Beberapa hari sebelumnya di Bukit Semanggi, Lembah Kabut Mutiara Kota Yinyue
Langit cerah di atas Bukit Semanggi mendadak terasa berat. Awan-awan putih yang biasanya meneduhkan puncak bukit tergantikan oleh teriakan dan denting senjata. Para murid yunior Sekte Pedang Langit terpelanting ke tanah, berguling-guling di atas pelataran berlapis rumpun semanggi. Sosok-sosok berjubah hitam bertopeng hantu seram menyerbu dengan langkah penuh intimidasi, menggetarkan tanah di bawah mereka.Kertas kimcoa melayang-layang di udara, berhamburan seakan mengantarkan kematian seseorang yang sudah pasti di hari ini. Pelataran itu, yang biasanya menjadi tempat latihan seni pedang, kini dipenuhi aura pembantaian yang menyesakkan."Guru Cui! Ketua Bu Hui!" seorang murid yunior berlari dari arah gerbang utama. Nafasnya terengah-engah, suaranya serak oleh rasa takut yang mencekam.Cui Xuegang, yang tengah bersantai di ruang utama, segera bangkit dari tempat duduknya.Sosok berjubah hitam dan bertopeng hantu yang menyeramkan itu perlahan melangkah mendekat. Kegelapan jubahnya menyelimuti ruangan, menciptakan bayang-bayang panjang yang bergerak tak tentu arah, seakan melangkah dari dunia lain. Setiap langkahnya seakan menggetarkan udara, meninggalkan bekas yang beku. Hong Li, yang duduk dalam kecemasan, segera bangkit dan menyingkir, menjauhi kedua sosok yang kini saling berhadapan."Sekte Pedang Langit ataupun Kota Yinyue, bahkan aku pribadi, tidak pernah memiliki masalah dengan Kediaman Keberuntungan Besar hingga Nyonya Hong merasa perlu untuk mengirimkan Pasukan Hantu Kematian ke kediaman pribadiku," ujar Bu Hui, suara yang keluar dari bibirnya dingin dan datar, seperti hembusan angin yang membawa petir. Setiap kata terucap dengan penuh penekanan, meski tanpa emosi yang tampak di wajahnya.Sosok itu tetap tenang, namun aura misterius di sekelilingnya semakin padat. "Aku rasa Ketua Bu Hui sudah mengerti mengapa kami mengunjungi
Cui Xuegang dan Bu Hui bertarung sengit melawan Pasukan Hantu Kematian yang menyerang mereka serentak. Hembusan angin membawa aroma logam dari darah yang mulai menggenang. Dari kejauhan, Hong Li berdiri tegak, matanya menyipit memandang pertarungan yang penuh ketegangan itu."Mereka memang hebat," gumamnya seraya melihat satu per satu anggota Pasukan Hantu Kematian jatuh bergelimpangan, tersayat pedang pasangan itu."Jika mereka tidak hebat, mana mungkin mereka menjadi tetua di sekte," sahut pria bertopeng hantu dengan nada datar, meski suaranya menyiratkan kebanggaan yang terpendam.Hong Li tersenyum tipis, sudut bibirnya melengkung penuh arti. "Oh ya? Bagaimana bila dibandingkan Zhu Zijing dan Ren Jie?" tanyanya ringan, tetapi pandangannya melekat pada pria bertopeng itu, seakan ingin menggali lebih jauh.Pria bertopeng itu hanya menggerakkan tangan, memberi isyarat agar Hong Li menghentikan pertanyaan tak perlu. Dia menunjuk ke arah pertarungan
Ren Hui menggoyangkan tali kekang kudanya perlahan. Roda rumah kayu itu bergemeretak ringan, bergulir dengan ritme yang selaras dengan langkah kuda yang menyeretnya. Udara pagi membawa aroma dedaunan bambu dan gemericik air sungai Ombak Hijau yang mengalir di sisi jalan setapak. Di depan, Junjie menunggang keledai hitamnya, Lobak, yang melangkah santai sembari menikmati perjalanan."Kita kembali ke Utara. Tetapi tidak akan kembali ke Kota Beixing," ujar Ren Hui, suaranya hampir tenggelam di antara desau angin. Ia menoleh ke teras rumah kayu, tempat Song Mingyu bersandar santai. "Mingyu, kau sudah mengabari Nyonya Su Yang?" tanyanya."Iya, semalam. Kota Beixing menarik juga. Tetapi, terlalu panas di musim panas seperti ini," sahut Song Mingyu dengan gembira. Ia tampak sibuk membelai Baihua, rubah putih kecil yang duduk manja di pangkuannya.Baihua, rubah yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan mereka, melingkarkan ekornya dengan elegan. Te
Perjalanan menuju Kota Muyun terasa panjang dan melelahkan. Kota yang menjadi tujuan mereka berikutnya setelah Qingge ini terletak di sebuah lembah yang subur, penuh keindahan alam yang tiada duanya. Wilayah barat Kekaisaran Shenguang menyimpan banyak pesona, meski kadang terabaikan dalam kesunyian desa-desa kecil yang tersebar di sepanjang jalan.“Benar-benar hanya ada desa-desa kecil saja,” gumam Junjie, memandang hamparan ladang di kedua sisi jalan.Seperti biasa, pria pemalas itu menunggangi keledai hitamnya, mendahului rumah beroda yang perlahan dikendalikan oleh Song Mingyu. Debu tipis yang beterbangan di bawah sinar matahari pagi menyertai perjalanan mereka di jalanan sunyi.Setelah meninggalkan desa pertama sejak keluar dari Kota Qingge, mereka melanjutkan perjalanan menuju Kota Muyun, kota terakhir di wilayah barat sebelum batas wilayah tengah Kekaisaran Shenguang. Muyun terkenal dengan senjanya yang menakjubkan, di mana awan-awan jingga terlihat
Ren Hui memandang hamparan ladang bunga yang menguning seperti permadani emas di hadapannya. Aroma segar bercampur embun pagi menusuk lembut hidungnya, membawa perasaan tenang yang sukar diungkapkan kata-kata. Di kejauhan, asap tipis mengepul dari cerobong-cerobong rumah petani, melayang perlahan dibawa angin. Ia yakin, tak jauh dari ladang ini ada pemukiman kecil yang menawarkan keramahan.“Junjie! Mingyu! Aku hendak pergi ke rumah petani untuk membeli beberapa bahan makanan,” ujarnya sambil menoleh pada dua pria di belakangnya.Junjie tampak berbaring santai di atas rerumputan yang masih basah oleh embun, sementara Lobak—keledai kecil berbulu cokelat miliknya—sibuk mengunyah rumput segar. Sebaliknya, Song Mingyu tampak serius, memutar-mutar pedangnya dengan lincah, mempraktikkan teknik-teknik yang dipelajarinya.“Kau semakin mahir, Mingyu!” Ren Hui memuji, langkahnya mendekat. Kilatan kebanggaan terlihat di mata Song Mingyu saat dia menghentikan gerakann
Menjelang siang, Ren Hui dan Junjie kembali ke rumah beroda mereka. Kali ini mereka benar-benar mendapatkan banyak bahan perbekalan. Gerobak mereka penuh dengan bahan makanan, cukup untuk bekal perjalanan panjang ke depan. Angin musim panas yang kering bertiup lembut, membawa harum bunga canola yang sedang bermekaran di sekeliling ladang. Namun, meski aroma itu menenangkan, pikiran Ren Hui terusik oleh apa yang ia temui pagi tadi.“Di tempat seperti ini, memang sulit bertahan hidup,” Ren Hui berujar dengan nada datar, matanya menatap kosong ke arah ladang. Ia teringat wajah-wajah para petani yang penuh harap saat ia menawarkan obat-obatan dan kain. Ada sesuatu yang begitu menyentuh hatinya di sana.“Benar,” sahut Junjie dengan nada tenang. “Meski tanahnya subur, hasil panen melimpah akan sia-sia jika mereka tidak bisa menjualnya. Jarak ke kota besar terlalu jauh.” Tatapan Junjie menyapu horizon, ke arah yang bahkan tidak terlihat ujungnya.Ren Hui mengangg
Junjie duduk di kursi dekat jendela rumah beroda, menatap keluar dengan wajah muram. Mantelnya telah dilepas, namun hawa panas yang menggantung di udara malam membuat kulitnya tetap berkeringat. Ia menggerakkan kipas lipat kecil yang ia ambil dari meja, berusaha menyejukkan dirinya meski angin malam yang bertiup pun terasa enggan menyapa. Di sudut lain ruangan, Song Mingyu menunduk serius, pena bulunya bergerak lincah di atas kertas. Ia terlihat fokus menulis surat, sebagaimana yang sering ia lakukan akhir-akhir ini. Surat itu akan dikirimkan kepada ibunya, Nyonya Su Yang, yang tinggal jauh di Kota Lingyun. Sementara itu, aroma harum mulai memenuhi rumah beroda kecil mereka, berasal dari dapur sempit tempat Ren Hui sedang sibuk menyiapkan makan malam. Baihua, rubah putih yang setia menemani mereka, duduk diam di sudut dapur, matanya berbinar menunggu sesuatu yang lezat. "Ren Hui, apa yang kau masak?" Song Mingyu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari suratnya. "Sup iga deng
Mereka bertiga menatap pintu rumah beroda yang tertutup rapat. Malam itu hening, hanya ditemani hembusan angin yang membawa aroma lembap tanah dan dedaunan. Namun, keheningan itu pecah oleh suara ketukan. Awalnya pelan, seperti ragu, lalu berubah menjadi irama tetap yang mengundang rasa penasaran.Ren Hui mengangkat wajahnya dari mangkuk bubur jagung. "Aku akan membukanya. Mungkin saja itu petani yang membutuhkan bantuan," ujarnya, meletakkan mangkuknya ke meja dengan gerakan mantap.Junjie dan Song Mingyu saling pandang sebelum mengangguk. Mereka tidak menunjukkan kekhawatiran, namun tetap ada sedikit keheranan. Rumah beroda mereka tengah singgah di tempat terpencil, jauh dari pemukiman dan jalur ramai yang biasa dilalui para pengelana, apalagi di malam hari.Ren Hui melangkah perlahan ke arah pintu, memastikan tangannya tetap stabil saat menarik kait pintu. Ketika pintu terbuka, dia tertegun. Di hadapannya berdiri tiga sosok yang kontras dengan kegelapan
Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam