Ben dan Melanie duduk di ruang tengah, gadis itu diselimuti jacket hitam Ruben. Ia menunduk diam, ekspresi shok masih terlihat di wajahnya. Tadi Ben sudah memberinya minum dan mencoba menenangkannya. "Seharusnya ... aku bisa datang lebih awal, nggak-nggak ... harusnya aku nggak membiarkan kamu tinggal sendiri, aku nggak habis pikir deh, kenapa Fiki bisa berbuat sampai senekat itu? Kenapa ... dia mengincarmu, aku masih nggak ngerti!" heran Ben. Melanie mengangkat wajahnya, menatap pemuda di sampingnya. Bagaimana aku katakan padamu bahwa aku tahu kenapa Fiki lakukan itu padaku? Bagaimana aku katakan padamu bahwa kak Dennis dan mamamu ada dibalik semua kejadian ini. Aku nggak mau kamu membenci mereka, aku nggak mau itu. Air matanya mengalir lagi. Sekarang aku harus bagaimana? Mereka nggak hanya mengancamku tapi semua ini ... semua ini mereka lakukan padaku. Aku takut Ben, aku sangat takut! Melanie tak berani berucap, ia bahkan tak tahu harus bagaimana sekarang. Ben melihat air ma
Ben dan Fredy serta beberapa teman mereka sampai di rumah Pram, sepupu Fiki. Pram termasuk anak yang baik, sebenarnya ia juga kurang akrab dengan sepupunya itu. Tapi ia sering menampungnya jika Fiki sedang ada masalah atau dicari orang. Mereka menggedor pintu rumah sederhana itu, seorang anak seumuran Ben membuka, dialah Pramono. Panggil saja Pram. Anak itu mengamati semua orang yang berdiri di depan rumahnya. Ia sudah bisa menebak pasti sepupunya itu bikin ulah lagi. "Sorry, nyari siapa?" "Lo tahu kita nyari siapa?" suara Fredy dipenuhi amarah.Kali ini Pram akan jujur sajalah "Fiki maksudnya, tapi sorry bro. Orangnya nggak ada di sini, sekarang tempat ini udah tutup jadi tempat persembunyiannya!" "Jangan bohong lo, suruh dia keluar?" "Kalau lo semua nggak percaya, geledah aja sendiri. Tapi jangan bantingin barang, emak gue bisa marah!" pesannya. Fredy dan dua temannya masuk sambil menyingkirkan Pram dari depan mereka. Mereka pun menyisir seisi rumah tapi nihil. Anak itu tidak
Setelah tak berhasil mencari Fiki Ben menemui Artika di dermaga. Seperti biasa ia datang tanpa menyapa, langsung duduk di samping gadis itu. Artika menoleh lalu menutup bukunya. "Kamu bilang ada yang penting yang ingin kamu bicarakan?" tanya Ben seolah sudah lupa dengan pertanyaannya tempo hari. "Bukankah kamu yang memintaku memberi keputusan. Untuk itulah aku minta bertemu, kamu lupa?" "Maaf. Akhir-akhir ini terjadi masalah yang cukup serius dan itu membuatku sibuk. Aku jadi nggak memikirkan soal tempo hari," jawabnya jujur. "Sepertinya begitu." "Maaf, jika aku sempat ingin mengacaukan hubunganmu dengan calon suamimu. Tapi sekarang kau nggak perlu khawatir. Kamu bisa tetap bersamanya!" "Apa maksud kamu?" "Mungkin saat itu aku terlalu na'if dan percaya diri menyatakan perasaanku sama kamu padahal aku sendiri belum yakin!" ungkapnya,"Aku masih nggak mengerti." "Aku baru menyadari sesuatu. Sesuatu yang seharusnya sedari dulu aku sadari. Tanpa sadar ... selama ini aku telah bany
Ruben duduk di depan piano, jari jemarinya menari di atas tuts piano, melantunkan nada demi nada. Membentuk irama yang indah. Ia sedang memainkan Moonlight kesukaan Melanie. Melanie sendiri berdiri bersandar badan piano, kedua lengannya ia tidurkan di atas badan piano itu, dagunya ia sanggakan di atas lengannya. Matanya lekat ke wajah Ben yang sedang asyik memainkan sebuah lagu untuknya. Melanie menyunggingkan senyum yang menawan, sudah lama mereka tidak seperti itu. Permainan piano Ruben memang indah, ia sangat berbakat dalam bidang itu. Ben menyelesaikan lagu itu sambil melirik gadis di sampingnya. "Permainan kamu tambah bagus!" puji Melanie. "Terima kasih, Nona. Tapi rasanya nggak adil jika Anda hanya menonton. Bersediakan Anda menyumbangkan sebuah lagu?" pintanya sambil bercanda. Melanie tertawa merdu. "Aku sedang malas menyanyi!" tolaknya. "Ayolah, please!" seru Ben sambil mengatupkan kedua belah telapak tangannya untuk memohon dengan wajah yang memelas pula, "Sudah lama aku
Ben menelepon Vera ketika sampai di depan rumahnya. Gadis itu berhambur keluar menghampiri mobil Ruben. Melanie sudah keluar dari mobil. "Hai Mel, sudah pulang?" tanyanya. "Sorry, keasyikan main kita jadi lupa kalau udah malam!" jawab Ben yang hanya menongolkan kepalanya dari kaca mobil. "Namanya juga lagi dimabuk cinta, pasti lupa waktu!" cetus Vera. Ben tersenyum, "Gue titip pacar gue ya, jagain loh!" balas Ben pada Vera. "Beres, aman kok! " Ben menoleh Melanie. "Inget ya, jangan ke mana-mana!" "Memangnya aku mau ke mana? Aku bukan tukang kelayapan seperti kamu!" "Sudah pulang sana, ini sudah malam!" usir Vera lalu menarik Melanie menjauh dari Ben dan masuk ke dalam rumah, kalau tidak begitu Ben tidak akan pulang-pulang. Akhirnya Ben memutar mobilnya juga dan meninggalkan rumah Vera. Malam itu Handy Wirata sudah ada di rumahnya kembali. Saat Ben memasuki rumah, papanya menghentikan langkahnya tepat di depannya di ruang tamu. "Dari mana saja, kebiasaanmu belum sembuh terny
Ben masih terdiam setelah mendapat telepon dari Vera. Melanie pergi. Orangtuanya datang ke rumah Vera dan mengancam semua yang ada di sana, itu sebabnya Melanie pergi. Ia kenal gadis itu, gadis yang tak pernah ingin menyakiti siapa pun. Ben pikir Melanie akan aman di rumah Vera, ternyata itu salah. Ia lupa siapa orang tuanya, tentu saja. Mereka akan sangat mudah menemukan Melanie dan berusaha membuat mereka terpisah. Rico menepuk bahunya. "Ada apa? Gue denger Melanie pergi. Pergi ke mana?" tanya Rico. "Entahlah, gue nggak tahu!" jawabnya. "Gue rasa kita harus pergi sekarang, kita cari Melanie!" tambah Rico. Mereka akhirnya berlari keluar sekolah, menuju mobil masing-masing. Tapi mereka tak pergi satu arah, mereka menyebar agar lebih mudah menemukan temannya. Melanie bejalan mengikuti kakinya, ia menyeka airmatanya sendiri. Maafkan aku, Ben. Aku nggak bisa menepati janjiku. Aku harus pergi!Ia sendiri tak tahu harus ke mana sekarang? Ia tak punya siapa pun. Sebenarnya ia tak cuk
Ben menatap Melanie dalam, ia berjanji untuk melindunginya. Tapi ia selalu saja membiarkan gadis itu tersakiti, ia selalu datang terlambat menolongnya. "Masuk yuk!" ajak Ben. "Apa?" sahut Melanie. "Pakaianmu kan basah, kita perlu ganti pakaian jika nggak ingin sakit!" jelasnya. Untuk saat ini Ben belum mau membahas peristiwa tadi. Itu pasti akan membuat Melanie sedih dan terluka. Ben keluar dari mobil, ia berjalan memutar dan membukakan pintu untuk Melanie. Melaniepun keluar dari mobil. Ben menuntunnya masuk ke salah satu butik. Begitu masuk seorang wanita cantik menghampiri mereka. "Selamat datang, silahkan!" serunya. Dia karyawan butik itu. "Ehm ... Mbak tolong bantu teman saya memilih baju yang cocok!" pinta Ben. Wanita itu mengangguk dan menuntun Melanie untuk memilih baju di bagian wanita. Ben sendiri memilih pakaian untuk dirinya sendiri. Ben duduk di sebuah kursi yang tersedia, menunggu Melanie selesai ganti pakaian. Tak terlalu lama, Melanie bukan wanita yang ribet dala
Selama dalam perjalanan di dalam mobil Melanie dan Ben diam. Amarah jelas terlihat sekali di wajah Ben, ia tak menyangka kalau ternyata semua yang terjadi dengan Melanie memang atas perintah keluarganya. Melanie menoleh, memerhatikan ekspresinya. "Ben, seharusnya kamu nggak berbicara kasar pada orangtamu, apalagi di depan banyak orang!" nasehatnya. "Mereka memang salah!" "Tapi nggak seharusnya kamu bersikap seperti itu. Bagaimana pun mereka orangtuamu, kamu harus tetap menghormati mereka!" "Menghormati kamu bilang? Apa kamu pikir mereka pantas untuk dihormati?" gerutunya mencengkeram setir. "Ben!" "Mereka yang membayar Fiki untuk melecehkanmu di depan mataku, mereka juga membayar Fiki untuk memperkosamu rame-rame!" teriak Ben. "Ben!" "Kamu dilecehkan di depanku. Fiki hampir memperkosamu dua kali, dan kamu masih bisa memaafkan mereka? Kamu masih bisa memaafkan merekaaa!" teriak Ben sambil membanting setir dan menginjak rem dengan geram. Membuat Melanie terkejut. Mobil itu mena