Setelah mempertimbangkan banyak hall ditambah dorongan dari keluarga, beberapa hari kemudian, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke rumah Resmi lagi. Kali ini dengan membawa teman yang terkenal preman di desa. Lihat saja nanti Resmi akan setakut apa dia saat melihat Bokir datang ke rumahnya.“Kamu harus kasih aku bayaran tinggi kalau berhasil,” ucap Bokir saat kami di jalan dengan menaiki motornya.“Iya. Pasti itu, kapan sih aku bohong sama kamu? Pulang Jakarta kemarin saja aku kasih uang sama kamu,” jawabku meyakinkan dia. “Tapi kalau tidak berhasil bagaimana?” Aku mulai putus asa.“Ya kasih saja untuk beli rokok dan bensin. Masa nyali kamu menciut sih? Payah! Gagahnya hanya di atas ranjang saja sama wanita-wanita. Menghadapi istri yang katanya sudah tidak dicintai, masa takut?”Aku diam tidak menjawab ejekan Bokir. Sibuk memikirkan bagaimana caranya agar Resmi mau mengalah.Sampai di halaman, rumah Resmi terlihat sepi. Sampah banyak dan berserakan di sana, padahal ia termasuk ora
Part 33Aku tidak percaya ini, sungguh tidak percaya. Resmi sudah mempersiapkan segala hal saat dia akan pergi. Meski melalui perdebatan yang sangat panjang, tetap saja Haji Abas tidak mau melepaskan tanah milik istriku.“Kalau begitu, Pak Haji saja yang beli tanahnya. Lalu, ambil saja uang yang sudah kalian berikan pada Resmi. Sisanya kasih sama aku.” Jalan ninja terakhir akhirnya ku pilih.“Kamu pikir kami ini orang bodoh apa, Harno? Dari dulu kami hidup di tanah ini dan tahu itu adalah tanah warisan yang diberikan pada Resmi. kamu siapa berani-beraninya memaksa kami untuk menjual?” Tak kusangka, Haji Abas menjawab dengan intonasi yang tinggi.“Pak, Harno ini suami Resmi. Kenapa Pak Haji yang orang lain berani dan lancang untuk melarang?” Sebuah suara keras membuatku menoleh.Ternyata Bapak menyusul kemari.“Karena Resmi sudah memberikan kami amanah untuk menjaga tanah itu. Anda pikir kami tidak tahu apa yang telah kalian lakukan pada Resmi? Tidak tahu malu datang kemari dan meminta
Lebaran baru saja selesai. Itu artinya pernikahan Imah hanya beberapa minggu lagi dilaksanakan. Dikarenakan belum punya uang, maka untuk membayar rias pengantin, terpaksa menjual cengkeh kering Emak.Ternyata itu memicu masalah baru muncul. Wati marah-marah dan tidak terima karena ia tidak mendapat bagian.“AKu saja dulu nikah tidak pakai rias-riasan segala. Daripada rias mahal, tetapi dengan mengambil hak orang lain, mending pakai yang sederhana saja,” ucapnya sambil menuding wajah Imah.Hatiku terbakar emosi melihat dia berulah demikian. Aku langsung bangkit dan menampar wajahnya. “Berani-beraninya kamu bicara seperti itu, Wati. Pada saat kamu nikah, kamu menikah dengan orang miskin, minta disamakan dengan Imah? Beda kelas, wati! Berkorban sedikit untuk adikmu, tidak akan membuat kamu melarat. Toh uang yang dipakai masih pakai uang orang tua kita. Aku saja ikhlas, kenapa kamu tidak?” ucapku setelah melayangkan tangan pada pipi membuatn adik yang lahir setelah aku itu terhuyung.“Tid
Part 34Tidaklah aku akan diuji, sampai hati benar-benar berada di titik yang pasrah*Resmi*Dengan tangan gemetar, aku meletakkan gagang telepon. Mas Harno, lelaki itu, apa lagi yang diinginkan dariku? Bukankah aku hanya dianggap sebagai benalu dalam hidupnya? Kenapa sekarang ia mencariku? Mustahil jika tanpa sebab. Pasti ada yang diinginkan dariku.Hati menjadi cemas, terlebih Pak Harun dan Bu Normi belum juga pulang.Sumi, apa dia tega memberikan alamat rumah ini? Lalu tanah yang ku tinggalkan? Apa Pak Haji Abas akan semudah itu menyerahkan pada lelaki tak berperasaan seperti Mas Harno?Sepertinya batas antara bahagia dan sedih, tidak ada sehelai rambut pun. Buktinya, aku yang mengira keadaan akan baik-baik saja, ternyata perkiraan itu meleset.Gegas aku masuk ke kamar dan memberitahu Dinis agar tidak membiarkan adiknya keluar rumah. Sementara waktu, mereka harus bersembunyi, setidaknya sampai kedua majikanku pulang kembali.Aku membuka dompet besar yang tersimpan di lemari serta m
Pertanyaan macam ini? Bukankah tidak seharusnya majikan mengeluarkan kalimat seperti itu? Aku jadi bingung hendak menjawab apa. Sampai detik ini, aku masih berpikir ingin menjadi pembantu di rumah itu. Ketika dokter menyangka aku istrinya, hal itu pun tak lantas membuat hati jadi percaya diri.“Bu-bukan seperti itu, Pak maksudnya, tapi ....”“Pak Harun ....” Belum sempat menyelesaikan bicara, suster sudah memanggil.Pak Harun sudah bisa berdiri sendiri dan mulai berjalan pelan. Aku rasa akibat dari kecelakaan itu tidak terlalu parah, keterpurukan Pak Harun ditinggal istrinyalah yang seolah membuatnya semakin sakit.Setelah ucapannya tadi, Pak Harun jadi diam. Bahkan di dalam mobil pun demikian. Biasanya ia akan mengajak mampir ke rumah makan, ini tidak. Aku duduk di tengah pun sama-sama diam sambil memangku Hasbi. Apalah aku ini yang hanya seorang pembantu.“Hasbi tahun ini sudah saatnya masuk TK. Kamu harus memikirkan itu. kalau memang mau pulang kampung dan kembali sama suami kamu,
Aku membuka plastik yang diberi Pak Harun, isinya sebuah baju sepanjang lutut dengan lengan sebatas siku. Bahan yang lembut serta warna yang soft, membuat hati langsung jatuh hati. Tanpa sadar bibir tertarik membentuk seulas senyum. Andai yang memberikan adalah suamiku, tentu saja hati tambah berbunga-bunga. Senyumku redup, manakala sadar jika yang memberikan itu adalah majikan. Bukan tidak berterima kasih, tetapi aku tidak boleh terlalu bahagia. Itu sangat memalukan. "Kamu tidak suka?" Suara Pak Harun terdengar keras. "Em, saya suka, Pak. Tentu saja sangat suka. Ini terlalu bagus untuk saya yang seorang pembantu." "Kamu tidak mau menerimanya?" Sepertinya akhir-akhir ini Pak Harun senang sekali memfitnah. "Kalau tak suka, bawa saja berikan pada Sumi nanti saat kamu pulang," lanjutnya lagi. Lama-lama hati kesal juga dengan omongan dia. Jangan karena majikan, seenaknya saja bicara. "Pak Harun, maaf, dari tadi Bapak selalu men
"Bu, jujur saja saya sedang berada di fase yang sangat nyaman. Saya tidak peduli dengan status saya. Ibarat kata, habis dikejar-kejar segerombolan binatang di hutan, kini saya sampai di sebuah desa yang sangat aman. Jika Ibu di posisi saya, apa yang akan Ibu lakukan? Kembali ke hutan itu bertemu dengan binatang yang siap memangsa, atau bertahan di sini sementara waktu?" Bu Normi menatapku sambil mengangguk kecil. "Ibu paham maksud saya?" Lagi, beliau mengangguk. "Bagi saya, saya tak peduli status yang penting saya jauh dari mereka." "Jika ada yang suka sama kamu, kamu bagaimana?" Aku tertawa kecil. "Ada banyak jawaban kalau itu, Bu. Aku tidak yakin akan ada yang mau dengan perempuan beranak dua. Dan alasan lain, jika pun ada yang mau, aku belum bisa mengenalkan Dinis dan Hasbi pada orang baru. Iya kalau mereka nyaman dengan orang tersebut. Kalau tidak?" Aku berhenti sebentar. "Maaf, Ibu, bukankah Ibu pernah ada di posisi saya dan memili
Part 36Melupakan rasa sakit hati, tak semudah mencintai seseorang. Hati yang terlanjur sakit, hanya butuh rasa nyaman untuk menyembuhkan, bukan pelampiasan.*Resmi*Aku menutup kembali pintu kamar dan urung keluar. Berkali-kali menggelengkan kepala, menepis kenyataan yang telah terlanjur singgah di telinga ini.Tidak, mereka hanya menyatakan sebuah opini semata. Hati ini, biar saja seperti sekarang. Terlanjur nyaman dengan kesendirian. Lebih baik esok aku bersikap biasa saja, seperti tidak tahu apapun.***NA***“Resmi, hari ini aku sudah agak mendingan. Kamu antar Harun terapi, ya!” perintah Bu Normi yang tentu saja aku iyakan.Aku hanyalah pembantu dan tugasku melayani majikan.“Sepertinya kamu perlu belajar naik motor, Resmi. Supaya mudah jika mau bepergian,” kata Bu Normi lagi.“Jika itu memang dibutuhkan, saya mau, Bu. Tapi siapa yang mau mengajari?”“Roni. Dia yang akan mengajari kamu di sore hari.”Aku mengangguk pelan. Anggap saja aku mayang mereka yang akan menuruti segala ya
Part 49Suasana kota Surabaya sangat ramai malam hari. Harun sudah berganti kostum memakai celana dan kaos yang berbeda, tetapi tetap terlihat menawan di mata Resmi.“Besok kamu pagi-pagi aku antar ke salon, ya? Aku akan mengajak kamu ke undangan pernikahan anak temanku. Kamu jangan kaget, karena tamu yang hadir memang dari kalangan atas.”“Memangnya teman Pak Harun yang punya hajat, bekerja sebagai apa?”“Dia kapolresta. Istrinya seorang dokter.”Resmi menunduk dan memainkan jari-jarinya. Merasa sangat rendah dan semakin penasaran dengan sosok Harun sebenarnya.“Dulu aku punya bisnis di bidang properti. Aku dan temanku membangun bisnis bersama. Usaha yang kami kelola di bidang pembangunan perumahan. Aku dan temanku membeli lahan milik warga yang tidak produktif, lalu kami memasarkannya. Jika ada yang berminat, baru kami membangun rumah sesuai model yang diinginkan orang itu. Sebelum ini, aku sudah sampai di Surabaya juga. Kalau di Surabaya, yang kami bangun rumah kontrakan, lalu menye
Part 48Resmi telah kembali pada rutinitas sebelumnya. Namun, ada yang berbeda, karena ia akan menjadi nyonya di rumah itu, maka sekarang urusan rumah juga menjadi tanggung jawabnya. Seperti menyediakan bahan makanan, membayar pembantu, listrik dan lain-lain. Di awal kepergian saja, Harun langsung memberikan uang nafkah padanya. Benar-benar Upik Abu yang berubah menjadi Cinderella.Dua minggu setelah kepergian Harun, Resmi akhirnya mendapatkan akta cerai yang dikirim melalui pos. Hatinya sangat lega dan bahagia. Ia pun langsung memberitahukan hal ini pada Normi.“Ya sudah, berarti sembilan puluh hari dari hari ini, kamu akan menikah dengan Harun. Tidak usah menghitung bulan dan hari baik. Karena semua hari itu baik untuk menikah. Nanti Ibu yang akan memberitahu Harun.” Normi sangat bahagia mendengar kabar ini. “Ah, lihat akta cerai kamu dulu. Kapan itu tanggalnya? Maksudnya tanggal kamu benar-benar sudah bercerai dari lelaki itu.”“Ini keluarnya sepuluh hari yang lalu, Bu,”“Berarti k
Part 47“Aku sudah merindukan kamarku,” kata Dinis sambil meregangkan kedua tangan di depan rumah.Resmi tersenyum melihat tingkah anaknya yang menganggap rumah majikannya sebagai rumah sendiri. Meskipun sudah ada kesepakatan hubungan dengan Harun, tak lantas membuat wanita itu percaya diri.“Bapak punya sesuatu yang spesial untuk kalian,” kata Harun membuat langkah Dinis berhenti.Gadis kecil itu berbalik dan menatap pria yang berdiri di samping pintu mobil. “Apa?” tanyanya.“Berhenti dulu,” kata Harun. “Tutup mata kamu, sini Bapak bantu,” lanjutnya.Satu telapak tangan saja sudah bisa menutup wajah mungil Dinis. Hasbi yang tertidur lelap diangkat oleh sang ibu.“Apa sih, aku penasaran,” seru Dinis.Resmi yang tidak tahu apa-apa memilih diam dan mengikuti keduanya dari belakang. Ia kaget saat Harun membawa anak sulungnya menuju kamar utama di rumah itu. ruangan pribadi yang ia pikir itu dipersiapkan untuk anak Harun yang sudah lama meninggalkan rumah. Sesekali ia masuk hanya untuk me
Part 46Harun seakan memiliki semangat yang seribu kali lipat untuk melanjutkan hidup. Setelah kepulangan Normi dengan membawa kabar buruk, lelaki itu mulai pergi menemui kolega yang telah lama tidak dijumpainya. Ia mencari peluang bisnis baru yang sedang ramai saat ini.Lelaki itu juga mulai menata rumah. Dua kamar yang kosong dicat kembali serta dibelikan kasur dan lemari yang baru. Warna pink dipilihnya untuk satu kamar yang paling besar ukurannya dibandingkan kamar lain.“Gordennya juga harus warna pink, Harun, Itu pantas untuk kamar cewek,” sahut Normi saat melihat dalam kamar. “Kalau kamar Hasbi, harus warna biru, yang teduh.“Ah, iya, Bu. Kamar ini juga harus ada AC, biar Dinis nyaman saat tidur,” sambung Harun.“Tapi sepertinya mereka akan lama di desa,” ucap Normi.“Yang penting mereka kembali ke rumah ini, Bu. Ah iya, Bu, aku besok mau pergi ke Surabaya. Mau menemui teman. Rencananya aku akan membuka dealer motor bekas untuk sementara ini. Sambil melihat peluang bisnis yang
Part 45“Siapa yang datang, Resmi?” Normi bertanya sambil mengusap mata, pandangannya sering mengabur jika malam hari.“Aku suaminya Resmi. Anda siapa di rumahku?” Harno balik bertanya.“Apa kamu bilang? Ini rumahmu? Ini rumahku,” bentak Resmi.“Oh, jadi kamu suami tidak bertanggung jawab yang membelikan mukena anak saja tidak bisa? Sampai istri harus masuk penjara, memangnya kamu kemana? Kenapa sekarang pulang?” Normi yang geram langsung memberondong Harno dengan pertanyaan menyudutkan.“Jaga ucapan, Anda! Jangan macam-macam di rumah orang. Resmi, siapa wanita tua ini?”“Harno, ayo ikut aku,” ajak Resmi sambil menarik lengan pria yang masih menjadi suaminya sebelum terjadi perdebatan panjang. “Bu, jaga anak-anak di dalam!”“Bu? Berlagak sekali kamu, resmi panggil orang ini Bu?”“Ikuti aku, atau kami akan ramai-ramai memukul kamu, Harno?” ancam Resmi.Harno mengekor, mengikuti langkah Resmi menuju samping rumah.“Mau apa kamu kesini?” tanya Resmi lagi.“Jelas mau pulang lah, aku kange
bu dan anak itu pulang dengan perasaan yang kecewa.“Uang bapakmu sudah habis untuk pesta pernikahan Imah, Harno. Untuk biaya tujuh bulanan dan juga lahiran, kamu coba cari. Belum lagi Siti yang terancam jadi janda. Harno, apa kamu tidak bisa berbuat apapun?”Semakin hari, Harno semakin dibuat tidak nyaman dengan segala permasalahan yang terjadi. Ia memilih pergi beberapa hari, menginap di berbagai rumah orang di kecamatan Resmi. Hingga akhirnya, ia mendengar kabar jika Resmi sudah mengajukan gugatan cerai.“Jadi dia sudah pulang?” tanya Harno.“Iya, Resmi sudah berubah menjadi cantik sekarang.”Harno langsung berdiri dan meminta salah satu orang yang membawa motor untuk mengantar.“Mau kemana kamu, Harno?”“Pulang ...,” teriaknya dari atas motor yang sudah berjalan.‘Gak bisa, Resmi tidak boleh meminta cerai dari aku disaat keadaanku seperti ini. Murni sudah pergi menjauh dan aku tidak punya uang untuk menemui. Imah sedang hamil dan butuh biaya banyak. Mbak Siti juga terancam jadi j
Part 44“Resmi ....” Normi kembali memanggil sosok yang diam di hadapannya.“Bu, saya belum pernah merasakan kasih sayang sosok seorang ibu. Kenal dengan Bu Normi, saya memang sedikit merasakan bagaimana memiliki tempat untuk bersandar, sekalipun Bu Normi statusnya adalah majikan dan saya hanya seorang pembantu. Saya sebenarnya takut suatu ketika akan dicampakkan lagi jika memutuskan untuk menikah kembali. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya sudah bisa merasakan bahwa kalian tulus menyayangi dan menampung kami. Saya tidak tahu bila harus berpisah dengan kalian. Permintaan Bu Normi membuat saya sangat terharu. Tetapi kenapa Bu Normi yang meminta ini padaku? Bukan Pak Harun langsung?” Dengan suara lirih, Resmi menjawab.“Harun yang memintaku untuk mengatakan ini. Harun tidak berani karena kondisinya dia bukan pria yang sempurna,” sahut Normi dengan binar bahagia karena merasa lamarannya disambut oleh Resmi. “Jadi, Resmi, kamu ‘kan intinya? Menerima permintaanku untuk menjadi menantu
Dimana ada gula, maka disanalah semut akan berkerumun. Perumpamaan seperti itu pantas bagi kondisi Dinis saat ini. Ia yang sudah menjelma bak seorang putri di kalangan anak kampungnya, mendadak jadi idola. Idola anak seusianya.Satu per satu teman datang untuk mengajaknya bermain. Mengaku sebagai teman, mengingatkan pada kenangan-kenangan yang telah dilalui bersama, tetapi mereka lupa pernah memperlakukan Dinis dengan tidak baik.“Kamu dulu ingat gak, suka ambil mangga yang jatuh di pinggir jalan.”“Ramai ya, waktu itu? Seru. Kamu mau ambil mangga kesana lagi gak? Sekarang lagi musim mau matang lho ....”“Iya, Dinis, kita kesana lagi yuk ....”Dinis sampai bingung harus mendengarkan siapa, karena semua seakan berebut untuk berbicara.“Mau Dinis?”Dinis menggeleng. “Aku sudah bosan makan mangga. Eyang sering membelikan,” jawabnya.“Terus kamu pengen main apa?”“Main bola kasti?”Dinis menggeleng.“Main masak-masakan?”Dinis menggeleng lagi.“Kamu pengen main apa, Dinis? Bilang saja. Na
Part 43Resmi kembali menjadi buah bibir, tetapi kali ini bukan karena keburukannya. Melainkan nasib baik yang menghampiri.Dinis yang kebetulan keluar rumah, langsung diwawancarai oleh ibu-ibu komplek dengan beragam pertanyaan. Kebetulan ada Darmi di sana.“Jadi kamu tidak dijual Dinis?” Mulut-mulut kotor masih saja bertanya demikian.“Tidak. Aku di sana sama Ibu di rumah Eyang Nyonya.”“Eyang Nyonya itu wanita tua tadi ya? Siapa sih dia?”“Eyang Nyonya itu majikan kami. Ibu dulu jadi pembantu, tapi sekarang sudah tidak. Karena Ibu pintar, sekarang Ibu jadi, jadi apa ya? Jadi pengurus tokonya Eyang. Terus, Eyang cari pembantu lagi buat bersih-bersih rumah. Ibu juga gak pernah nyuci baju lagi sekarang. Semuanya dikerjakan Mbok Jum.”“Kamu di sana sekolah tidak, Dinis?” darmi yang sedari tadi diam, kali ini ikut bertanya.“Sekolah. Aku malah sekolah di sekolahan yang paling bagus. Kata Eyang karena aku pintar. Kemarin aku dapat piala, juara satu.”“Kamu betah? Gak pengin pindah lagi ke