All Chapters of Takdir Cinta Sang Ahli Waris: Chapter 21 - Chapter 30
44 Chapters
21. Dia Akan Bertahan
Erika, mamanya Ruben menyalahkan Melanie atas apa yang terjadi dengan putranya, ia bahkan mengusir gadis itu dari rumah sakit saat keadaan Ruben masih kritis. Melanie berlari keluar dengan airmata yang mengintip di ujung matanya. "Tom, lo di sini aja biar gue yang temenin Melanie!" seru Rico, ia memberi isyarat agar tomi menelponya nanti. Lalu ia pun berlari keluar mengejar sahabatnya. Ia melihat Melanie keluar dari lobi, ia pun mempercepat langkahnya agar bisa meraih gadis itu. "Mel, tunggu!" serunya seraya menarik lengan Melanie. Membuat langkahnya terhenti. "Omongan Tante Erika nggak usah lo pikirin. Mungkin dia lagi panik aja!" katanya mencoba menghibur. "Tapi apa yang dia katakan benar, Ben seperti itu karena aku!" "Itu nggak benar!" seru Rico, "Dengarin gue Mel, lo itu sangat berarti buat Ruben. Lo yang jadi semangat baru buat dia. Lo jangan pernah berfikir untuk meninggalkannya!" "Tapi, Ric." "Sadar atau nggak Ben itu cinta sama lo!" tegasnya lagi. "Rico!" desis Melani
Read more
22. Kabur?
Ruben membuka matanya, ia melihat ke sekeliling. Dari cat tembok yang serba putih ia tahu bahwa dirinya berada di rumah sakit, tempat yang tak ia sukai. Detik kemudian ia tercekat,"Melanie!"Di mana Melanie?Ia melirik ke samping. Ada Tomi yang sedang duduk melamun. Ia memutar pandangannya, dilihatnya mamanya sedang menelpon seseorang, pasti papa. Pikirnya. "Tom!" desisnya. Tomi tersentak dan menghampirinya. "Ben, lo udah sadar. Syukurlah!" katanya girang karena sahabatnya sudah kembali, "Gimana keadaan lo?" "Remuk badan gue!" jawabnya dengan tawa kecil. Tomi ikut tertawa. "Bajingan kek lo terkadang emang pantes buat dihajar!" cibir Tomi. "Sialan lo!"***Tika duduk di tepian ranjang, sementara Dennis hanya berdiri memandangnya. Mendengarkannya bicara. "Maafkan aku, aku nggak bermaksud mengkhianatimu. Dia mengikutiku selama beberapa hari, aku sudah menghindar. Tapi dia bilang jika aku terus menghindar dia akan mengikutiku sampai masuk rumah. Jadi kupikir ... aku terima saja d
Read more
23. Aku Akan Betahan
Ben keluar dari mobil dibantu oleh Rico, mereka berjalan sedikit menjauh dari mobil. Melanie langsung meluncur turun dan memeluk Ben dengan erat. Air mata merembes dari kelopaknya. "Aku senang kamu sudah sadar, aku takut sekali!" desisnya sambil mempererat pelukannya, membuat Ben tak bisa napas. Dan kepalanya pun berputar-putar sedari tadi. "Mel, kepala gue pusing dan gue nggak-bisa ber-napas!" katanya dengan suara yang lemah. "Ah!" Melanie terperanjat, ia melepaskan pelukannya, "Maaf, aku terlalu senang bisa melihatmu lagi!" katanya menatap pemuda itu, Ben membalas tatapannya. Sejujurnya ia senang Melanie memeluknya seperti itu. "He'em-he'em!" Rico dan Tomi berdehem hampir bersamaan, membuyarkan lamunan keduanya. Melanie sedikit menunduk karena malu, Ben sendiri malah hampir ambruk lagi karena tubuhnya masih lemah. Beruntung Tomi ada di belakangnya sehingga bisa menopang. "Lebih baik kita masuk sekarang!" ajak Melanie. Mereka membawa Ben masuk dan membaringkannya di s
Read more
24. Mereka Kakak Beradik!
Melanie keluar dari kamar, ia tak melihat Ruben di sofa. Tapi ia mendengar bunyi di dapur, bunyi yang berasal dari sendok yang jatuh. Ia pun menghampiri ke sana. Dilihatnya Ben baru saja mengambil sendok dari lantai lalu menaruhnya ke wastafel. "Kamu sedang apa?" tanya Melanie. Ben menoleh, "Aku ... aku lagi bikin teh!" "Membuat teh?" heran Melanie, ia mendekat. "Seenggaknya aku bisa membedakan gula dan garam!" sambungnya, ia memberikan secangkir teh manis hangat kepada gadis itu. Melanie tersenyum lalu menerima dan meminumnya. "Ya, kamu nggak salah memasukan barang. Seharusnya kamu nggak perlu lakukan ini. Kamu kan masih sakit!" "Aku baik-baik saja. Lihatlah!" ia menunjukan dirinya yang memang sudah tampak lebih segar. Melanie menaruh cangkir itu di meja. "Coba kulihat lukamu!" katanya menangkup kepala Ruben dengan kedua tangannya. Ia mengamati wajah pemuda itu. "Sepertinya perbanmu perlu diganti!" Ben hanya diam memandangnya. Dalam keadaan seperti ini sangat jelas sekali, b
Read more
25. Kita Pacaran Saja!
Melanie masih diam terpaku di depan pintu melihat sosok yang berdiri tegap di depannya. "Kak Dennis!" desisnya. Meski sulit mulutnya berucap tapi sapaan itu akhirnya keluar juga. Dennis memandangnya tajam, dari belakang Dennis ada seseorang yang muncul "Tante Erika!" desisnya lagi. Sekarang Melanie semakin panik, ia berpegang daun pintu untuk menopang tubuhnya agar tak roboh. "Kamu jangan senang dulu, kami membiarkan Ben menginap di rumahmu bukan berarti kami setuju dengan hubungan kalian!" seru Dennis. "Apa saja yang kamu lakukan bersama Ruben?" tanya Erika. "Kami nggak melakukan apa pun!" "Rubbish!" maki Erika sambil melayangkan sebuah tamparan ke wajah Melanie. Membuat wajahnya terlempar ke samping, Melanie memegang pipinya yang merah dan panas. Perlahan ia mengangkat wajahnya. "Aku nggak akan membiarkan putraku terus kamu perdayai, jika kamu ingin selamat jauhi Ruben!" "Tapi_""Apa insiden di lapangan basket belum cukup bagimu, kamu masih ingin yang lebih dari itu?" seru
Read more
26. Insiden Di Rumah Melanie
"Lo jatuh cinta sama seseorang, siapa?" tanya Vera. "Ntar juga lo tahu!" "Gue denger soal insiden di lapangan basket. Nampaknya parah banget, lo nggak patah tulang kan?" tanyanya sedikit cemas "Kalau ada yang patah nggak mungkin gue bisa ke sini, kali!" "Syukurlah!" "Abis ini lo jangan kek gitu lagi, gue yang repot tahu nggak!" kesal Ben. Vera tertawa kecil. "Maaf. Tapi gue tetap senang kok lo mau kesini, makasih ya!" Ben terdiam, ia jadi ingat sms yang ia dapat dari Artika. Kira-kira apa yang mau dia omongin ya? Ben jadi penasaran. Apa dia telepon sekarang saja dan minta ketemu. "Ver, gue balik dulu ya, kepala gue masih dikit pusing nih!" bohongnya. "Kalau kepala lo pusing seharusnya loe jangan nyetir mobil sendiri!" "Nggak apa-apa kok, udah biasa!" jawabnya berdiri. Ya, dulu dia sering menyetir mobil dengan keadaan setengah mabuk. Tapi tak pernah kecelakaan tuh. Tuhan aja yang masih sayang sama nyawanya. Akhirnya Ben pulang dari kediaman Vera, dalam perjalanan ia menelpo
Read more
27. Cuma Kamu
Ben dan Melanie duduk di ruang tengah, gadis itu diselimuti jacket hitam Ruben. Ia menunduk diam, ekspresi shok masih terlihat di wajahnya. Tadi Ben sudah memberinya minum dan mencoba menenangkannya. "Seharusnya ... aku bisa datang lebih awal, nggak-nggak ... harusnya aku nggak membiarkan kamu tinggal sendiri, aku nggak habis pikir deh, kenapa Fiki bisa berbuat sampai senekat itu? Kenapa ... dia mengincarmu, aku masih nggak ngerti!" heran Ben. Melanie mengangkat wajahnya, menatap pemuda di sampingnya. Bagaimana aku katakan padamu bahwa aku tahu kenapa Fiki lakukan itu padaku? Bagaimana aku katakan padamu bahwa kak Dennis dan mamamu ada dibalik semua kejadian ini. Aku nggak mau kamu membenci mereka, aku nggak mau itu. Air matanya mengalir lagi. Sekarang aku harus bagaimana? Mereka nggak hanya mengancamku tapi semua ini ... semua ini mereka lakukan padaku. Aku takut Ben, aku sangat takut! Melanie tak berani berucap, ia bahkan tak tahu harus bagaimana sekarang. Ben melihat air ma
Read more
28. Gue Udah Rela Putus Dari Ruben
Ben dan Fredy serta beberapa teman mereka sampai di rumah Pram, sepupu Fiki. Pram termasuk anak yang baik, sebenarnya ia juga kurang akrab dengan sepupunya itu. Tapi ia sering menampungnya jika Fiki sedang ada masalah atau dicari orang. Mereka menggedor pintu rumah sederhana itu, seorang anak seumuran Ben membuka, dialah Pramono. Panggil saja Pram. Anak itu mengamati semua orang yang berdiri di depan rumahnya. Ia sudah bisa menebak pasti sepupunya itu bikin ulah lagi. "Sorry, nyari siapa?" "Lo tahu kita nyari siapa?" suara Fredy dipenuhi amarah.Kali ini Pram akan jujur sajalah "Fiki maksudnya, tapi sorry bro. Orangnya nggak ada di sini, sekarang tempat ini udah tutup jadi tempat persembunyiannya!" "Jangan bohong lo, suruh dia keluar?" "Kalau lo semua nggak percaya, geledah aja sendiri. Tapi jangan bantingin barang, emak gue bisa marah!" pesannya. Fredy dan dua temannya masuk sambil menyingkirkan Pram dari depan mereka. Mereka pun menyisir seisi rumah tapi nihil. Anak itu tidak
Read more
29. Yang Harus Kamu Pikirkan Adalah Kebahagiaan Adikmu
Setelah tak berhasil mencari Fiki Ben menemui Artika di dermaga. Seperti biasa ia datang tanpa menyapa, langsung duduk di samping gadis itu. Artika menoleh lalu menutup bukunya. "Kamu bilang ada yang penting yang ingin kamu bicarakan?" tanya Ben seolah sudah lupa dengan pertanyaannya tempo hari. "Bukankah kamu yang memintaku memberi keputusan. Untuk itulah aku minta bertemu, kamu lupa?" "Maaf. Akhir-akhir ini terjadi masalah yang cukup serius dan itu membuatku sibuk. Aku jadi nggak memikirkan soal tempo hari," jawabnya jujur. "Sepertinya begitu." "Maaf, jika aku sempat ingin mengacaukan hubunganmu dengan calon suamimu. Tapi sekarang kau nggak perlu khawatir. Kamu bisa tetap bersamanya!" "Apa maksud kamu?" "Mungkin saat itu aku terlalu na'if dan percaya diri menyatakan perasaanku sama kamu padahal aku sendiri belum yakin!" ungkapnya,"Aku masih nggak mengerti." "Aku baru menyadari sesuatu. Sesuatu yang seharusnya sedari dulu aku sadari. Tanpa sadar ... selama ini aku telah bany
Read more
30. Jadilah Anak yang Baik
Ruben duduk di depan piano, jari jemarinya menari di atas tuts piano, melantunkan nada demi nada. Membentuk irama yang indah. Ia sedang memainkan Moonlight kesukaan Melanie. Melanie sendiri berdiri bersandar badan piano, kedua lengannya ia tidurkan di atas badan piano itu, dagunya ia sanggakan di atas lengannya. Matanya lekat ke wajah Ben yang sedang asyik memainkan sebuah lagu untuknya. Melanie menyunggingkan senyum yang menawan, sudah lama mereka tidak seperti itu. Permainan piano Ruben memang indah, ia sangat berbakat dalam bidang itu. Ben menyelesaikan lagu itu sambil melirik gadis di sampingnya. "Permainan kamu tambah bagus!" puji Melanie. "Terima kasih, Nona. Tapi rasanya nggak adil jika Anda hanya menonton. Bersediakan Anda menyumbangkan sebuah lagu?" pintanya sambil bercanda. Melanie tertawa merdu. "Aku sedang malas menyanyi!" tolaknya. "Ayolah, please!" seru Ben sambil mengatupkan kedua belah telapak tangannya untuk memohon dengan wajah yang memelas pula, "Sudah lama aku
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status