Tidak ada yang lebih buruk ketika pria itu mengambil peran. Moreau segera menggeleng tidak setuju. Membuka baju sendiri atau ditelanjangi oleh ayah sambungnya sama sekali bukan pilihan. Dia tak akan pernah mendapat kesempatan sekadar mengajukan keputusan. Percuma, andai, berusaha tetap menolak.
“Kau bisa mundur beberapa meter di sana.” Dengan penuh tekad Moreau menyingkirkan lengan Abihirt. Sedikit tidak peduli jika pria itu akan menganggap tindakan demikian sebagai sikap kurang ajar. Suara ranjang bederak menengaskan bahwa Abihirt sepakat kembali menjulang tinggi. Perlu digaris bawahi kalau – kalau mata kelabu yang menatap tajam tidak pernah meninggalkan setiap detil tindakan Moreau; persis saat dia menggenggam ujung kain yang membalut di tubuhnya. “Bisa kau tutup sebentar mata-mu, Abi?” Tetap berharap ada toleransi tertentu ketika pemandangan untuk bertelanjang tak langsung dilahap habis oleh Abihirt. Moreau ingin sedikit privasi, meski pada akhirnya itu akMoreau yakin wajahnya sudah akan memerah merasakan atmosfer mendadak berubah di antara mereka. Hanya saja, setiap apa pun yang Abihirt lakukan nyaris tidak memberi petunjuk. Dia terkejut mendapati tiba – tiba pria itu membungkuk, lalu menarik lepas dalaman berenda untuk digenggam erat, dengan urat tangan mencuak di sana. “Buka kakimu lebih lebar, Moreau.” “A—apa?” Moreau hampir tersedak ludah sendiri saat mengajukan pertanyaan. Sialan, dia tak bisa menghadapi permintaan ayah sambungnya yang terasa konyol. Membuka kaki lebih lebar, sungguh? Sambil menengadah tinggi, Moreau memastikan iris biru terangnya menatap Abihirt skeptis. Segera menggeleng ketika menyadari pria itu masih menunggu. Kali ini akan berusaha tidak menurut. “Kau jangan lakukan sesuatu yang aneh di sini, Abi.” Dia bicara sekali lagi hanya untuk mendapati mata kelabu ayah sambungnya menyiratkan kilatan yang begitu singkat. Abihirt tidak akan mengatakan sesuatu lebih panjang sekadar membuj
“Kau akan membuat tato?” Dia segera berpaling, menengadahkan wajah sekadar menatap ayah sambungnya. Sedikit sadar bahwa pria itu terlihat tidak memiliki minat apa pun. Sejak awal hanya menemani Moreau sekadar memperhatikan beberapa hal, tetapi belum muncul sedikitpun kesiapan dalam menjatuhkan pilihan.Setelah pelbagai desakan yang meluap bersamaan, dia tidak yakin akan benar – benar membuat tato, membiarkan tinta permanen masuk ke lapisan pigmen di kulitnya. Sedikit meringis membayangkan jarum yang bergerak dan menusuk – nusuk. “Aku pikir kau ingin menambah tato.” Sambil meneruskan, Moreau secara naluriah menyentuh contoh gambar burung yang terasa kasar di ujung jari. Ini menyenangkan. Lebih adil jika pada akhirnya dia hanya datang menemani Abihirt, meski sekarang mata kelabu pria itu mulai menatap penuh penilaian. “Kau tidak ingin punya tato sendiri?” Suara serak dan dalam ayah sambungnya terdengar begitu dekat. Moreau menelan ludah kasar, mendadak dapa
Sempat dimintai menunggu beberapa waktu di sini, tak membuat Moreau tersulut oleh keterpakuan. Memang tidak ada petunjuk ke mana Abihirt pergi setelah mereka menginjakkan kaki di mansion mentereng dan jauh dari pengetahuan Barbara; pria itu hanya mengantarnya supaya tetap diam di satu ruang begitu hampa. Hanya dilengkapi beberapa peralatan yang tidak begitu asing lagi usai mereka meninggalkan studio pembuatan tato. Perlu Moreau garis bawahi bahwa dia tak melakukan apa pun di sana. Paling tidak, mendapatkan tato di salah satu bagian tubuh. Mereka langsung pergi setelah urusan Abihirt selesai. Ya, ketika urusan pria itu selesai, sementara tidak terselip informasi di tempat ini mulai menunjukkan sesuatu secara spesifik. Moreau tidak mengerti bagaimana ayah sambungnya memiliki pelbagai alat pembuatan tato lengkap dengan bahan sekali pakai, dan pria itu masih mengajak pergi ke suatu tempat hanya untuk memperkenalkan beberapa hal, di mana Moreau dapat menduga – duga perangkat
Tidak tahu mengapa Moreau seolah terjebak, nyaris tak dapat mengatakan apa – apa sekadar menjatuhkan pilihan yang membingungkan. Masih menatap ragu pada klip di tangan Abihirt, tetapi kemudian pria itu mengambil tindakan sekadar menyentuh lengannya lembut. Menuntun supaya dia menurut; menjatuhkan bokong dengan tenang di kursi panjang, berbentuk agak bergelombang; persis seorang gadis patuh, lalu mengambil posisi telentang—setengah berbaring sambil menatap wajah Abihirt yang tak terbaca. “Kau bisa memintaku berhenti jika merasa sakit.” Tidak ada petunjuk spesifik tentang pernyataan tersebut. Moreau menelan ludah kasar menghadapi gerakan tangan yang terasa mulai mendekat. Seperti ada aliran listrik menyengat ketika tanpa sengaja kulit mereka bersentuhan. Perlahan Abihirt menyelipkan klip bercabang di antara puting-nya. Atmosfer masih terasa cukup menegangkan. Ujung jemari pria itu sempat mengusap puncak payudara yang mengeras. Menatap ke arah Moreau seakan – akan sed
“Satu gelas lagi.” Moreau telah menghadapi pelbagai desakan buruk sepanjang hari. Mantan kekasihnya secara sepihak mengambil pilihan untuk mengakhiri hubungan mereka. Dia sudah meminta alasan pasti sejak momen menyedihkan tersebut, tetapi Froy dan tatapan marah pria itu jelas – jelas menolak bicara. Ironi sekali. Besok merupakan hari pernikahan ibunya yang Moreau sendiri tidak tahu seperti apa rupa dari sang mempelai pria. Mereka tidak dikenalkan. Ibunya merencanakan kebutuhan diam – diam. Bahkan ada begitu banyak tekanan lain untuk meninggalkan bercak serius, yang terasa seperti melubangi jantung Moreau dengan hujaman. Dia hampir putus asa memikirkan segala hal. Beberapa saat lalu memutuskan pergi ke sebuah bar diliputi niat ingin menenangkan diri. Gaun merah mencolok begitu sempurna di tubuh langsing Moreau. Di depan meja bar, dia hanya duduk sendirian. Memandangi beberapa gelas kosong—wine telah tandas tak bersisa. Demikianlah, tenggorokannya seperti abu dengan sisa – sisa ke
Abihirt Lincoln terbangun mendapati seorang gadis muda dalam balutan selimut tebal berada di ranjangnya. Dia mengerjap beberapa kali, berusaha keras mengingat sisa – sisa taruhan semalam. Roki yang bajingan dengan kurang ajar menambahkan bubuk perangsang di gelas koktail terakhir—yang harus diteguk habis—untuk merayakan hari pernikahan mendatang. “Berengsek!” Abihirt mengumpat sembari mengusap wajah kasar. Pagi ini adalah acara pemberkatan. Dia melirik jam digital di atas nakas. 30 menit waktu tersisa, tetapi sebagai pengantin pria—Abihirt belum melakukan persiapan apa pun. Sesaat mata kelabu itu mengamati wajah polos—yang perlahan mulai mengernyit menghindari siraman cahaya yang menembus dari tirai putih. Abihirt memungut kain tercecer di sekitar pinggir ranjang. Sambil mengenakan kembali kemeja putih, dia mengangkat sebelah alis tinggi saat mendapati iris mata biru yang terang telah seutuhnya terbuka dan menatap dengan sangat terkejut. “Kau siapa?” Napas Moreau tercekat.
Upaya melarikan diri yang tidak sia – sia. Napas Moreau terengah menatap pantulan cermin. Seseorang dengan wajah pucat—bahkan benar – benar berantakan sedang berusaha menenangkan diri. Moreau tidak tahu apa lagi yang bisa dia lakukan setelah ini. Ketika Barbara menyadari kedatangan yang begitu lambat di acara pernikahan, langkahnya langsung meninggalkan orang – orang di sekitar. Tidak ada tempat bersembunyi yang tepat selain kamar mandi hotel. Moreau masih bingung apa yang harus dilakukan usai menerima kenyataan bahwa semalam tindakan terlarang telah melampaui batas. Secara harfiah—kejadian bersama pria asing itu tidak akan terjerembab ke dalam rumpang paling rumit. Mereka tidak memiliki hubungan darah. Pria itu hanya akan menjadi ayah sambung Moreau, walau ada satu hal penting ... dia akan merasa canggung ketika mereka berada di satu atap bersama. Moreau yakin dia seharusnya bisa menjadi mandiri, andai Barbara memberikan izin. Hanya saja wanita itu menganggap Moreau sebagai as
“Kau harus bisa lebih akur dengan suami baruku, Moreau. Tapi harus ingat untuk tetap menjaga sikapmu. Jangan mengenakan pakaian seksi selagi Abi ada di rumah.” Sepagi ini Barbara sudah menyampaikan serentetan kata – kata, yang bahkan sama sekali tidak terlintas di benak Moreau. Dia merasa ganjil memikirkan sejak kapan Barbara akan peduli tentang cara berpakaiannya? Tidak pernah. Hanya setelah wanita itu kembali menikah. Segala antisipasi dilakukan dan sedikit menambahkan nada menyudutkan seolah Moreau telah memiliki segala kesiapan, atau barangkali Barbara memiliki firasat tertentu? Moreau akan memastikan bahwa apa yang terjadi malam itu. Tidak akan pernah terulang kembali. “Kau mendengarku, Moreau?” Pertanyaan Barbara lagi - lagu memenuhi ruangan, mendesak Moreau kembali ke permukaan. Dia mengerjap, lalu melirik ke wajah ibunya tegas. “Aku bepakaian terbuka hanya ketika tampil di panggung atau ada tournamen penting. Itu pun masih dalam taraf yang sopan dan normal. Selebi