Beranda / Lain / Ifat / Bab 161 - Bab 170

Semua Bab Ifat: Bab 161 - Bab 170

232 Bab

Bab 161: Mimpi di Dalam Mimpi

Bab 161: Mimpi di Dalam Mimpi**Dia menatapku dengan ekspresi yang cemas. Ada kepanikan di setiap inci wajahnya dan itu bisa terbaca olehku dengan jelas. Meski pandanganku sendiri masih serba samar dan kabur akibat baru bangun dari tidur.Maka apa pun yang berada dan bergerak di depanku, tampak olehku serupa efek slow motion dari sebuah film.Atau mungkin, memang sang waktu yang berjalan dengan begitu lambatnya sehingga gerakan orang-orang di depanku hanya serupa lakon pantomin?“Pak? Bapak sudah bangun?”Wanita berseragam pramugari di depanku ini.., aku mengenalnya!Pesawat masih berada pada tiga puluh ribu kaki di angkasa. Masih setengah jam lagi baru akan mendarat di Surabaya.Sebuah kepanikan kecil telah terjadi. Membuat sebagian penumpang yang duduk di bagian depan menoleh ke belakang, lalu yang duduk di bagian belakang berdiri untuk melihat ke depan.Sementara penumpang yang duduk tepat di sebelahku, juga pramugari yang barusan membangunkan dengan cara menepuk-nepuk wajahku, me
Baca selengkapnya

Bab 162: Tangan-tangan Takdir

Bab 162: Tangan-tangan Takdir**Anggun berjalan dengan langkah yang tangkas. Tangan kirinya menarik koper dan tangan kanannya sedikit sibuk dengan beberapa pesan yang sedang dan harus ia balas, sebelum nanti ia akan menonaktifkan ponselnya saat sudah berada di atas pesawat.Herna dan Christin ada di sisi kanannya, dalam iringan langkah yang juga tangkas seakan berada dalam satu komando.Rok yang dikenakan ketiganya mengeluarkan suara kelebat kecil, saling berbalas dengan tiga pasang hak sepatu yang menjejak lantai keramik di Bandara Internasional Juanda, Surabaya.Jadwal tugas mereka sebagai flight attendant sudah menanti pada beberapa saat di depan sana. Melayani penumpang dalam penerbangan ke Jakarta, lalu akan kembali terbang menuju bandara Sepinggan di kota Balikpapan, Kalimantan Timur.Obrolan kecil sedang terjadi antara mereka bertiga. Meneruskan perbincangan dari hotel yang belum tuntas. Christin yang selalu gagal membuat kue bolu menyimak penjelasan Herna.Tentang takaran tep
Baca selengkapnya

Bab 163: Bibit Cabe

Bab 163: Bibit Cabe**Maka di sinilah aku, berdiri di salah satu sudut kota kelahiranku, Surabaya. Cahaya matahari menyorotku dari arah tenggara dan menjatuhkan bayanganku di tanah kosong entah milik siapa.Di belakangku, kebisingan tercipta dari riuh ramainya jalan raya. Aneka macam kendaraan hilir mudik dengan beragam suara mesin, klakson dan gilasan roda-rodanya di atas aspal.Sudah pergi, namun di langit tadi ada mendung yang lumayan tebal.Aku menatap ke kejauhan, pada gunung Penanggungan yang samar dalam warna biru tua dengan kabut putih yang menutupi puncaknya.Gunung terdekat dari kota Surabaya yang sering ditakluki para pendaki yang ingin menikmati keindahan semesta namun hanya mempunyai waktu yang tanggung.Ini adalah hari kedua aku berada di kota yang berjuluk Kota Pahlawan ini. Hari kedua yang aku habiskan dengan berkeliling, berjalan ke sana ke mari di daerah atau wilayah di mana dulu rumah ibuku berada.Rumah kecil di pinggiran kota tempat segala sesuatu dari kehidupank
Baca selengkapnya

Bab 164: Tempat Untuk Kembali

Bab 164: Tempat Untuk Kembali**Selama beberapa hari kemudian, menggunakan sepeda motornya Suryo menemani aku pergi berkeliling kota Surabaya.Ia sengaja mengambil cuti dari workshop tempat dia bekerja, yang prosedurnya harus ia kangkangi sedikit dan ia manipulasi dengan bumbu kebohongan.“Aku bilang pada kepala teknisi dan mandor di workshop, aku punya urusan genting yang mendadak.” Terang Suryo.“Lalu, kepala teknisi kamu tidak tanya, urusan apa?”“Untuk apa tanya, lha wong kepala teknisinya aku sendiri.”“Lho, piye toh—gimana sih?” Tanyaku pula.“Tidak usah bingung begitu kamu, Fat.”“Terus kalau mandor kamu nanti tanya-tanya bagaimana?”“Untuk apa tanya-tanya, wong mandornya aku sendiri.”“Edan kamu, Yo! Perusahaan macam apa tempat kamu bekerja itu. Kalau kamu dimarah sama boss kamu bagaimana?”“Mana mungkin dia marah. Wong anaknya sudah aku nikahi.”“Boss kamu itu mertua kamu??”“Hiyaa!”Aku tersenyum sembari geleng-geleng kepala.“Memang mujur nasib kamu, ya? Hidup lempang, had
Baca selengkapnya

Bab 165: Peziarah

Bab 165: Peziarah**“Ee.., ini, jujur saja, Fat. Abang khawatir kejadian yang sama terulang lagi. Idah diculik Josep, dan.., dan..”Aku menghela nafas lagi.“Iya, Bang. Aku juga sering berpikir begitu.”“Kemarin, Abang ada bercakap-cakap dengan Pak Latif.”“Nah, tentang apa itu?”“Mmm, begini. Apa yang Abang bilang tentang kekhawatiran tadi, itu juga dirasakan oleh Pak Latif. Bahkan dia yang pertama mengungkapkan hal ini pada Abang. Jadi, sekarang dia sedang memikirkan rencana untuk hijrah ke Bukit Tinggi. Dengan kata lain, pulang ke kampung halamannya.”Aku bangkit dari kursi yang sedari tadi kududuki. Tujuh langkah berjalan aku sampai di jendela kamar hotelku dan lantas membukanya. Berjalan keluar, menyambut cercah-cercah cahaya dari lampu kendaraan di jalan raya yang beberapa saat menampar-nampar wajahku. Keterangan dari Bang Idris itu membuatku merasa sedang berada di dalam proses penelantaran oleh masa lalu.Idah yang wajahnya mirip almarhumah Ainun, yang menjadi jembatan masa
Baca selengkapnya

Bab 166: Pak Bambang

Bab 166: Pak Bambang**Jihan berlari keluar dari sebuah ruangan yang ada di kawasan Fakultas Sastra, meninggalkan para dosen penguji dan orang-orang yang duduk memenuhi ruangan itu.Langkah kakinya tampak sedikit repot dengan buku-buku dan tas yang ia bawa. Sebentar menyusuri koridor, ia sudah sampai di luar dan berhenti di depan sebuah taman.Nafas Jihan memburu, dadanya kembang kempis. Ia menolehkan kepalanya kanan dan kiri, mencari-cari.Matanya berlinang dengan air mata kebahagiaan yang segera saja meluncur jatuh saat mendapati sahabatnya, Ika Damayanti tengah duduk di sebuah bangku di taman itu.Jihan teruskan lagi larinya, menyusuri jalan setapak yang diapit rangkaian bunga asoka. Jejak sepatunya menimbulkan suara tepak-tepok yang nyaring, diimbuhi suara kelebatan ujung rok dan juga jilbabnya.“Ika..!” Pekik Jihan pada sahabatnya itu.Ika yang tengah menunduk, serentak mengangkat wajah, dan berdiri pula untuk
Baca selengkapnya

Bab 167: Masih Tentang Pak Bambang

Bab 167: Masih Tentang Pak Bambang**“Kamu bilang begitu?” Tanya Ika pada Jihan.“Iya, kenapa?” Jihan balas tanya.“Kamu sebutkan langsung nama Bang Ifat itu pada Pak Bambang itu?”“Iya. Aku sebutkan dengan lugas, tegas, dan tanpa tedeng aling-aling.”Ika tersenyum tipis. Ia segera membayangkan bagaimana raut wajah Pak Bambang ketika bereaksi dengan jawaban Jihan yang terakhir seperti baru saja diceritakan.Jihan melanjutkan kata-katanya.“Walaupun sekuat tenaga aku menyembunyikannya, tapi tidak bisa dipungkiri, aku kesal sekali dengan pertanyaan Pak Bambang tentang menikah itu.”Ika tertawa kecil. “Yah, menurut aku sih, sah-sah saja dosen penguji bertanya seperti itu? Apa lagi dia memintamu menjelaskan sosok Bang Ifat itu menggunakan bahasa Inggris.”“Sah? Sah bagaimana? Ini sidang skripsi lho, Ika! Jurusan sastra Inggris, dan bahasan
Baca selengkapnya

Bab 168: Sekali Lagi Tentang Bambang

Bab 168: Sekali Lagi Tentang Bambang**“Dan terakhir, kita nengokin mantan istrinya Bambang.”“Mantan istrinya Bambang?” Tanyaku.“Iya,”“Bambang? Bambang siapa?”“Kamu lupa?” Suryo balas  tanya.“Bambang Sujatmiko?” Kejarku. “Yang pemain ludruk?”“Bukan pemain ludruk, yang benar adalah pemain kuda lumping. Tapi, bukan Bambang yang itu. Kalau Bambang itu rumahnya kelewat jauh. Lagi pula, waktu sekolah dulu kita tidak terlalu akrab dengan dia.”“Bambang Priambodo? Yang dulu pernah ditangkap polisi gara-gara mencuri kutang perempuan dari jemuran?”“Bukan Bambang yang itu, Fat. Kalau yang itu sih, untuk apa kita datangi. Lagi pula, dia juga sudah meninggal gara-gara kesamber petir.”“Kesamber petir? Wuiih!” Aku takjub.  “Iya, kena karma kali, ya?”
Baca selengkapnya

Bab 169: Kok Bambang Lagi Sih?

Bab 169: Kok Bambang Lagi Sih?**Leony menghentikan mobilnya persis di tepi jalan. Beberapa saat kedua tangannya sibuk memutar-mutar lingkar kemudi, dan kedua matanya menatap bergantian pada kaca spion.Ia tidak ingin parkir mobilnya di tepi jalan itu mengganggu kendaraan lain yang mungkin lewat di jalan komplek.Beres dengan parkir, ia keluar dari mobil dan memasuki halaman sebuah rumah berwarna putih dengan tiang-tiang di terasnya yang terbuat dari kayu ulin yang mengkilat. Mengetuk pintunya, Leony pun mengucap salam.“Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam.” Sahutan dari dalam segera terdengar. Menyusul kemudian seorang  wanita berusia enam puluhan muncul di ambang pintu.“Anggun-nya ada, Te?”“Eh, Leony. Tante kira siapa tadi. Ada. Anggun-nya ada. Mari masuk.”“Terima kasih, Te.”Leony memasuki rumah, dan terus saja dibimbing ibu Anggun
Baca selengkapnya

Bab 170: Lelaki Dengan Botol Minum

Bab 170: Lelaki Dengan Botol Minum**“Kalau mas-nya yang satu ini, mau pesan apa?”Aku mengingatnya, tapi dia tidak mengingatku!Tidak banyak perbedaan yang aku lihat dari wajahnya yang sekarang. Nyaris tidak ada yang berubah dari saat terakhir kali aku melihatnya dulu di acara perpisahan sekolah.Kecantikannya yang berupa paduan pesona berlapis-lapis, seperti sebuah struktur integral dari kesempurnaan rancang bangun Sang Pencipta yang terdiri dari raut yang indah, senyum yang menawan, bibir yang tipis dan dagu yang mungil. Membuat lelaki kurang ajar mana pun akan berhasrat untuk menjawil.Mengapa bahasaku sekarang seperti sastrawan? Seharusnya Ucon yang berkata-kata seperti ini. Pendek kalimat, aku menyimpulkan wajah Aryati sekarang ini memancarkan kedewasaan.Itu pula yang membuat aku makin segan. Dia masih memiliki daya pikat seumpama sinden, juga daya magis serupa penari ronggeng.“Mas-nya mau pesan apa?&
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1516171819
...
24
DMCA.com Protection Status