Pak Harun tergagap dan mengalihkan pandang. “Taruh di kamar saja sama bereskan piring yang kotor,” jawabnya sambil membenahi korang yang sempat terlepas dari tangan.“Baik, Pak, saya letakkan barang-barang saya ini dulu.” Aku pamit sambil berjalan ke belakang.“Kamu tahu tempat salon dari mana?” Pertanyaan pak Harun membuat langkahku terhenti.“Maaf, Pak, Bu Normi yang memaksa saya melakukan ini. Sebenarnya saya sangat malu dan lebih nyaman dengan penampilan ala orang desa.”“Bagus dong kalau kamu berubah. Sekarang hidup di kota, jadi, jangan kayak orang kampung lagi,” celetuk pak Harun dan aku memilih tidak menyahut. Rasanya malu sekali dan ingin segera bersembunyi.Aku abai pada kalimat yang diucapkan majikanku itu, memilih setengah berlari masuk kamar.***Seperti biasa, setelah Maghrib, aku mengajar mengaji Dinis, lalu mengambilkan makanan, lalu menyuruhnya belajar. Meski kedua majikan baik, untuk makan, tetap dilakukan di kamar. Aku harus tetap sadar diri dengan posisiku saat ini
Baca selengkapnya