Beranda / Romansa / Perjanjian Terlarang / Bab 251 - Bab 260

Semua Bab Perjanjian Terlarang: Bab 251 - Bab 260

281 Bab

Pria itu Tak Terduga

Lagi. Abihirt bertanya seakan ingin memastikan sesuatu. Sesuatu yang Moreau yakini pria itu sudah menemukan jawabannya. Dia menggeleng terlalu samar sebagai respons pertama. Memang, cukup tertarik untuk membuat tato. Hanya saja, selalu ada batasan sekadar tidak melangkahi aturan. “Kau tahu ibuku tidak akan setuju. Dia akan marah saat tahu aku memiliki tato di tubuhku.” Mengenal prinsip Barbara merupakan salah satu bagian terpenting. Wanita itu berpakaian modern, tetapi cukup kolot jika sudah menyangkut sesuatu tentang dirinya. Moreau tak ingin mengambil risiko, meski rayuan di puncak kepala terasa masuk akal, sementara dia harus berusaha keras menyangkal. Tiba – tiba Abihirt beranjak bangun dan menatap lamat ke arahnya. Tersirat suatu hal yang sedang dipikirkan, tetapi masih terlalu samar untuk dimengerti, mengapa, ada apa; jauh lebih mengejutkan ketika pria itu mulai mengatakan sesuatu. “Buka bajumu.” Bibir Moreau tanpa sadar terbuka menafsirkan apa y
Baca selengkapnya

Buka Semuanya

Tidak ada yang lebih buruk ketika pria itu mengambil peran. Moreau segera menggeleng tidak setuju. Membuka baju sendiri atau ditelanjangi oleh ayah sambungnya sama sekali bukan pilihan. Dia tak akan pernah mendapat kesempatan sekadar mengajukan keputusan. Percuma, andai, berusaha tetap menolak. “Kau bisa mundur beberapa meter di sana.” Dengan penuh tekad Moreau menyingkirkan lengan Abihirt. Sedikit tidak peduli jika pria itu akan menganggap tindakan demikian sebagai sikap kurang ajar. Suara ranjang bederak menengaskan bahwa Abihirt sepakat kembali menjulang tinggi. Perlu digaris bawahi kalau – kalau mata kelabu yang menatap tajam tidak pernah meninggalkan setiap detil tindakan Moreau; persis saat dia menggenggam ujung kain yang membalut di tubuhnya. “Bisa kau tutup sebentar mata-mu, Abi?” Tetap berharap ada toleransi tertentu ketika pemandangan untuk bertelanjang tak langsung dilahap habis oleh Abihirt. Moreau ingin sedikit privasi, meski pada akhirnya itu ak
Baca selengkapnya

Lebih Lebar

Moreau yakin wajahnya sudah akan memerah merasakan atmosfer mendadak berubah di antara mereka. Hanya saja, setiap apa pun yang Abihirt lakukan nyaris tidak memberi petunjuk. Dia terkejut mendapati tiba – tiba pria itu membungkuk, lalu menarik lepas dalaman berenda untuk digenggam erat, dengan urat tangan mencuak di sana. “Buka kakimu lebih lebar, Moreau.” “A—apa?” Moreau hampir tersedak ludah sendiri saat mengajukan pertanyaan. Sialan, dia tak bisa menghadapi permintaan ayah sambungnya yang terasa konyol. Membuka kaki lebih lebar, sungguh? Sambil menengadah tinggi, Moreau memastikan iris biru terangnya menatap Abihirt skeptis. Segera menggeleng ketika menyadari pria itu masih menunggu. Kali ini akan berusaha tidak menurut. “Kau jangan lakukan sesuatu yang aneh di sini, Abi.” Dia bicara sekali lagi hanya untuk mendapati mata kelabu ayah sambungnya menyiratkan kilatan yang begitu singkat. Abihirt tidak akan mengatakan sesuatu lebih panjang sekadar membuj
Baca selengkapnya

Studio Tato

“Kau akan membuat tato?” Dia segera berpaling, menengadahkan wajah sekadar menatap ayah sambungnya. Sedikit sadar bahwa pria itu terlihat tidak memiliki minat apa pun. Sejak awal hanya menemani Moreau sekadar memperhatikan beberapa hal, tetapi belum muncul sedikitpun kesiapan dalam menjatuhkan pilihan.Setelah pelbagai desakan yang meluap bersamaan, dia tidak yakin akan benar – benar membuat tato, membiarkan tinta permanen masuk ke lapisan pigmen di kulitnya. Sedikit meringis membayangkan jarum yang bergerak dan menusuk – nusuk. “Aku pikir kau ingin menambah tato.” Sambil meneruskan, Moreau secara naluriah menyentuh contoh gambar burung yang terasa kasar di ujung jari. Ini menyenangkan. Lebih adil jika pada akhirnya dia hanya datang menemani Abihirt, meski sekarang mata kelabu pria itu mulai menatap penuh penilaian. “Kau tidak ingin punya tato sendiri?” Suara serak dan dalam ayah sambungnya terdengar begitu dekat. Moreau menelan ludah kasar, mendadak dapa
Baca selengkapnya

Penjepit Puting

Sempat dimintai menunggu beberapa waktu di sini, tak membuat Moreau tersulut oleh keterpakuan. Memang tidak ada petunjuk ke mana Abihirt pergi setelah mereka menginjakkan kaki di mansion mentereng dan jauh dari pengetahuan Barbara; pria itu hanya mengantarnya supaya tetap diam di satu ruang begitu hampa. Hanya dilengkapi beberapa peralatan yang tidak begitu asing lagi usai mereka meninggalkan studio pembuatan tato. Perlu Moreau garis bawahi bahwa dia tak melakukan apa pun di sana. Paling tidak, mendapatkan tato di salah satu bagian tubuh. Mereka langsung pergi setelah urusan Abihirt selesai. Ya, ketika urusan pria itu selesai, sementara tidak terselip informasi di tempat ini mulai menunjukkan sesuatu secara spesifik. Moreau tidak mengerti bagaimana ayah sambungnya memiliki pelbagai alat pembuatan tato lengkap dengan bahan sekali pakai, dan pria itu masih mengajak pergi ke suatu tempat hanya untuk memperkenalkan beberapa hal, di mana Moreau dapat menduga – duga perangkat
Baca selengkapnya

Terangsang

Tidak tahu mengapa Moreau seolah terjebak, nyaris tak dapat mengatakan apa – apa sekadar menjatuhkan pilihan yang membingungkan. Masih menatap ragu pada klip di tangan Abihirt, tetapi kemudian pria itu mengambil tindakan sekadar menyentuh lengannya lembut. Menuntun supaya dia menurut; menjatuhkan bokong dengan tenang di kursi panjang, berbentuk agak bergelombang; persis seorang gadis patuh, lalu mengambil posisi telentang—setengah berbaring sambil menatap wajah Abihirt yang tak terbaca. “Kau bisa memintaku berhenti jika merasa sakit.” Tidak ada petunjuk spesifik tentang pernyataan tersebut. Moreau menelan ludah kasar menghadapi gerakan tangan yang terasa mulai mendekat. Seperti ada aliran listrik menyengat ketika tanpa sengaja kulit mereka bersentuhan. Perlahan Abihirt menyelipkan klip bercabang di antara puting-nya. Atmosfer masih terasa cukup menegangkan. Ujung jemari pria itu sempat mengusap puncak payudara yang mengeras. Menatap ke arah Moreau seakan – akan sed
Baca selengkapnya

Memulai

“Mengapa kau jarang sekali tersenyum?” Lagi. Moreau kembali mengajukan pertanyaan. Yakin akan ada hal yang sangat disayangkan jika tak berusaha mengambil keputusan penuh tekad sekadar menggali bagian paling tersembunyi tentang ayah sambungnya. Abihirt tidak terlihat memiliki minat menjabarkan jawaban. Diam seperti patung yang sedang bekerja—membuka sarung tangan hitam setelah menegakkan tubuh dan menatap penuh pengamatan di wajahnya. “Sudah selesai.” Alih – alih memberi apa yang Moreau butuhkan. Abihirt justru mengatakan sesuatu—membuat dia tertegun sebentar. Sulit dipercaya bahwa akhirnya memiliki tato tersembunyi di dekat tulang rusuk. Sisa – sisa rasa nyeri masih berusaha menduduki tempat pada reaksi sensitif di saraf di tubuhnya, seperti menimbulkan kejut listrik. Lengan Moreau bergerak tentatif menyambut cermin yang Abihirt serahkan lebih dekat. Dia segera mengatur posisi duduk. Sempat terpaku terhadap pantulan alat penjepit puting di payudara
Baca selengkapnya

Kau Puas?

Tidak ada kesempatan sekadar membantah. Hanya dalam sekejap Moreau merasakan Abihirt telah mendesak supaya dia menelungkup di atas kursi bergelombang. Napas berat pria itu terdengar samar. Mereka seakan sedang berada berada di bawah ruang intimidasi—dengan Moreau harus menungging tinggi, sementara jemari yang bergerak kasar telah melucuti celana dan dalaman kain yang ketat dari pinggulnya. Dia menelan ludah kasar saat memalingkan separuh wajah ke belakang. Memperhatikan cara Abihirt tergesa menyingkirkan tali pinggang—pria itu tak selalu benar – benar ingin bertelanjang. Mungkin memang tidak di sini. Moreau tahu bahwa mereka hanya perlu melampiaskan hasrat yang nyaris meledak bersama. Kebutuhan primitif yang menjalar liar. Abihirt tidak mengatakan apa pun ketika pria itu memasukinya. Cukup kasar. Menghujam dengan keras, hingga Moreau berusaha untuk berpegangan pada sesuatu, walau pada akhirnya dia harus mengetatkan genggaman di sandaran sofa yang melengkung. Abih
Baca selengkapnya

Ingin Lebih

Jemari tangan pria tersebut membentuk kepalan—menekan di permukaan kursi sekadar menahan bobot tubuh. Iris kelabu yang dalam menatap ke arahnya diliputi sorot mata penuh peringatan. “Kenapa harus memikirkan ibumu?” Suara serak dan dalam itu bertanya. Moreau tidak mengerti mengapa dia harus terjebak pada situasi yang tidak diinginkan. Benar – benar menyakitkan saat berusaha menarik kembali sesuatu—sudah terucap, dan dia tak berdaya sekadar mengakhiri situasi di antara mereka. “Karena dia ibuku.” Hanya itu. Berharap ada prospek untuk menghindari segala sesuatu yang terjadi, kemudian berakhir dengan baik. Malah tiba – tiba sebelah tangan Abihirt bergerak. Sengaja menyapukan ujung telunjuk di tulang pipi Moreau—perlahan menyingkirkan anak rambut yang berserak. “Dia pergi menemui Sam. Kau senang mendengarnya?” Lagi. Abihirt bertanya untuk memastikan. Untuk memberi tahu jika Barbara sedang melakukan pengkhianatan kotor yang sama. Semua itu segera menyad
Baca selengkapnya

Barbara

“Kita baru saja bercinta, Sayang. Tapi kau terlihat sedang memikirkan sesuatu yang berat.” Samuel setidaknya sedang duduk bersandar dengan nyaman selama memperhatikan setiap tindakan Barbara saat wanita itu sedang mengenakan kembali pakaian yang bercecer di lantai kamar hotel. Dia sendiri sudah berpakaian lengkap. Persis hanya menunggu mereka melakukan percakapan setelah hasrat tak tertahan—butuh dilampiaskan secara cepat. Kebebasan bercinta. Seks penuh gairah. Samuel tak meragukan wanita bersuami itu, yang kini menatap ke arahnya dilputi napas berembus kasar. “Tidak tahu. Perasaanku tidak nyaman. Kadang – kadang aku selalu memikirkan kembali kata – kata Froy.” “Froy?” Sebelah alis Samuel terangkat tinggi. Nyaris tidak ada pembicaraan seperti ini dan tiba – tiba Barbara menjatuhkan bokong di pinggir ranjang. Wanita itu mendengkus sama kasarnya, kemudian menjawab, “Keponakan Abi.” “Baiklah. Lalu ada apa dengan keponakan suamimu?” Sedikit ras
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
242526272829
DMCA.com Protection Status