Part 38Pak Harun sudah tidak lagi menggunakan kursi roda. Ah, seperti sedang bersandiwara saja kemarin-kemarin saat masih duduk di atasnya. Kenapa terapi beberapa minggu saja, dia sudah bisa berjalan?“Kamu melihatku terus dari tadi, ada apa?” tanya Pak Harun membuat aku salah tingkah.“Ah, enggak, kenapa Bapak sudah bisa berjalan sekarang?”Aku berlalu dengan segera, menghindar dari rasa malu.Pagi ini, seperti biasa kami makan bersama. Dinis sudah rapi karena hendak mengikuti loma di tingkat kecamatan. Ia sudah tidak lagi canggung saat diajak makan satu meja dengan keluarga ini.“Harun, kamu mau kemana sudah rapi?” tanya Bu Normi.“Ada acara, Bu.”“Kamu naik apa nanti?”“Diantar Romi.”Aku tidak melirik mereka sama sekali, memilih menyuapi Hasbi sampai habis.Tinggal di rumah Bu Normi, rasanya sudah betah, tetapi sadar kalau aku wanita yang masih beristri dan ada Pak Harun yang menjadi duda. Aku sudah berpikir hendak mencari rumah kontrakan. Namun hal tersebut belum ku utarakan pad
“Panggil bapak. Bapak saja, tanpa ada embel-embel Harun. Kalau kamu gak mau panggil itu, nanti pas menang dan maju tingkat kota, aku tidak mau mengajari,” Pak Harun berbisik di telinga Dinis sehingga posisi kepalanya condong pada pangkuan dimana Dinis berada.“Baik,” kata Dinis cepat.“Wah, ini orang tua kamu ya?” Tiba-tiba seseorang berpakaian guru menghampiri.“Em ....” Dinis hendak menjawab.“Iya, kami orang tuanya.” Pak Harun cepat menjawab sebelum Dinis selesai berbicara.Pria itu mengangguk-angguk dan berpamitan.“Siapa dia?” tanya Pak Harun pada Dinis.“Orang itu jadi pengawas tadi di dalam, sering menghampiri aku dan tanya-tanya. Kenapa Pak Harun bilang orang tuaku?”“Supaya kamu menang,” jawab Pak Harun asal.Kami kembali diam. Tak lama kemudian, Dinis tiba-tiba berbicara lagi.“Ibu, aku ingin pulang ke desa.”“Kamu ingin tinggal di sana lagi?” Pak Harun yang menjawab.“Enggak. Aku cuma pengin pulang dan ketemu sama Suci. Habis itu, kesini lagi.”“Kalau kamu menang lomba, Bap
Part 39“Tapi beneran ya, aku diantar pulang setelah selesai tes?” ucap Dinis memasang wajah sedih.“Iya, nanti kamu pulang sama Mas Roni,” jawab Bu Normi. Atas pertimbangan banyak hal, Dinis yang hendak mengikuti tes catur wulan ditahan Bu Normi agar tidak ikut pulang. Ia akan menyusul satu minggu lagi diantar Romi.“Sabar ya, nanti kamu bisa di sana sebulan. Setelah selesai tes, kamu akan langsung menyusul,” ucapku pada Dinis.Aku akan pulang untuk mengurus banyak hal, oleh karenanya, Hasbi juga ditahan oleh Bu Normi untuk sementara waktu.“Gak papa, nanti ada Mbok Jum. Dia juga sudah biasa tidur dengan Harun sekarang,” kata Bu Normi.Akhir-akhir ini, Hasbi lebih dekat dengan Pak Harun dan sering tidur bersama. Aku harus mengambil keputusan ini agar tidak terganggu dengan Hasbi.“Bu, apa tidak merepotkan nanti kalau anak-anak aku tinggal?”“Apa selama ini aku kelihatan tidak ikhlas dengan anak-anak kamu?” Bu Normi balas bertanya.“Baik, Ibu, aku akan pergi sendiri.”***NA***“Hati-
Kaki putih yang terselubung sandal berhak tinggi, mulai menapaki jalan berbatu yang tertata rapi. “Resmi?” “Resmi? “Resmi benarkah ini kamu?” Tetanggaku berteriak girang. Aku tersenyum dan menyalami mereka. “Kamu cantik sekali. Pangling aku.” “Resmi, ya Allah, kamu sudah lama pergi, kemana saja?” “Jadi babu ....” Aku tetap sama. “Aku pulang dulu ya?” Kembali berjalan lagi menyusuri jalan yang penuh kenangan. “Resmi ... itu kamu?” Mbak Darmi kaget saat melihatku datang. “Iya, Mbak. Apa kabar?” sapaku. Bagaimanapun, Mbak Darmi adalah saudaraku. Aku menyalami dia, tetapi langsung gegas pergi. Dengan langkah cepat segera memasuki pekarangan. Rumahku terlihat tidak terawat, dan yang membuat hatiku panas, pintu terbuka lebar dan banyak sekali sampah daun dan bunga bekas mainan anak kecil. Ya Allah, aku masih hidup, tetapi rumah itu sudah bak tempat umum saja yang bebas digunakan siapapun. beberapa jendela ada yang rusak terbuka, sepertinya ulah anak-anak nakal. Geram, aku masuk k
Part 40Setiap sudut ruangan di rumah ini selalu mengingatkanku pada masa lalu. Sejenak aku duduk di atas kasur dingin yang sedikit keras mengurai perjalanan hidup yang telah terlewati. Suara lantunan anak-anak membaca kitab barzanji di masjid semakin membuat hati ini sedih. Seyogyanya orang pulang dari rantau disambut hangat oleh keluarga, tetapi tidak dengan aku. Sepi, sunyi dan tetap sendiri membuat rasa rindu pada keluarga Bu Normi semakin menjadi.Sayup ku dengar orang memanggil di depan pintu. Dengan cepat beranjak dan membukanya, ternyata Bapak berdiri di sana. Aku segera mengulurkan tangan dan mencium telapak tangan lelaki yang sudah berusia senja itu.“Apa benar Dinis dan Hasbi dijual?” Pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut Bapak membuatku menganga.“Siapa yang bilang, Pak?”“Orang-orang. Tetangga bergosip demikian makanya aku kemari untuk memastikan.”“Bapak datang hanya ingin mengklarifikasi kabar itu? Bukan ingin tahu keadaanku?”Bapak masuk berjalan melewati tubuhk
Mereka yang tadi berbisik kini diam. Terkadang kita tak perlu membela diri, menerima dan mengakui saja apa yang dituduhkan meski itu tidak benar.Namun begitu, tidak semua orang jahat, tetap saja ada yang baik. Seperti teman masa kecilku yang lain. Ia datang ke rumah dan menangis. Bahagia katanya bisa melihatku.“Tidak benar ‘kan gosip tentang kamu? Aku tidak percaya.”“Mau menjawab ya silakan, mau tidak ya silakan.” Aku menyahut sambil tertawa.“Tapi orang-orang bilang kamu sekarang cantik lho. Pakai baju bagus dan kelihatan beda. Kayaknya mereka iri deh. Tahu sendiri ‘kan, kalau iri pasti membuat gosip yang tidak-tidak?”Aku tertawa lagi.“Tahu tidak, adiknya Harno yang baru nikah?”“Kenapa?”“Dia babak belur dihajar suaminya karena ketahuan selingkuh.”“Kamu kenal Imah?”“Aku kenal dengan tetangga Harno. Kemarin ada yang ke rumah urusan pekerjaan sama suami, terus dia cerita.”Urusan pekerjaan suami yang dimaksud Ranti tentu saja tentang buruh bangunan, bukan bisnis seperti kalang
Part 41Setiap episode kehidupan menciptakan warna tersendiri dalam hidup.***POVAUTHOR***“Kau mencintai Resmi, Harun? Apa sudah memastikan perasaanmu sendiri?” tanya Normi pada Harun yang berdiri melipat tangan di dekat jendela--mengamati daun-daun yang terbang diterpa angin.“Apa Ibu perlu tahu semua yang aku rasakan?” Harun balas bertanya.“Harus. Karena perasaan kamu adalah bakal dari keputusan masa depan yang kamu ambil. Aku ibumu, aku orang yang paling berhak tahu karena saat terpuruk, hanya aku yang menemanimu.”“Resmi acuh terhadapku, Bu ....”“Resmi menutup hatinya untuk siapapun yang ingin masuk. Dia juga terlalu berkubang pada perasaan tak pantas dicintai. Meski Ibu sudah berusaha keras untuk mengangkat derajatnya dari seorang pembantu, Resmi tetap saja merasa kalau ia terlalu rendah untuk kamu. Seperti itu kira-kira yang Ibu nilai darinya.”“Menurut Ibu, apa dia pantas untuk bersanding denganku?”Normi diam tak langsung menjawab. Memilih menjatuhkan bobot tubuh pada kursi
Selama tidak ada Resmi, Harun semakin dekat dekat dengan keduanya. Setiap sore mengajak jalan-jalan naik motor, membelikan jajan yang enak dan menemani keduanya sampai tertidur. Tak jarang mereka bertiga terlelap di ruang televisi karena lelah bermain.“Pak, aku pamit pulang dulu, ya?” ucap Dinis sambil mencium tangan Harun.“Pak, aku juga ya ....” Hasbi tidak mau kalah.“Kalian jangan lama-lama ya! Nanti Bapak rindu ....”“Aku ingin bermain dengan Suci sepuasnya. Nanti aku kembali kesini lagi,” jawab Dinis.“Kamu gak pengen lihat nilai kamu?”“Pasti peringkat satu lagi,” jawab Dinis percaya diri.“Pak, gak ingin ikut?” tanya Roni pada Harun.“Aku akan mengurus toko sementara waktu. Ibu sudah ikut.”“Gak kangen sama Mbak Resmi?” bisik Roni.“Jangan ngaco kamu! Dah sana pergi! Hati-hati nyetirnya!”Dinis berlari memeluk Harun lama sekali. “Terima kasih ya, Pak, sudah menyayangi kami. Kami masih ingin tinggal di rumah Bapak. Aku senang di sini,” ucapnya sambil menangis.“Kamu gak usah pu
Part 49Suasana kota Surabaya sangat ramai malam hari. Harun sudah berganti kostum memakai celana dan kaos yang berbeda, tetapi tetap terlihat menawan di mata Resmi.“Besok kamu pagi-pagi aku antar ke salon, ya? Aku akan mengajak kamu ke undangan pernikahan anak temanku. Kamu jangan kaget, karena tamu yang hadir memang dari kalangan atas.”“Memangnya teman Pak Harun yang punya hajat, bekerja sebagai apa?”“Dia kapolresta. Istrinya seorang dokter.”Resmi menunduk dan memainkan jari-jarinya. Merasa sangat rendah dan semakin penasaran dengan sosok Harun sebenarnya.“Dulu aku punya bisnis di bidang properti. Aku dan temanku membangun bisnis bersama. Usaha yang kami kelola di bidang pembangunan perumahan. Aku dan temanku membeli lahan milik warga yang tidak produktif, lalu kami memasarkannya. Jika ada yang berminat, baru kami membangun rumah sesuai model yang diinginkan orang itu. Sebelum ini, aku sudah sampai di Surabaya juga. Kalau di Surabaya, yang kami bangun rumah kontrakan, lalu menye
Part 48Resmi telah kembali pada rutinitas sebelumnya. Namun, ada yang berbeda, karena ia akan menjadi nyonya di rumah itu, maka sekarang urusan rumah juga menjadi tanggung jawabnya. Seperti menyediakan bahan makanan, membayar pembantu, listrik dan lain-lain. Di awal kepergian saja, Harun langsung memberikan uang nafkah padanya. Benar-benar Upik Abu yang berubah menjadi Cinderella.Dua minggu setelah kepergian Harun, Resmi akhirnya mendapatkan akta cerai yang dikirim melalui pos. Hatinya sangat lega dan bahagia. Ia pun langsung memberitahukan hal ini pada Normi.“Ya sudah, berarti sembilan puluh hari dari hari ini, kamu akan menikah dengan Harun. Tidak usah menghitung bulan dan hari baik. Karena semua hari itu baik untuk menikah. Nanti Ibu yang akan memberitahu Harun.” Normi sangat bahagia mendengar kabar ini. “Ah, lihat akta cerai kamu dulu. Kapan itu tanggalnya? Maksudnya tanggal kamu benar-benar sudah bercerai dari lelaki itu.”“Ini keluarnya sepuluh hari yang lalu, Bu,”“Berarti k
Part 47“Aku sudah merindukan kamarku,” kata Dinis sambil meregangkan kedua tangan di depan rumah.Resmi tersenyum melihat tingkah anaknya yang menganggap rumah majikannya sebagai rumah sendiri. Meskipun sudah ada kesepakatan hubungan dengan Harun, tak lantas membuat wanita itu percaya diri.“Bapak punya sesuatu yang spesial untuk kalian,” kata Harun membuat langkah Dinis berhenti.Gadis kecil itu berbalik dan menatap pria yang berdiri di samping pintu mobil. “Apa?” tanyanya.“Berhenti dulu,” kata Harun. “Tutup mata kamu, sini Bapak bantu,” lanjutnya.Satu telapak tangan saja sudah bisa menutup wajah mungil Dinis. Hasbi yang tertidur lelap diangkat oleh sang ibu.“Apa sih, aku penasaran,” seru Dinis.Resmi yang tidak tahu apa-apa memilih diam dan mengikuti keduanya dari belakang. Ia kaget saat Harun membawa anak sulungnya menuju kamar utama di rumah itu. ruangan pribadi yang ia pikir itu dipersiapkan untuk anak Harun yang sudah lama meninggalkan rumah. Sesekali ia masuk hanya untuk me
Part 46Harun seakan memiliki semangat yang seribu kali lipat untuk melanjutkan hidup. Setelah kepulangan Normi dengan membawa kabar buruk, lelaki itu mulai pergi menemui kolega yang telah lama tidak dijumpainya. Ia mencari peluang bisnis baru yang sedang ramai saat ini.Lelaki itu juga mulai menata rumah. Dua kamar yang kosong dicat kembali serta dibelikan kasur dan lemari yang baru. Warna pink dipilihnya untuk satu kamar yang paling besar ukurannya dibandingkan kamar lain.“Gordennya juga harus warna pink, Harun, Itu pantas untuk kamar cewek,” sahut Normi saat melihat dalam kamar. “Kalau kamar Hasbi, harus warna biru, yang teduh.“Ah, iya, Bu. Kamar ini juga harus ada AC, biar Dinis nyaman saat tidur,” sambung Harun.“Tapi sepertinya mereka akan lama di desa,” ucap Normi.“Yang penting mereka kembali ke rumah ini, Bu. Ah iya, Bu, aku besok mau pergi ke Surabaya. Mau menemui teman. Rencananya aku akan membuka dealer motor bekas untuk sementara ini. Sambil melihat peluang bisnis yang
Part 45“Siapa yang datang, Resmi?” Normi bertanya sambil mengusap mata, pandangannya sering mengabur jika malam hari.“Aku suaminya Resmi. Anda siapa di rumahku?” Harno balik bertanya.“Apa kamu bilang? Ini rumahmu? Ini rumahku,” bentak Resmi.“Oh, jadi kamu suami tidak bertanggung jawab yang membelikan mukena anak saja tidak bisa? Sampai istri harus masuk penjara, memangnya kamu kemana? Kenapa sekarang pulang?” Normi yang geram langsung memberondong Harno dengan pertanyaan menyudutkan.“Jaga ucapan, Anda! Jangan macam-macam di rumah orang. Resmi, siapa wanita tua ini?”“Harno, ayo ikut aku,” ajak Resmi sambil menarik lengan pria yang masih menjadi suaminya sebelum terjadi perdebatan panjang. “Bu, jaga anak-anak di dalam!”“Bu? Berlagak sekali kamu, resmi panggil orang ini Bu?”“Ikuti aku, atau kami akan ramai-ramai memukul kamu, Harno?” ancam Resmi.Harno mengekor, mengikuti langkah Resmi menuju samping rumah.“Mau apa kamu kesini?” tanya Resmi lagi.“Jelas mau pulang lah, aku kange
bu dan anak itu pulang dengan perasaan yang kecewa.“Uang bapakmu sudah habis untuk pesta pernikahan Imah, Harno. Untuk biaya tujuh bulanan dan juga lahiran, kamu coba cari. Belum lagi Siti yang terancam jadi janda. Harno, apa kamu tidak bisa berbuat apapun?”Semakin hari, Harno semakin dibuat tidak nyaman dengan segala permasalahan yang terjadi. Ia memilih pergi beberapa hari, menginap di berbagai rumah orang di kecamatan Resmi. Hingga akhirnya, ia mendengar kabar jika Resmi sudah mengajukan gugatan cerai.“Jadi dia sudah pulang?” tanya Harno.“Iya, Resmi sudah berubah menjadi cantik sekarang.”Harno langsung berdiri dan meminta salah satu orang yang membawa motor untuk mengantar.“Mau kemana kamu, Harno?”“Pulang ...,” teriaknya dari atas motor yang sudah berjalan.‘Gak bisa, Resmi tidak boleh meminta cerai dari aku disaat keadaanku seperti ini. Murni sudah pergi menjauh dan aku tidak punya uang untuk menemui. Imah sedang hamil dan butuh biaya banyak. Mbak Siti juga terancam jadi j
Part 44“Resmi ....” Normi kembali memanggil sosok yang diam di hadapannya.“Bu, saya belum pernah merasakan kasih sayang sosok seorang ibu. Kenal dengan Bu Normi, saya memang sedikit merasakan bagaimana memiliki tempat untuk bersandar, sekalipun Bu Normi statusnya adalah majikan dan saya hanya seorang pembantu. Saya sebenarnya takut suatu ketika akan dicampakkan lagi jika memutuskan untuk menikah kembali. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya sudah bisa merasakan bahwa kalian tulus menyayangi dan menampung kami. Saya tidak tahu bila harus berpisah dengan kalian. Permintaan Bu Normi membuat saya sangat terharu. Tetapi kenapa Bu Normi yang meminta ini padaku? Bukan Pak Harun langsung?” Dengan suara lirih, Resmi menjawab.“Harun yang memintaku untuk mengatakan ini. Harun tidak berani karena kondisinya dia bukan pria yang sempurna,” sahut Normi dengan binar bahagia karena merasa lamarannya disambut oleh Resmi. “Jadi, Resmi, kamu ‘kan intinya? Menerima permintaanku untuk menjadi menantu
Dimana ada gula, maka disanalah semut akan berkerumun. Perumpamaan seperti itu pantas bagi kondisi Dinis saat ini. Ia yang sudah menjelma bak seorang putri di kalangan anak kampungnya, mendadak jadi idola. Idola anak seusianya.Satu per satu teman datang untuk mengajaknya bermain. Mengaku sebagai teman, mengingatkan pada kenangan-kenangan yang telah dilalui bersama, tetapi mereka lupa pernah memperlakukan Dinis dengan tidak baik.“Kamu dulu ingat gak, suka ambil mangga yang jatuh di pinggir jalan.”“Ramai ya, waktu itu? Seru. Kamu mau ambil mangga kesana lagi gak? Sekarang lagi musim mau matang lho ....”“Iya, Dinis, kita kesana lagi yuk ....”Dinis sampai bingung harus mendengarkan siapa, karena semua seakan berebut untuk berbicara.“Mau Dinis?”Dinis menggeleng. “Aku sudah bosan makan mangga. Eyang sering membelikan,” jawabnya.“Terus kamu pengen main apa?”“Main bola kasti?”Dinis menggeleng.“Main masak-masakan?”Dinis menggeleng lagi.“Kamu pengen main apa, Dinis? Bilang saja. Na
Part 43Resmi kembali menjadi buah bibir, tetapi kali ini bukan karena keburukannya. Melainkan nasib baik yang menghampiri.Dinis yang kebetulan keluar rumah, langsung diwawancarai oleh ibu-ibu komplek dengan beragam pertanyaan. Kebetulan ada Darmi di sana.“Jadi kamu tidak dijual Dinis?” Mulut-mulut kotor masih saja bertanya demikian.“Tidak. Aku di sana sama Ibu di rumah Eyang Nyonya.”“Eyang Nyonya itu wanita tua tadi ya? Siapa sih dia?”“Eyang Nyonya itu majikan kami. Ibu dulu jadi pembantu, tapi sekarang sudah tidak. Karena Ibu pintar, sekarang Ibu jadi, jadi apa ya? Jadi pengurus tokonya Eyang. Terus, Eyang cari pembantu lagi buat bersih-bersih rumah. Ibu juga gak pernah nyuci baju lagi sekarang. Semuanya dikerjakan Mbok Jum.”“Kamu di sana sekolah tidak, Dinis?” darmi yang sedari tadi diam, kali ini ikut bertanya.“Sekolah. Aku malah sekolah di sekolahan yang paling bagus. Kata Eyang karena aku pintar. Kemarin aku dapat piala, juara satu.”“Kamu betah? Gak pengin pindah lagi ke