Aku membuka plastik yang diberi Pak Harun, isinya sebuah baju sepanjang lutut dengan lengan sebatas siku. Bahan yang lembut serta warna yang soft, membuat hati langsung jatuh hati. Tanpa sadar bibir tertarik membentuk seulas senyum. Andai yang memberikan adalah suamiku, tentu saja hati tambah berbunga-bunga. Senyumku redup, manakala sadar jika yang memberikan itu adalah majikan. Bukan tidak berterima kasih, tetapi aku tidak boleh terlalu bahagia. Itu sangat memalukan. "Kamu tidak suka?" Suara Pak Harun terdengar keras. "Em, saya suka, Pak. Tentu saja sangat suka. Ini terlalu bagus untuk saya yang seorang pembantu." "Kamu tidak mau menerimanya?" Sepertinya akhir-akhir ini Pak Harun senang sekali memfitnah. "Kalau tak suka, bawa saja berikan pada Sumi nanti saat kamu pulang," lanjutnya lagi. Lama-lama hati kesal juga dengan omongan dia. Jangan karena majikan, seenaknya saja bicara. "Pak Harun, maaf, dari tadi Bapak selalu men
"Bu, jujur saja saya sedang berada di fase yang sangat nyaman. Saya tidak peduli dengan status saya. Ibarat kata, habis dikejar-kejar segerombolan binatang di hutan, kini saya sampai di sebuah desa yang sangat aman. Jika Ibu di posisi saya, apa yang akan Ibu lakukan? Kembali ke hutan itu bertemu dengan binatang yang siap memangsa, atau bertahan di sini sementara waktu?" Bu Normi menatapku sambil mengangguk kecil. "Ibu paham maksud saya?" Lagi, beliau mengangguk. "Bagi saya, saya tak peduli status yang penting saya jauh dari mereka." "Jika ada yang suka sama kamu, kamu bagaimana?" Aku tertawa kecil. "Ada banyak jawaban kalau itu, Bu. Aku tidak yakin akan ada yang mau dengan perempuan beranak dua. Dan alasan lain, jika pun ada yang mau, aku belum bisa mengenalkan Dinis dan Hasbi pada orang baru. Iya kalau mereka nyaman dengan orang tersebut. Kalau tidak?" Aku berhenti sebentar. "Maaf, Ibu, bukankah Ibu pernah ada di posisi saya dan memili
Part 36Melupakan rasa sakit hati, tak semudah mencintai seseorang. Hati yang terlanjur sakit, hanya butuh rasa nyaman untuk menyembuhkan, bukan pelampiasan.*Resmi*Aku menutup kembali pintu kamar dan urung keluar. Berkali-kali menggelengkan kepala, menepis kenyataan yang telah terlanjur singgah di telinga ini.Tidak, mereka hanya menyatakan sebuah opini semata. Hati ini, biar saja seperti sekarang. Terlanjur nyaman dengan kesendirian. Lebih baik esok aku bersikap biasa saja, seperti tidak tahu apapun.***NA***“Resmi, hari ini aku sudah agak mendingan. Kamu antar Harun terapi, ya!” perintah Bu Normi yang tentu saja aku iyakan.Aku hanyalah pembantu dan tugasku melayani majikan.“Sepertinya kamu perlu belajar naik motor, Resmi. Supaya mudah jika mau bepergian,” kata Bu Normi lagi.“Jika itu memang dibutuhkan, saya mau, Bu. Tapi siapa yang mau mengajari?”“Roni. Dia yang akan mengajari kamu di sore hari.”Aku mengangguk pelan. Anggap saja aku mayang mereka yang akan menuruti segala ya
“Naik jabatan jadi sopir ya, menggantikan kamu,” balasku dengan candaan.“Yah, kok jadi sopir, jadi nyonya dong, Mbak. Nyonya Harun,” teriaknya kencang.Refleks aku memukul tangannya keras. “Jangan sembarangan kalau bicara! Aku ini pembantu.”“Mbak, kenapa sih merendah terus? Gak pengen nasibnya berubah apa?”“Ya pengen, tapi candaanmu keterlaluan lho. Itu majikan kita.”“Ya ‘kan sudah didoakan siapa tahu jadi nyonya.”“Sudah, sudah, berhenti bercandanya. Kita harus pulang.”“Salut aku sama Mbak Resmi. Selalu merendah dan tahu diri. Jarang-jarang lho, Mbak wanita kayak gitu. Yang banyak itu matre, kalau lihat orang kaya ya penginnya deketin. Aku pengen punya satu cewek yang kayak Mbak resmi, tapi yang muda, kalau Mbak resmi ketuaan, hahahaha ....” Roni tergelak.Aku menoyor bahu pemuda itu dan meninggalkannya.“Sudah selesai tadi main pasirnya?” Aku bertanya pada Hasbi yang mulutnya penuh dengan kelapa.“Sudah. Mau mandi, Ibu, lengket.”Tak sengaja tatapan kami, aku dan Pak Harun bers
Part 37“Te-terima kasih, Pak, sudah membantu saya. Maaf jika harus melibatkan Bapak dalam situasi ini,” ucapku sambil mengamati Pak Harun yang masih berdiri tegap. “Itu, Pak, Anda sudah bisa berjalan,” kataku lagi.“Mau sampai kapan kamu hidup dalam ketidak pastian? Lelaki itu akan mencarimu terus, selama kamu belum bercerai dari dia. Selama kalian masih punya ikatan, maka ia berhak atas diri kamu, apapun latar belakang masalahnya, memang benar, kalian saat ini masih bersama, jadi dia punya hak atas kamu,” jawab Pak Harun.Hatiku mengiyakan apa yang lelaki itu katakan. Diri ini terlalu pengecut untuk hanya sekedar pulang mengurus status.Pak Harun berjalan, masuk kamar lalu menutup pintu. Meninggalkan kursi rodanya begitu saja.***NA***Tanganku gemetar saat menerima gaji dari Bu Normi. Tidak percaya karena isi amplopnya cukup tebal. Aku membuka perlahan dan mengintipnya. “Bu, ini terlalu banyak,” ucapku tidak percaya.“Tidak, itu sepadan dengan pekerjaan kamu yang banyak. Lagi pula,
“Pulanglah! Urus perceraian kamu, dan Roni akan datang ke kampung kamu untuk mengurus pernikahan kalian. Lebih cepat lebih baik, Resmi. bila sekarang kamu belum mencintai Harun, belajarlah mencintai dia. Tidak semua pernikahan yang didasari oleh perjodohan, akan menimbulkan penderitaan. Kamu menikah dengan suamimu atas dasar cinta bukan? Tapi buktinya apa, dia menyakitimu ‘kan? Harun orang yang setia. Ditinggalkan istrinya dulu, ia memilih terpuruk.”Aku menunduk bingung. Mereka adalah sumber uangku saat ini. Jika aku menolak, aku harus kemana lagi? Jika menerima, hati masih terasa sulit membuka.Ya Allah, aku harus bagaimana? Tunjukkan jalan apa yang harus ku pilih?Aku menjerit dalam hati.“Itu adalah sebuah tawaran, Resmi. Kamu bisa menerima, bisa juga menolak. Jika pun kamu menolak, kamu masih bisa kok bekerja di toko. Aku sudah merasa sangat cocok dengan kamu. Aku bukan orang yang bisa mudah menerima orang baru. Ini hanya unek-unek yang ada dalam hatiku. Maaf jika kamu merasa ter
Part 38Pak Harun sudah tidak lagi menggunakan kursi roda. Ah, seperti sedang bersandiwara saja kemarin-kemarin saat masih duduk di atasnya. Kenapa terapi beberapa minggu saja, dia sudah bisa berjalan?“Kamu melihatku terus dari tadi, ada apa?” tanya Pak Harun membuat aku salah tingkah.“Ah, enggak, kenapa Bapak sudah bisa berjalan sekarang?”Aku berlalu dengan segera, menghindar dari rasa malu.Pagi ini, seperti biasa kami makan bersama. Dinis sudah rapi karena hendak mengikuti loma di tingkat kecamatan. Ia sudah tidak lagi canggung saat diajak makan satu meja dengan keluarga ini.“Harun, kamu mau kemana sudah rapi?” tanya Bu Normi.“Ada acara, Bu.”“Kamu naik apa nanti?”“Diantar Romi.”Aku tidak melirik mereka sama sekali, memilih menyuapi Hasbi sampai habis.Tinggal di rumah Bu Normi, rasanya sudah betah, tetapi sadar kalau aku wanita yang masih beristri dan ada Pak Harun yang menjadi duda. Aku sudah berpikir hendak mencari rumah kontrakan. Namun hal tersebut belum ku utarakan pad
“Panggil bapak. Bapak saja, tanpa ada embel-embel Harun. Kalau kamu gak mau panggil itu, nanti pas menang dan maju tingkat kota, aku tidak mau mengajari,” Pak Harun berbisik di telinga Dinis sehingga posisi kepalanya condong pada pangkuan dimana Dinis berada.“Baik,” kata Dinis cepat.“Wah, ini orang tua kamu ya?” Tiba-tiba seseorang berpakaian guru menghampiri.“Em ....” Dinis hendak menjawab.“Iya, kami orang tuanya.” Pak Harun cepat menjawab sebelum Dinis selesai berbicara.Pria itu mengangguk-angguk dan berpamitan.“Siapa dia?” tanya Pak Harun pada Dinis.“Orang itu jadi pengawas tadi di dalam, sering menghampiri aku dan tanya-tanya. Kenapa Pak Harun bilang orang tuaku?”“Supaya kamu menang,” jawab Pak Harun asal.Kami kembali diam. Tak lama kemudian, Dinis tiba-tiba berbicara lagi.“Ibu, aku ingin pulang ke desa.”“Kamu ingin tinggal di sana lagi?” Pak Harun yang menjawab.“Enggak. Aku cuma pengin pulang dan ketemu sama Suci. Habis itu, kesini lagi.”“Kalau kamu menang lomba, Bap
Part 49Suasana kota Surabaya sangat ramai malam hari. Harun sudah berganti kostum memakai celana dan kaos yang berbeda, tetapi tetap terlihat menawan di mata Resmi.“Besok kamu pagi-pagi aku antar ke salon, ya? Aku akan mengajak kamu ke undangan pernikahan anak temanku. Kamu jangan kaget, karena tamu yang hadir memang dari kalangan atas.”“Memangnya teman Pak Harun yang punya hajat, bekerja sebagai apa?”“Dia kapolresta. Istrinya seorang dokter.”Resmi menunduk dan memainkan jari-jarinya. Merasa sangat rendah dan semakin penasaran dengan sosok Harun sebenarnya.“Dulu aku punya bisnis di bidang properti. Aku dan temanku membangun bisnis bersama. Usaha yang kami kelola di bidang pembangunan perumahan. Aku dan temanku membeli lahan milik warga yang tidak produktif, lalu kami memasarkannya. Jika ada yang berminat, baru kami membangun rumah sesuai model yang diinginkan orang itu. Sebelum ini, aku sudah sampai di Surabaya juga. Kalau di Surabaya, yang kami bangun rumah kontrakan, lalu menye
Part 48Resmi telah kembali pada rutinitas sebelumnya. Namun, ada yang berbeda, karena ia akan menjadi nyonya di rumah itu, maka sekarang urusan rumah juga menjadi tanggung jawabnya. Seperti menyediakan bahan makanan, membayar pembantu, listrik dan lain-lain. Di awal kepergian saja, Harun langsung memberikan uang nafkah padanya. Benar-benar Upik Abu yang berubah menjadi Cinderella.Dua minggu setelah kepergian Harun, Resmi akhirnya mendapatkan akta cerai yang dikirim melalui pos. Hatinya sangat lega dan bahagia. Ia pun langsung memberitahukan hal ini pada Normi.“Ya sudah, berarti sembilan puluh hari dari hari ini, kamu akan menikah dengan Harun. Tidak usah menghitung bulan dan hari baik. Karena semua hari itu baik untuk menikah. Nanti Ibu yang akan memberitahu Harun.” Normi sangat bahagia mendengar kabar ini. “Ah, lihat akta cerai kamu dulu. Kapan itu tanggalnya? Maksudnya tanggal kamu benar-benar sudah bercerai dari lelaki itu.”“Ini keluarnya sepuluh hari yang lalu, Bu,”“Berarti k
Part 47“Aku sudah merindukan kamarku,” kata Dinis sambil meregangkan kedua tangan di depan rumah.Resmi tersenyum melihat tingkah anaknya yang menganggap rumah majikannya sebagai rumah sendiri. Meskipun sudah ada kesepakatan hubungan dengan Harun, tak lantas membuat wanita itu percaya diri.“Bapak punya sesuatu yang spesial untuk kalian,” kata Harun membuat langkah Dinis berhenti.Gadis kecil itu berbalik dan menatap pria yang berdiri di samping pintu mobil. “Apa?” tanyanya.“Berhenti dulu,” kata Harun. “Tutup mata kamu, sini Bapak bantu,” lanjutnya.Satu telapak tangan saja sudah bisa menutup wajah mungil Dinis. Hasbi yang tertidur lelap diangkat oleh sang ibu.“Apa sih, aku penasaran,” seru Dinis.Resmi yang tidak tahu apa-apa memilih diam dan mengikuti keduanya dari belakang. Ia kaget saat Harun membawa anak sulungnya menuju kamar utama di rumah itu. ruangan pribadi yang ia pikir itu dipersiapkan untuk anak Harun yang sudah lama meninggalkan rumah. Sesekali ia masuk hanya untuk me
Part 46Harun seakan memiliki semangat yang seribu kali lipat untuk melanjutkan hidup. Setelah kepulangan Normi dengan membawa kabar buruk, lelaki itu mulai pergi menemui kolega yang telah lama tidak dijumpainya. Ia mencari peluang bisnis baru yang sedang ramai saat ini.Lelaki itu juga mulai menata rumah. Dua kamar yang kosong dicat kembali serta dibelikan kasur dan lemari yang baru. Warna pink dipilihnya untuk satu kamar yang paling besar ukurannya dibandingkan kamar lain.“Gordennya juga harus warna pink, Harun, Itu pantas untuk kamar cewek,” sahut Normi saat melihat dalam kamar. “Kalau kamar Hasbi, harus warna biru, yang teduh.“Ah, iya, Bu. Kamar ini juga harus ada AC, biar Dinis nyaman saat tidur,” sambung Harun.“Tapi sepertinya mereka akan lama di desa,” ucap Normi.“Yang penting mereka kembali ke rumah ini, Bu. Ah iya, Bu, aku besok mau pergi ke Surabaya. Mau menemui teman. Rencananya aku akan membuka dealer motor bekas untuk sementara ini. Sambil melihat peluang bisnis yang
Part 45“Siapa yang datang, Resmi?” Normi bertanya sambil mengusap mata, pandangannya sering mengabur jika malam hari.“Aku suaminya Resmi. Anda siapa di rumahku?” Harno balik bertanya.“Apa kamu bilang? Ini rumahmu? Ini rumahku,” bentak Resmi.“Oh, jadi kamu suami tidak bertanggung jawab yang membelikan mukena anak saja tidak bisa? Sampai istri harus masuk penjara, memangnya kamu kemana? Kenapa sekarang pulang?” Normi yang geram langsung memberondong Harno dengan pertanyaan menyudutkan.“Jaga ucapan, Anda! Jangan macam-macam di rumah orang. Resmi, siapa wanita tua ini?”“Harno, ayo ikut aku,” ajak Resmi sambil menarik lengan pria yang masih menjadi suaminya sebelum terjadi perdebatan panjang. “Bu, jaga anak-anak di dalam!”“Bu? Berlagak sekali kamu, resmi panggil orang ini Bu?”“Ikuti aku, atau kami akan ramai-ramai memukul kamu, Harno?” ancam Resmi.Harno mengekor, mengikuti langkah Resmi menuju samping rumah.“Mau apa kamu kesini?” tanya Resmi lagi.“Jelas mau pulang lah, aku kange
bu dan anak itu pulang dengan perasaan yang kecewa.“Uang bapakmu sudah habis untuk pesta pernikahan Imah, Harno. Untuk biaya tujuh bulanan dan juga lahiran, kamu coba cari. Belum lagi Siti yang terancam jadi janda. Harno, apa kamu tidak bisa berbuat apapun?”Semakin hari, Harno semakin dibuat tidak nyaman dengan segala permasalahan yang terjadi. Ia memilih pergi beberapa hari, menginap di berbagai rumah orang di kecamatan Resmi. Hingga akhirnya, ia mendengar kabar jika Resmi sudah mengajukan gugatan cerai.“Jadi dia sudah pulang?” tanya Harno.“Iya, Resmi sudah berubah menjadi cantik sekarang.”Harno langsung berdiri dan meminta salah satu orang yang membawa motor untuk mengantar.“Mau kemana kamu, Harno?”“Pulang ...,” teriaknya dari atas motor yang sudah berjalan.‘Gak bisa, Resmi tidak boleh meminta cerai dari aku disaat keadaanku seperti ini. Murni sudah pergi menjauh dan aku tidak punya uang untuk menemui. Imah sedang hamil dan butuh biaya banyak. Mbak Siti juga terancam jadi j
Part 44“Resmi ....” Normi kembali memanggil sosok yang diam di hadapannya.“Bu, saya belum pernah merasakan kasih sayang sosok seorang ibu. Kenal dengan Bu Normi, saya memang sedikit merasakan bagaimana memiliki tempat untuk bersandar, sekalipun Bu Normi statusnya adalah majikan dan saya hanya seorang pembantu. Saya sebenarnya takut suatu ketika akan dicampakkan lagi jika memutuskan untuk menikah kembali. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya sudah bisa merasakan bahwa kalian tulus menyayangi dan menampung kami. Saya tidak tahu bila harus berpisah dengan kalian. Permintaan Bu Normi membuat saya sangat terharu. Tetapi kenapa Bu Normi yang meminta ini padaku? Bukan Pak Harun langsung?” Dengan suara lirih, Resmi menjawab.“Harun yang memintaku untuk mengatakan ini. Harun tidak berani karena kondisinya dia bukan pria yang sempurna,” sahut Normi dengan binar bahagia karena merasa lamarannya disambut oleh Resmi. “Jadi, Resmi, kamu ‘kan intinya? Menerima permintaanku untuk menjadi menantu
Dimana ada gula, maka disanalah semut akan berkerumun. Perumpamaan seperti itu pantas bagi kondisi Dinis saat ini. Ia yang sudah menjelma bak seorang putri di kalangan anak kampungnya, mendadak jadi idola. Idola anak seusianya.Satu per satu teman datang untuk mengajaknya bermain. Mengaku sebagai teman, mengingatkan pada kenangan-kenangan yang telah dilalui bersama, tetapi mereka lupa pernah memperlakukan Dinis dengan tidak baik.“Kamu dulu ingat gak, suka ambil mangga yang jatuh di pinggir jalan.”“Ramai ya, waktu itu? Seru. Kamu mau ambil mangga kesana lagi gak? Sekarang lagi musim mau matang lho ....”“Iya, Dinis, kita kesana lagi yuk ....”Dinis sampai bingung harus mendengarkan siapa, karena semua seakan berebut untuk berbicara.“Mau Dinis?”Dinis menggeleng. “Aku sudah bosan makan mangga. Eyang sering membelikan,” jawabnya.“Terus kamu pengen main apa?”“Main bola kasti?”Dinis menggeleng.“Main masak-masakan?”Dinis menggeleng lagi.“Kamu pengen main apa, Dinis? Bilang saja. Na
Part 43Resmi kembali menjadi buah bibir, tetapi kali ini bukan karena keburukannya. Melainkan nasib baik yang menghampiri.Dinis yang kebetulan keluar rumah, langsung diwawancarai oleh ibu-ibu komplek dengan beragam pertanyaan. Kebetulan ada Darmi di sana.“Jadi kamu tidak dijual Dinis?” Mulut-mulut kotor masih saja bertanya demikian.“Tidak. Aku di sana sama Ibu di rumah Eyang Nyonya.”“Eyang Nyonya itu wanita tua tadi ya? Siapa sih dia?”“Eyang Nyonya itu majikan kami. Ibu dulu jadi pembantu, tapi sekarang sudah tidak. Karena Ibu pintar, sekarang Ibu jadi, jadi apa ya? Jadi pengurus tokonya Eyang. Terus, Eyang cari pembantu lagi buat bersih-bersih rumah. Ibu juga gak pernah nyuci baju lagi sekarang. Semuanya dikerjakan Mbok Jum.”“Kamu di sana sekolah tidak, Dinis?” darmi yang sedari tadi diam, kali ini ikut bertanya.“Sekolah. Aku malah sekolah di sekolahan yang paling bagus. Kata Eyang karena aku pintar. Kemarin aku dapat piala, juara satu.”“Kamu betah? Gak pengin pindah lagi ke