuk memulai percakapan santai. Sementara Junjie, jelas tidak akan dengan mudah mengungkap identitasnya sebagai Pangeran Yongle. Kendati hal itu mungkin menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan akses ke salah satu tempat milik Keluarga Hong.“Tuan Muda Wei, apakah kau yakin jika ada orang-orang yang menurutmu bukan bagian dari Kediaman Keberuntungan Besar?” Yingying bertanya hati-hati, nada suaranya seolah mencoba mencari celah kebenaran.Wei Xueran mengangguk mantap, tanpa sedikit pun keraguan di wajahnya. “Ren Hui, kau tadi melihat ses
Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg
Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"