Semua Bab Wanita Gila Mencari Cinta: Bab 91 - Bab 100

121 Bab

Ikut Hilang

"Maksud kamu apa, Tomy?" ulang Safira. Tomy mendesah kesal. Dia sudah menerangkan pada ibunya sebanyak dua kali. "Pelayan menumpahkan saus ke bajuku. Aku terpaksa ke kamar mandi. Lalu saat aku kembali, mereka sudah tidak ada. Aku melihat sekretaris Brian di sana tengah membayar. Saat kutanyai, dia bilang kalau mbak Aster keluar bersama seorang pria. Sementara Brian dia baru saja pergi," ulang Tomy. "Kamu tidak meminta CCTV? Kamu sudah memeriksa di luar?" "Aku sudah berkeliling di luar. Tapi pihak restoran tidak memberiku akses CCTV. Sekuriti bilang dia melihat mbak Aster keluar sendiri." Rendra berkacak pinggang. "Aku akan menemui anak itu," putus Rendra. Dia bergegas pergi dari rumah. Putra bungsu menyusul. "Aku ikut, Pa. Dia tadi tahu aku ada di sana," ujar Tomy. Ren
Baca selengkapnya

Terbangun Dalam Gelap

Badan Aster rasanya remuk redam. Dia tidak ingat apa yang terjadi. Setelah Brian membawanya dari restoran. Tidak! Bagaimana dengan nasib Tomy? Brian telah menyakiti Tomy untuk memaksa Aster pergi dengannya. Setelah Aster mengikutinya, apa Tomy sudah dibebaskan? Bagaimana pula kalau mereka jadi mencari Aster? Mengapa menjadi runyam seperti ini keadaannya. Aster tidak tahu harus bertindak apa. Apa lagi ketika dia membuka mata, hanya kegelapan yang menyapa. Sampai dia berpikir apa masih tak sadarkan diri. Atau dia menjadi buta! Perlahan mata Aster mulai beradaptasi. Dia bangun hati - hati. Bertumpu pada dinginnya..., lantai beton? Mungkin kah dia berada di ruang bawah tanah? Gelap, dingin, dan berlantai beton. "Arrggh!" pekik Aster ketika tangannya didekati sesuatu. Suara decit hewan pengerat. Aster pun menarik lutut. Dia memelu
Baca selengkapnya

Dirantai

Perih mengiris kulit. Bau anyir menusuk indera. Seketika kedua matanya terbuka. Dia terbaring di tempat tidur. Aster menarik tangannya. Namun suara besi menyentak. Kedua tangannya dirantai ke pilar tempat tidur. Begitu pula kakinya. Kepalanya berdesing saat dia bergerak. Bau anyir makin menusuk. Rasa lengket di dahinya. Dia menduga dahinya telah terluka. "Jangan banyak gerak," hardik Brian. Aster memandang benci pada pria itu. Dia bernafas terengah - engah menahan amarah. "Kamu nggak akan dapat apa - apa," sengal Aster. "Oh, ya? Itu kan menurut kamu, Aster. Lebih baik kamu diam saja," timpal Brian. Dia duduk di sebelah Aster. Tangannya terjulur ke arah wajah wanita
Baca selengkapnya

Rumah Di Tebing

Rumah itu. Aster mengenalinya. Rumah yang menjadi latar belakang foto David dan Brian. Namun saat ini hanya ada Brian. Pria yang menarik Aster tanpa ampun ke dalam rumah tersebut. Bau lembab menyambut. Brian menyalakan lampu. Lalu membawa Aster menuju salah satu ruang di lantai bawah. Entah apa yang akan Brian perbuat. Aster masih waswas. Untuk melarikan diri, tempat ini terlalu jauh dari mana pun. Belum lagi ke arah mana dia harus lari. Di jalan tadi hampir tidak bertemu kendaraan lain. Akan sulit mencari pertolongan. Dia dipaksa masuk ke ruangan tersebut. Begitu gelap dan pengap. Bayangan ketika dia berada di ruang bawah tanah membuat Aster berseru menolak. "Keluarkan aku dari sini!" seru Aster. Dia menggedor pintu yang Brian kunci dari luar. Pria itu tidak menjawab apa pun. Pintu bergeming. Aster melorot turun menyentuh daun pintu. Tunggu. Pasti ada saklar lampu. Aster bangkit berdiri. Dia meraba - raba dinding. Sampai menemukan sesuatu yang menonjol dan bisa diteka
Baca selengkapnya

Melarikan Diri

Aster mencoba membuka pintu. Namun tidak bergerak sedikit pun. Brian menguncinya dari luar. Terlihat jendela kaca besar di sisi ruangan. Aster bergerak ke sana. Beruntung benda itu bisa digerakkan. Aster mendorongnya perlahan. Takut benda ikut mengeluarkan suara yang akan menarik perhatian Brian. Beruntung engselnya tidak macet. Rumah ini meski lama tidak ditempati tapi masih terawat. Aster pun melongokkan kepala. Di bawah terbentang halaman berpaving. Ada rumput liar yang tumbuh. Hanya saja tidak banyak. Tidak akan bisa menahan tubuh Aster dengan aman. Kalau Aster nekat melompat keluar, dia bisa remuk seketika. Aster pun menutup jendela kembali. Dia sudah puas melihat posisinya. Kamar itu berada di sisi bangunan. Begitu keluar dari jendela, dia akan berada di samping rumah. Terlihat ada jalan setapak. Aster bisa mengikuti jalan setapak itu. Asal dia menjauh dari suara ombak, maka akan am
Baca selengkapnya

Menjalankan Rencana

Kepala Aster begitu berat. Bunyinya tidak nyaman. Ada ketakutan kalau dia mengalami gegar otak. Sudah berapa kali dia jatuh dan kepalanya terantuk benda keras. Bisa saja dia kehilangan banyak ingatan. Belum lagi tekanan jiwa yang menimpa. Kalau Aster menjadi gila, dia tidak akan kaget. Malahan akan dia terima dengan lapang dada. Dia bangun dan mendapati hari sudah gelap. Malam hari. Namun entah malam yang kapan. Tidak tahu berapa lama dia telah tak sadarkan diri. Bisa jadi baru beberapa jam. Atau malah sudah berapa hari. Dia tidak bisa membuang waktu. Aster memeriksa temuannya di bawah bantal. Masih ada di sana semua. Secara berjingkat, Aster turun dari tempat tidur. Dia menempelkan telinga ke pintu. Berharap dapat mendengar suara dari luar. Tiada gerakan di luar sana. Keheningan yang tidak merayapkan bunyi apa pun. Brian entah berada di mana. Mungkinkah Brian pergi dari rumah? Aster bergerak ke jendela. Dia mengintip ke halaman. Tidak bisa terlihat benda di depan ru
Baca selengkapnya

Kabur Segera

"Tunggu!" seru Aster setelah memikirkan. Dia menyebutkan alamat rumah baru yang David berikan pada Aster. Dalam hati Aster berharap di sana tidak ada sesuatu yang dicari Brian. Dengan tenang Aster memandang Brian agar dia tidak curiga. Biar yakin Aster tidak memberi alamat palsu. Juga betapa dia tidak ingin Brian merebut rumah itu darinya. Senyum sengit terbit di bibir Brian. Dia balas menatap Aster yang berdiri merunduk. Tak ada kata lain. Namun Aster yakin, begitu Brian berbalik badan dan keluar kamar, pria itu bergegas menyuruh anak buahnya menuju ruma baru David dan Aster. Atau mungkin malah dia yang pergi sendiri ke rumah tersebut. Bisa jadi pilihan kedua adalah hal yang paling mungkin. Aster perlahan mulai tahu tabiat Brian. Pria itu memiliki ego yang tinggi. Juga tingkat kepercayaan pada orang yang tidaklah enteng. Jika benar, maka kesempatan bagi Aster untuk kabur akan datang lebih cepat. Aster menanti tak sabar. Dia menempelkan telinga ke pintu. Mungkin ketika e
Baca selengkapnya

Ke Arah Mana

Aster kehilangan sepatu sejak dilempar Brian ke ruang bawah tanah. Dia tidak memikirkan mencari alas kaki sewaktu berada di kamar rumah tebing. Sekarang dia menahan perih tiap kakinya menapak pada permukaan bebatuan. Dia berhati - hati menghindari rerumputan. Rumput berduri bisa bersembunyi di antaranya. Jalan setapak yang dia lihat tidak lah semulus dalam bayangan. Suara ombak makin terdengar, membuat Aster berhenti. Dia harus menjauhi ombak agar bisa ke jalan raya. Kalau ombak malah makin terdengar, artinya dia salah arah. Namun, bisa saja dia menemukan pertolongan dari orang yang ada di sekitar pantai. Kalau saja ada orang di sana. Pun jika orang - orang baik yang mau menolong. Aster mengeliminasi opsi ke arah pantai. Dia harus menelusuri jalan. Itu hal teraman. Kalau naik ke jalan langsung, Brian bisa menemukannya. Berbeda ketika dia berjalan sejajar jalan. Sulit bagi Brian untuk turun dengan mobilnya ke tanah. Dan matahari makin turun. Langit mulai menjadi lembayung.
Baca selengkapnya

Pertolongan Pertama

"Farah, ajak Aster membersihkan diri. Juga pinjamkan dia baju dan sandalmu. Terus ambilkan air hangat dalam baskom dan kotak P3K," ujar Bahar tenang. Farah mengangguk. Dia menjulurkan tangan. Meski Aster tidak langsung menerimanya. "Jangan takut, Mbak. Kamar mandi di dalam bersih kok," ujar Farah. Aster menoleh pada Bahar. Pria itu mengangguk. Dia lalu beralih kembali pada pekerjaannya. Aster pun mengikuti Farah masuk ke dalam bangunan. Di sana begitu besar dan luas. Ada banyak tumpukan aneka potongan kayu dan berbagai mebel. Tidak ada yang mencurigakan. Farah membawanya melewati sederet rak berisi perkakas. Lalu berbelok ada semacam pantry dan dapur kecil. Di sebelahnya ada pintu menuju kamar mandi. "Aku ambilkan baju ganti. Mbak sila membersihkan diri terlebih dahulu. Di dalam ada cermin, jangan kaget," kata Farah lirih. Aster hanya mengangguk. Dia masuk ke kamar mandi. Rasanya dia memang memerlukan kamar mandi. Namun ada hal yang membuat Aster agak heran. Jangan kag
Baca selengkapnya

Lebih Baik

Bahar mempertahankan tatapan penuh penghakiman. Begitu Aster yang bersikukuh. Mereka bagai beradu mata. Suasana canggung itu tampaknya turut dirasakan kedua anak Bahar. Mereka beringsut tak nyaman di tempatnya duduk. Farhan lah yang pertama berujar. "Pak, kalian berdua kenapa?" tegur Farhan cemas. Aster berdeham. Dia menyentuh kantong serut di balik bajunya. Masih aman tidak diketahui. "Siapa yang menurut Anda lebih murah hati, Brian atau David?" tanya Aster memeriksa. Pria yang tampaknya hampir separuh baya itu diam. Selayaknya tengah mempertimbangkan. Pandangannya tajam memperhatikan Aster secara saksama. "Brian akan mencarimu sampai di sini. Sebaiknya aku mengantarmu pergi dari tempat ini segera," jawab Bahar mengagetkan Aster. "Di-dia tahu Anda? Ta-hu tempat ini?" sahut Aster gagap. Sayangnya anggukan Bahar bukan jawaban yang Aster inginkan. Lemas seketika badan Aster. Dia merunduk menopangkan tangan ke kursi. "Kemana aku harus mengantarmu?" ujar Bahar tenang.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
8910111213
DMCA.com Protection Status