Bab 162: Tangan-tangan Takdir**Anggun berjalan dengan langkah yang tangkas. Tangan kirinya menarik koper dan tangan kanannya sedikit sibuk dengan beberapa pesan yang sedang dan harus ia balas, sebelum nanti ia akan menonaktifkan ponselnya saat sudah berada di atas pesawat.Herna dan Christin ada di sisi kanannya, dalam iringan langkah yang juga tangkas seakan berada dalam satu komando.Rok yang dikenakan ketiganya mengeluarkan suara kelebat kecil, saling berbalas dengan tiga pasang hak sepatu yang menjejak lantai keramik di Bandara Internasional Juanda, Surabaya.Jadwal tugas mereka sebagai flight attendant sudah menanti pada beberapa saat di depan sana. Melayani penumpang dalam penerbangan ke Jakarta, lalu akan kembali terbang menuju bandara Sepinggan di kota Balikpapan, Kalimantan Timur.Obrolan kecil sedang terjadi antara mereka bertiga. Meneruskan perbincangan dari hotel yang belum tuntas. Christin yang selalu gagal membuat kue bolu menyimak penjelasan Herna.Tentang takaran tep
Bab 163: Bibit Cabe**Maka di sinilah aku, berdiri di salah satu sudut kota kelahiranku, Surabaya. Cahaya matahari menyorotku dari arah tenggara dan menjatuhkan bayanganku di tanah kosong entah milik siapa.Di belakangku, kebisingan tercipta dari riuh ramainya jalan raya. Aneka macam kendaraan hilir mudik dengan beragam suara mesin, klakson dan gilasan roda-rodanya di atas aspal.Sudah pergi, namun di langit tadi ada mendung yang lumayan tebal.Aku menatap ke kejauhan, pada gunung Penanggungan yang samar dalam warna biru tua dengan kabut putih yang menutupi puncaknya.Gunung terdekat dari kota Surabaya yang sering ditakluki para pendaki yang ingin menikmati keindahan semesta namun hanya mempunyai waktu yang tanggung.Ini adalah hari kedua aku berada di kota yang berjuluk Kota Pahlawan ini. Hari kedua yang aku habiskan dengan berkeliling, berjalan ke sana ke mari di daerah atau wilayah di mana dulu rumah ibuku berada.Rumah kecil di pinggiran kota tempat segala sesuatu dari kehidupank
Bab 164: Tempat Untuk Kembali**Selama beberapa hari kemudian, menggunakan sepeda motornya Suryo menemani aku pergi berkeliling kota Surabaya.Ia sengaja mengambil cuti dari workshop tempat dia bekerja, yang prosedurnya harus ia kangkangi sedikit dan ia manipulasi dengan bumbu kebohongan.“Aku bilang pada kepala teknisi dan mandor di workshop, aku punya urusan genting yang mendadak.” Terang Suryo.“Lalu, kepala teknisi kamu tidak tanya, urusan apa?”“Untuk apa tanya, lha wong kepala teknisinya aku sendiri.”“Lho, piye toh—gimana sih?” Tanyaku pula.“Tidak usah bingung begitu kamu, Fat.”“Terus kalau mandor kamu nanti tanya-tanya bagaimana?”“Untuk apa tanya-tanya, wong mandornya aku sendiri.”“Edan kamu, Yo! Perusahaan macam apa tempat kamu bekerja itu. Kalau kamu dimarah sama boss kamu bagaimana?”“Mana mungkin dia marah. Wong anaknya sudah aku nikahi.”“Boss kamu itu mertua kamu??”“Hiyaa!”Aku tersenyum sembari geleng-geleng kepala.“Memang mujur nasib kamu, ya? Hidup lempang, had
Bab 165: Peziarah**“Ee.., ini, jujur saja, Fat. Abang khawatir kejadian yang sama terulang lagi. Idah diculik Josep, dan.., dan..”Aku menghela nafas lagi.“Iya, Bang. Aku juga sering berpikir begitu.”“Kemarin, Abang ada bercakap-cakap dengan Pak Latif.”“Nah, tentang apa itu?”“Mmm, begini. Apa yang Abang bilang tentang kekhawatiran tadi, itu juga dirasakan oleh Pak Latif. Bahkan dia yang pertama mengungkapkan hal ini pada Abang. Jadi, sekarang dia sedang memikirkan rencana untuk hijrah ke Bukit Tinggi. Dengan kata lain, pulang ke kampung halamannya.”Aku bangkit dari kursi yang sedari tadi kududuki. Tujuh langkah berjalan aku sampai di jendela kamar hotelku dan lantas membukanya. Berjalan keluar, menyambut cercah-cercah cahaya dari lampu kendaraan di jalan raya yang beberapa saat menampar-nampar wajahku. Keterangan dari Bang Idris itu membuatku merasa sedang berada di dalam proses penelantaran oleh masa lalu.Idah yang wajahnya mirip almarhumah Ainun, yang menjadi jembatan masa
Bab 166: Pak Bambang**Jihan berlari keluar dari sebuah ruangan yang ada di kawasan Fakultas Sastra, meninggalkan para dosen penguji dan orang-orang yang duduk memenuhi ruangan itu.Langkah kakinya tampak sedikit repot dengan buku-buku dan tas yang ia bawa. Sebentar menyusuri koridor, ia sudah sampai di luar dan berhenti di depan sebuah taman.Nafas Jihan memburu, dadanya kembang kempis. Ia menolehkan kepalanya kanan dan kiri, mencari-cari.Matanya berlinang dengan air mata kebahagiaan yang segera saja meluncur jatuh saat mendapati sahabatnya, Ika Damayanti tengah duduk di sebuah bangku di taman itu.Jihan teruskan lagi larinya, menyusuri jalan setapak yang diapit rangkaian bunga asoka. Jejak sepatunya menimbulkan suara tepak-tepok yang nyaring, diimbuhi suara kelebatan ujung rok dan juga jilbabnya.“Ika..!” Pekik Jihan pada sahabatnya itu.Ika yang tengah menunduk, serentak mengangkat wajah, dan berdiri pula untuk
Bab 167: Masih Tentang Pak Bambang**“Kamu bilang begitu?” Tanya Ika pada Jihan.“Iya, kenapa?” Jihan balas tanya.“Kamu sebutkan langsung nama Bang Ifat itu pada Pak Bambang itu?”“Iya. Aku sebutkan dengan lugas, tegas, dan tanpa tedeng aling-aling.”Ika tersenyum tipis. Ia segera membayangkan bagaimana raut wajah Pak Bambang ketika bereaksi dengan jawaban Jihan yang terakhir seperti baru saja diceritakan.Jihan melanjutkan kata-katanya.“Walaupun sekuat tenaga aku menyembunyikannya, tapi tidak bisa dipungkiri, aku kesal sekali dengan pertanyaan Pak Bambang tentang menikah itu.”Ika tertawa kecil. “Yah, menurut aku sih, sah-sah saja dosen penguji bertanya seperti itu? Apa lagi dia memintamu menjelaskan sosok Bang Ifat itu menggunakan bahasa Inggris.”“Sah? Sah bagaimana? Ini sidang skripsi lho, Ika! Jurusan sastra Inggris, dan bahasan
Bab 168: Sekali Lagi Tentang Bambang**“Dan terakhir, kita nengokin mantan istrinya Bambang.”“Mantan istrinya Bambang?” Tanyaku.“Iya,”“Bambang? Bambang siapa?”“Kamu lupa?” Suryo balas tanya.“Bambang Sujatmiko?” Kejarku. “Yang pemain ludruk?”“Bukan pemain ludruk, yang benar adalah pemain kuda lumping. Tapi, bukan Bambang yang itu. Kalau Bambang itu rumahnya kelewat jauh. Lagi pula, waktu sekolah dulu kita tidak terlalu akrab dengan dia.”“Bambang Priambodo? Yang dulu pernah ditangkap polisi gara-gara mencuri kutang perempuan dari jemuran?”“Bukan Bambang yang itu, Fat. Kalau yang itu sih, untuk apa kita datangi. Lagi pula, dia juga sudah meninggal gara-gara kesamber petir.”“Kesamber petir? Wuiih!” Aku takjub. “Iya, kena karma kali, ya?”
Bab 169: Kok Bambang Lagi Sih?**Leony menghentikan mobilnya persis di tepi jalan. Beberapa saat kedua tangannya sibuk memutar-mutar lingkar kemudi, dan kedua matanya menatap bergantian pada kaca spion.Ia tidak ingin parkir mobilnya di tepi jalan itu mengganggu kendaraan lain yang mungkin lewat di jalan komplek.Beres dengan parkir, ia keluar dari mobil dan memasuki halaman sebuah rumah berwarna putih dengan tiang-tiang di terasnya yang terbuat dari kayu ulin yang mengkilat. Mengetuk pintunya, Leony pun mengucap salam.“Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam.” Sahutan dari dalam segera terdengar. Menyusul kemudian seorang wanita berusia enam puluhan muncul di ambang pintu.“Anggun-nya ada, Te?”“Eh, Leony. Tante kira siapa tadi. Ada. Anggun-nya ada. Mari masuk.”“Terima kasih, Te.”Leony memasuki rumah, dan terus saja dibimbing ibu Anggun
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.