Keesokan harinya, mentari pagi memandikan kota Qingge dengan sinarnya yang keemasan. Jalan-jalan batu yang basah oleh embun malam berkilauan seperti berlian kecil. Ren Hui dan Junjie berjalan santai di tengah kota yang mulai ramai oleh penduduk yang memulai aktivitas pagi. Sedangkan, di rumah beroda yang mereka tinggalkan tetap tenang, hanya sesekali terdengar suara Baihua, rubah putih yang menjaga Song Mingyu yang sibuk berlatih pedang.
Junjie menunggangi keledai hitamnya, Lobak, sementara Ren Hui berjalan di sampingnya. Tali kekang keledai itu digenggam dengan santai oleh Ren Hui, membuat perjalanan terasa lebih seperti tamasya daripada misi penting."Kemana kita pergi kali ini?" Junjie bertanya sembari menggerakkan ranting tempat sebuah lobak merah diikat untuk memberi makan keledai hitamnya.Dia menunggangi keledai itu dengan sikap malas, seolah perjalanan ini tak lebih dari rutinitas biasa. Ren Hui meliriknya sambil tersenyum tipis."Pasar,"Beberapa hari sebelumnya di Bukit Semanggi, Lembah Kabut Mutiara Kota Yinyue Langit cerah di atas Bukit Semanggi mendadak terasa berat. Awan-awan putih yang biasanya meneduhkan puncak bukit tergantikan oleh teriakan dan denting senjata. Para murid yunior Sekte Pedang Langit terpelanting ke tanah, berguling-guling di atas pelataran berlapis rumpun semanggi. Sosok-sosok berjubah hitam bertopeng hantu seram menyerbu dengan langkah penuh intimidasi, menggetarkan tanah di bawah mereka.Kertas kimcoa melayang-layang di udara, berhamburan seakan mengantarkan kematian seseorang yang sudah pasti di hari ini. Pelataran itu, yang biasanya menjadi tempat latihan seni pedang, kini dipenuhi aura pembantaian yang menyesakkan."Guru Cui! Ketua Bu Hui!" seorang murid yunior berlari dari arah gerbang utama. Nafasnya terengah-engah, suaranya serak oleh rasa takut yang mencekam.Cui Xuegang, yang tengah bersantai di ruang utama, segera bangkit dari tempat duduknya.
Sosok berjubah hitam dan bertopeng hantu yang menyeramkan itu perlahan melangkah mendekat. Kegelapan jubahnya menyelimuti ruangan, menciptakan bayang-bayang panjang yang bergerak tak tentu arah, seakan melangkah dari dunia lain. Setiap langkahnya seakan menggetarkan udara, meninggalkan bekas yang beku. Hong Li, yang duduk dalam kecemasan, segera bangkit dan menyingkir, menjauhi kedua sosok yang kini saling berhadapan."Sekte Pedang Langit ataupun Kota Yinyue, bahkan aku pribadi, tidak pernah memiliki masalah dengan Kediaman Keberuntungan Besar hingga Nyonya Hong merasa perlu untuk mengirimkan Pasukan Hantu Kematian ke kediaman pribadiku," ujar Bu Hui, suara yang keluar dari bibirnya dingin dan datar, seperti hembusan angin yang membawa petir. Setiap kata terucap dengan penuh penekanan, meski tanpa emosi yang tampak di wajahnya.Sosok itu tetap tenang, namun aura misterius di sekelilingnya semakin padat. "Aku rasa Ketua Bu Hui sudah mengerti mengapa kami mengunjungi
Cui Xuegang dan Bu Hui bertarung sengit melawan Pasukan Hantu Kematian yang menyerang mereka serentak. Hembusan angin membawa aroma logam dari darah yang mulai menggenang. Dari kejauhan, Hong Li berdiri tegak, matanya menyipit memandang pertarungan yang penuh ketegangan itu."Mereka memang hebat," gumamnya seraya melihat satu per satu anggota Pasukan Hantu Kematian jatuh bergelimpangan, tersayat pedang pasangan itu."Jika mereka tidak hebat, mana mungkin mereka menjadi tetua di sekte," sahut pria bertopeng hantu dengan nada datar, meski suaranya menyiratkan kebanggaan yang terpendam.Hong Li tersenyum tipis, sudut bibirnya melengkung penuh arti. "Oh ya? Bagaimana bila dibandingkan Zhu Zijing dan Ren Jie?" tanyanya ringan, tetapi pandangannya melekat pada pria bertopeng itu, seakan ingin menggali lebih jauh.Pria bertopeng itu hanya menggerakkan tangan, memberi isyarat agar Hong Li menghentikan pertanyaan tak perlu. Dia menunjuk ke arah pertarungan
Ren Hui menggoyangkan tali kekang kudanya perlahan. Roda rumah kayu itu bergemeretak ringan, bergulir dengan ritme yang selaras dengan langkah kuda yang menyeretnya. Udara pagi membawa aroma dedaunan bambu dan gemericik air sungai Ombak Hijau yang mengalir di sisi jalan setapak. Di depan, Junjie menunggang keledai hitamnya, Lobak, yang melangkah santai sembari menikmati perjalanan."Kita kembali ke Utara. Tetapi tidak akan kembali ke Kota Beixing," ujar Ren Hui, suaranya hampir tenggelam di antara desau angin. Ia menoleh ke teras rumah kayu, tempat Song Mingyu bersandar santai. "Mingyu, kau sudah mengabari Nyonya Su Yang?" tanyanya."Iya, semalam. Kota Beixing menarik juga. Tetapi, terlalu panas di musim panas seperti ini," sahut Song Mingyu dengan gembira. Ia tampak sibuk membelai Baihua, rubah putih kecil yang duduk manja di pangkuannya.Baihua, rubah yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan mereka, melingkarkan ekornya dengan elegan. Te
Perjalanan menuju Kota Muyun terasa panjang dan melelahkan. Kota yang menjadi tujuan mereka berikutnya setelah Qingge ini terletak di sebuah lembah yang subur, penuh keindahan alam yang tiada duanya. Wilayah barat Kekaisaran Shenguang menyimpan banyak pesona, meski kadang terabaikan dalam kesunyian desa-desa kecil yang tersebar di sepanjang jalan.“Benar-benar hanya ada desa-desa kecil saja,” gumam Junjie, memandang hamparan ladang di kedua sisi jalan.Seperti biasa, pria pemalas itu menunggangi keledai hitamnya, mendahului rumah beroda yang perlahan dikendalikan oleh Song Mingyu. Debu tipis yang beterbangan di bawah sinar matahari pagi menyertai perjalanan mereka di jalanan sunyi.Setelah meninggalkan desa pertama sejak keluar dari Kota Qingge, mereka melanjutkan perjalanan menuju Kota Muyun, kota terakhir di wilayah barat sebelum batas wilayah tengah Kekaisaran Shenguang. Muyun terkenal dengan senjanya yang menakjubkan, di mana awan-awan jingga terlihat
Ren Hui memandang hamparan ladang bunga yang menguning seperti permadani emas di hadapannya. Aroma segar bercampur embun pagi menusuk lembut hidungnya, membawa perasaan tenang yang sukar diungkapkan kata-kata. Di kejauhan, asap tipis mengepul dari cerobong-cerobong rumah petani, melayang perlahan dibawa angin. Ia yakin, tak jauh dari ladang ini ada pemukiman kecil yang menawarkan keramahan.“Junjie! Mingyu! Aku hendak pergi ke rumah petani untuk membeli beberapa bahan makanan,” ujarnya sambil menoleh pada dua pria di belakangnya.Junjie tampak berbaring santai di atas rerumputan yang masih basah oleh embun, sementara Lobak—keledai kecil berbulu cokelat miliknya—sibuk mengunyah rumput segar. Sebaliknya, Song Mingyu tampak serius, memutar-mutar pedangnya dengan lincah, mempraktikkan teknik-teknik yang dipelajarinya.“Kau semakin mahir, Mingyu!” Ren Hui memuji, langkahnya mendekat. Kilatan kebanggaan terlihat di mata Song Mingyu saat dia menghentikan gerakann
Menjelang siang, Ren Hui dan Junjie kembali ke rumah beroda mereka. Kali ini mereka benar-benar mendapatkan banyak bahan perbekalan. Gerobak mereka penuh dengan bahan makanan, cukup untuk bekal perjalanan panjang ke depan. Angin musim panas yang kering bertiup lembut, membawa harum bunga canola yang sedang bermekaran di sekeliling ladang. Namun, meski aroma itu menenangkan, pikiran Ren Hui terusik oleh apa yang ia temui pagi tadi.“Di tempat seperti ini, memang sulit bertahan hidup,” Ren Hui berujar dengan nada datar, matanya menatap kosong ke arah ladang. Ia teringat wajah-wajah para petani yang penuh harap saat ia menawarkan obat-obatan dan kain. Ada sesuatu yang begitu menyentuh hatinya di sana.“Benar,” sahut Junjie dengan nada tenang. “Meski tanahnya subur, hasil panen melimpah akan sia-sia jika mereka tidak bisa menjualnya. Jarak ke kota besar terlalu jauh.” Tatapan Junjie menyapu horizon, ke arah yang bahkan tidak terlihat ujungnya.Ren Hui mengangg
Junjie duduk di kursi dekat jendela rumah beroda, menatap keluar dengan wajah muram. Mantelnya telah dilepas, namun hawa panas yang menggantung di udara malam membuat kulitnya tetap berkeringat. Ia menggerakkan kipas lipat kecil yang ia ambil dari meja, berusaha menyejukkan dirinya meski angin malam yang bertiup pun terasa enggan menyapa. Di sudut lain ruangan, Song Mingyu menunduk serius, pena bulunya bergerak lincah di atas kertas. Ia terlihat fokus menulis surat, sebagaimana yang sering ia lakukan akhir-akhir ini. Surat itu akan dikirimkan kepada ibunya, Nyonya Su Yang, yang tinggal jauh di Kota Lingyun. Sementara itu, aroma harum mulai memenuhi rumah beroda kecil mereka, berasal dari dapur sempit tempat Ren Hui sedang sibuk menyiapkan makan malam. Baihua, rubah putih yang setia menemani mereka, duduk diam di sudut dapur, matanya berbinar menunggu sesuatu yang lezat. "Ren Hui, apa yang kau masak?" Song Mingyu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari suratnya. "Sup iga deng
Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg
Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"