Part 33Aku tidak percaya ini, sungguh tidak percaya. Resmi sudah mempersiapkan segala hal saat dia akan pergi. Meski melalui perdebatan yang sangat panjang, tetap saja Haji Abas tidak mau melepaskan tanah milik istriku.“Kalau begitu, Pak Haji saja yang beli tanahnya. Lalu, ambil saja uang yang sudah kalian berikan pada Resmi. Sisanya kasih sama aku.” Jalan ninja terakhir akhirnya ku pilih.“Kamu pikir kami ini orang bodoh apa, Harno? Dari dulu kami hidup di tanah ini dan tahu itu adalah tanah warisan yang diberikan pada Resmi. kamu siapa berani-beraninya memaksa kami untuk menjual?” Tak kusangka, Haji Abas menjawab dengan intonasi yang tinggi.“Pak, Harno ini suami Resmi. Kenapa Pak Haji yang orang lain berani dan lancang untuk melarang?” Sebuah suara keras membuatku menoleh.Ternyata Bapak menyusul kemari.“Karena Resmi sudah memberikan kami amanah untuk menjaga tanah itu. Anda pikir kami tidak tahu apa yang telah kalian lakukan pada Resmi? Tidak tahu malu datang kemari dan meminta
Lebaran baru saja selesai. Itu artinya pernikahan Imah hanya beberapa minggu lagi dilaksanakan. Dikarenakan belum punya uang, maka untuk membayar rias pengantin, terpaksa menjual cengkeh kering Emak.Ternyata itu memicu masalah baru muncul. Wati marah-marah dan tidak terima karena ia tidak mendapat bagian.“AKu saja dulu nikah tidak pakai rias-riasan segala. Daripada rias mahal, tetapi dengan mengambil hak orang lain, mending pakai yang sederhana saja,” ucapnya sambil menuding wajah Imah.Hatiku terbakar emosi melihat dia berulah demikian. Aku langsung bangkit dan menampar wajahnya. “Berani-beraninya kamu bicara seperti itu, Wati. Pada saat kamu nikah, kamu menikah dengan orang miskin, minta disamakan dengan Imah? Beda kelas, wati! Berkorban sedikit untuk adikmu, tidak akan membuat kamu melarat. Toh uang yang dipakai masih pakai uang orang tua kita. Aku saja ikhlas, kenapa kamu tidak?” ucapku setelah melayangkan tangan pada pipi membuatn adik yang lahir setelah aku itu terhuyung.“Tid
Part 34Tidaklah aku akan diuji, sampai hati benar-benar berada di titik yang pasrah*Resmi*Dengan tangan gemetar, aku meletakkan gagang telepon. Mas Harno, lelaki itu, apa lagi yang diinginkan dariku? Bukankah aku hanya dianggap sebagai benalu dalam hidupnya? Kenapa sekarang ia mencariku? Mustahil jika tanpa sebab. Pasti ada yang diinginkan dariku.Hati menjadi cemas, terlebih Pak Harun dan Bu Normi belum juga pulang.Sumi, apa dia tega memberikan alamat rumah ini? Lalu tanah yang ku tinggalkan? Apa Pak Haji Abas akan semudah itu menyerahkan pada lelaki tak berperasaan seperti Mas Harno?Sepertinya batas antara bahagia dan sedih, tidak ada sehelai rambut pun. Buktinya, aku yang mengira keadaan akan baik-baik saja, ternyata perkiraan itu meleset.Gegas aku masuk ke kamar dan memberitahu Dinis agar tidak membiarkan adiknya keluar rumah. Sementara waktu, mereka harus bersembunyi, setidaknya sampai kedua majikanku pulang kembali.Aku membuka dompet besar yang tersimpan di lemari serta m
Pertanyaan macam ini? Bukankah tidak seharusnya majikan mengeluarkan kalimat seperti itu? Aku jadi bingung hendak menjawab apa. Sampai detik ini, aku masih berpikir ingin menjadi pembantu di rumah itu. Ketika dokter menyangka aku istrinya, hal itu pun tak lantas membuat hati jadi percaya diri.“Bu-bukan seperti itu, Pak maksudnya, tapi ....”“Pak Harun ....” Belum sempat menyelesaikan bicara, suster sudah memanggil.Pak Harun sudah bisa berdiri sendiri dan mulai berjalan pelan. Aku rasa akibat dari kecelakaan itu tidak terlalu parah, keterpurukan Pak Harun ditinggal istrinyalah yang seolah membuatnya semakin sakit.Setelah ucapannya tadi, Pak Harun jadi diam. Bahkan di dalam mobil pun demikian. Biasanya ia akan mengajak mampir ke rumah makan, ini tidak. Aku duduk di tengah pun sama-sama diam sambil memangku Hasbi. Apalah aku ini yang hanya seorang pembantu.“Hasbi tahun ini sudah saatnya masuk TK. Kamu harus memikirkan itu. kalau memang mau pulang kampung dan kembali sama suami kamu,
Aku membuka plastik yang diberi Pak Harun, isinya sebuah baju sepanjang lutut dengan lengan sebatas siku. Bahan yang lembut serta warna yang soft, membuat hati langsung jatuh hati. Tanpa sadar bibir tertarik membentuk seulas senyum. Andai yang memberikan adalah suamiku, tentu saja hati tambah berbunga-bunga. Senyumku redup, manakala sadar jika yang memberikan itu adalah majikan. Bukan tidak berterima kasih, tetapi aku tidak boleh terlalu bahagia. Itu sangat memalukan. "Kamu tidak suka?" Suara Pak Harun terdengar keras. "Em, saya suka, Pak. Tentu saja sangat suka. Ini terlalu bagus untuk saya yang seorang pembantu." "Kamu tidak mau menerimanya?" Sepertinya akhir-akhir ini Pak Harun senang sekali memfitnah. "Kalau tak suka, bawa saja berikan pada Sumi nanti saat kamu pulang," lanjutnya lagi. Lama-lama hati kesal juga dengan omongan dia. Jangan karena majikan, seenaknya saja bicara. "Pak Harun, maaf, dari tadi Bapak selalu men
"Bu, jujur saja saya sedang berada di fase yang sangat nyaman. Saya tidak peduli dengan status saya. Ibarat kata, habis dikejar-kejar segerombolan binatang di hutan, kini saya sampai di sebuah desa yang sangat aman. Jika Ibu di posisi saya, apa yang akan Ibu lakukan? Kembali ke hutan itu bertemu dengan binatang yang siap memangsa, atau bertahan di sini sementara waktu?" Bu Normi menatapku sambil mengangguk kecil. "Ibu paham maksud saya?" Lagi, beliau mengangguk. "Bagi saya, saya tak peduli status yang penting saya jauh dari mereka." "Jika ada yang suka sama kamu, kamu bagaimana?" Aku tertawa kecil. "Ada banyak jawaban kalau itu, Bu. Aku tidak yakin akan ada yang mau dengan perempuan beranak dua. Dan alasan lain, jika pun ada yang mau, aku belum bisa mengenalkan Dinis dan Hasbi pada orang baru. Iya kalau mereka nyaman dengan orang tersebut. Kalau tidak?" Aku berhenti sebentar. "Maaf, Ibu, bukankah Ibu pernah ada di posisi saya dan memili
Part 36Melupakan rasa sakit hati, tak semudah mencintai seseorang. Hati yang terlanjur sakit, hanya butuh rasa nyaman untuk menyembuhkan, bukan pelampiasan.*Resmi*Aku menutup kembali pintu kamar dan urung keluar. Berkali-kali menggelengkan kepala, menepis kenyataan yang telah terlanjur singgah di telinga ini.Tidak, mereka hanya menyatakan sebuah opini semata. Hati ini, biar saja seperti sekarang. Terlanjur nyaman dengan kesendirian. Lebih baik esok aku bersikap biasa saja, seperti tidak tahu apapun.***NA***“Resmi, hari ini aku sudah agak mendingan. Kamu antar Harun terapi, ya!” perintah Bu Normi yang tentu saja aku iyakan.Aku hanyalah pembantu dan tugasku melayani majikan.“Sepertinya kamu perlu belajar naik motor, Resmi. Supaya mudah jika mau bepergian,” kata Bu Normi lagi.“Jika itu memang dibutuhkan, saya mau, Bu. Tapi siapa yang mau mengajari?”“Roni. Dia yang akan mengajari kamu di sore hari.”Aku mengangguk pelan. Anggap saja aku mayang mereka yang akan menuruti segala ya
“Naik jabatan jadi sopir ya, menggantikan kamu,” balasku dengan candaan.“Yah, kok jadi sopir, jadi nyonya dong, Mbak. Nyonya Harun,” teriaknya kencang.Refleks aku memukul tangannya keras. “Jangan sembarangan kalau bicara! Aku ini pembantu.”“Mbak, kenapa sih merendah terus? Gak pengen nasibnya berubah apa?”“Ya pengen, tapi candaanmu keterlaluan lho. Itu majikan kita.”“Ya ‘kan sudah didoakan siapa tahu jadi nyonya.”“Sudah, sudah, berhenti bercandanya. Kita harus pulang.”“Salut aku sama Mbak Resmi. Selalu merendah dan tahu diri. Jarang-jarang lho, Mbak wanita kayak gitu. Yang banyak itu matre, kalau lihat orang kaya ya penginnya deketin. Aku pengen punya satu cewek yang kayak Mbak resmi, tapi yang muda, kalau Mbak resmi ketuaan, hahahaha ....” Roni tergelak.Aku menoyor bahu pemuda itu dan meninggalkannya.“Sudah selesai tadi main pasirnya?” Aku bertanya pada Hasbi yang mulutnya penuh dengan kelapa.“Sudah. Mau mandi, Ibu, lengket.”Tak sengaja tatapan kami, aku dan Pak Harun bers