Bab 168: Sekali Lagi Tentang Bambang
**
“Dan terakhir, kita nengokin mantan istrinya Bambang.”
“Mantan istrinya Bambang?” Tanyaku.
“Iya,”
“Bambang? Bambang siapa?”
“Kamu lupa?” Suryo balas tanya.
“Bambang Sujatmiko?” Kejarku. “Yang pemain ludruk?”
“Bukan pemain ludruk, yang benar adalah pemain kuda lumping. Tapi, bukan Bambang yang itu. Kalau Bambang itu rumahnya kelewat jauh. Lagi pula, waktu sekolah dulu kita tidak terlalu akrab dengan dia.”
“Bambang Priambodo? Yang dulu pernah ditangkap polisi gara-gara mencuri kutang perempuan dari jemuran?”
“Bukan Bambang yang itu, Fat. Kalau yang itu sih, untuk apa kita datangi. Lagi pula, dia juga sudah meninggal gara-gara kesamber petir.”
“Kesamber petir? Wuiih!” Aku takjub.
“Iya, kena karma kali, ya?”
Bab 169: Kok Bambang Lagi Sih?**Leony menghentikan mobilnya persis di tepi jalan. Beberapa saat kedua tangannya sibuk memutar-mutar lingkar kemudi, dan kedua matanya menatap bergantian pada kaca spion.Ia tidak ingin parkir mobilnya di tepi jalan itu mengganggu kendaraan lain yang mungkin lewat di jalan komplek.Beres dengan parkir, ia keluar dari mobil dan memasuki halaman sebuah rumah berwarna putih dengan tiang-tiang di terasnya yang terbuat dari kayu ulin yang mengkilat. Mengetuk pintunya, Leony pun mengucap salam.“Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam.” Sahutan dari dalam segera terdengar. Menyusul kemudian seorang wanita berusia enam puluhan muncul di ambang pintu.“Anggun-nya ada, Te?”“Eh, Leony. Tante kira siapa tadi. Ada. Anggun-nya ada. Mari masuk.”“Terima kasih, Te.”Leony memasuki rumah, dan terus saja dibimbing ibu Anggun
Bab 170: Lelaki Dengan Botol Minum**“Kalau mas-nya yang satu ini, mau pesan apa?”Aku mengingatnya, tapi dia tidak mengingatku!Tidak banyak perbedaan yang aku lihat dari wajahnya yang sekarang. Nyaris tidak ada yang berubah dari saat terakhir kali aku melihatnya dulu di acara perpisahan sekolah.Kecantikannya yang berupa paduan pesona berlapis-lapis, seperti sebuah struktur integral dari kesempurnaan rancang bangun Sang Pencipta yang terdiri dari raut yang indah, senyum yang menawan, bibir yang tipis dan dagu yang mungil. Membuat lelaki kurang ajar mana pun akan berhasrat untuk menjawil.Mengapa bahasaku sekarang seperti sastrawan? Seharusnya Ucon yang berkata-kata seperti ini. Pendek kalimat, aku menyimpulkan wajah Aryati sekarang ini memancarkan kedewasaan.Itu pula yang membuat aku makin segan. Dia masih memiliki daya pikat seumpama sinden, juga daya magis serupa penari ronggeng.“Mas-nya mau pesan apa?&
Bab 171: Rahasia Sang Pecinta**Anggun menarik nafas yang dalam. Ada sesuatu di sudut hatinya, berupa bayangan gelap, atau siluet seorang lelaki yang sedang duduk di kursi.Lelaki itu sedang menunduk seakan tengah menekuri sesuatu. Di tangan lelaki itu ada sebuah botol minum dengan gambar karakter Winnie The Pooh.Begitu banyak perasaan di dalam hati Anggun yang begitu sulit ia luapkan.Cemburu. Anggun merasa cemburu pada bagaimana Leony mencintai Ifat.Juga prihatin, sebab lelaki yang dicintai sahabatnya itu masih juga belum menunjukkan kepastian.Dilema, karena Anggun ternyata mencintai lelaki yang sama. Sekaligus iri, dan ini terkait dengan lanjutan cerita dari mulut Leony.“Saking sayangnya Ifat pada adiknya, juga pada botol minum peninggalan Ainun itu, dia tidak pernah meminjamkannya pada orang lain. Satu kali pun, tidak pernah dia memberi minum orang lain dengan botol minumnya itu.”“Bagi Ifat, b
Bab 172: Tiga Langkah Mati**Maka dengan Kassandra, sampai detik ini hanya ada tiga orang yang pernah aku beri minum dengan botol Winnie The Pooh-ku.Aku ingat sekali, sama dengan kuatnya ingatanku tentang siapa-siapa saja wanita itu. Sebelum Kassandra ada Leony, dan sebelum Leony ada wanita pertama yang.., ah, sudahlah.Aku selalu kesal jika teringat wanita yang satu lagi itu. Selanjutnya, segala macam pemikiran tentang rencana-rencana terkait masa depan memenuhi kepalaku.Aku bisa menetap di sini, di Surabaya kota kelahiranku, menikahi Aryati dan menerima anaknya sebagai anakku.Aku juga bisa kembali ke Bandar Baru, menemui Jihan, mengajaknya menikah dan menerima dia seperti yang pernah kami bicarakan dulu.Akan tetapi, rasa sukaku pada gadis Melayu bermata perigi itu masih terkalahkan dengan rasa sukaku kepada Ika Damayanti, sahabat Jihan sendiri.Satu hal yang kemudian menjadi polemik di dalam hatiku adalah, aku tidak memp
Bab 173: Jalesveva Jayamahe**Ketika aku memasuki permainan yang ke-11, lelaki pemilik lapak catur menawari aku untuk menghentikan permainan.Dia khawatir aku kehabisan uang. Namun aku tidak mau, dan terus mengeluarkan uang, dan mengajaknya bersalaman. Menginjak permainan yang ke-21, lelaki itu menawari aku lagi untuk berhenti. Kali ini nadanya sedikit membujuk, dan raut wajahnya seakan tidak tega padaku yang telah beberapa kali menggaruk kepalaku di sepanjang permainan.Sampai di situ, aku telah menghabiskan uang sebanyak 40 ribu rupiah. Tidak apa-apa, uangku masih banyak. Bonus pertandingan dari ring oktagon yang tersimpan di beberapa rekeningku masih ada milyaran.Untuk apa aku risau hanya perkara uang yang berjumlah puluhan ribu?“Waduh, Mas, saya-nya jadi ndak enak, nih. Kita udahan saja ya, Mas?” Pinta lelaki berbangku kayu itu.“Ndak apa-apa, Mas, tenang saja. Ndak masalah kok bagi saya.”
Bab 174: Dot Dut Det Dut**“Tiketku ke Kalimantan hangus, biarlah,” pikirku.“Terserah aku..,”“Ini jalan hidupku..,”Aku sudah cukup menderita maka aku berhak mendapatkan imbalan berupa tetesan surga yang dijatuhkan Tuhan ke bumi Indonesia.“Oh, Bali, I am coming..,”Oh, Kassandra.., dari surga tempatmu di langit sana, kamu bisa melihat aku, kan? Kamu masih mengikuti jalan ceritaku, kan?Menggunakan bus, aku pun sampai di Bali. Sudah pukul sepuluh malam, tapi suasananya masih seperti lebaran hari keenam.Bingang-bingung sebentar, akhirnya kuputuskan menginap di Denpasar. Mataku mengantuk, perutku lapar, dan kakiku pegal. Sampai di dalam kamar sebuah hotel, segera saja aku hempaskan wajahku di atas bantal.Keesokan harinya, aku pergi ke Kuta, tempat yang paling menawan untuk menikmati sunset di sepanjang garis pantainya.Di Kuta aku menyewa kamar di sebuah re
Bab 175: Bidadari Ketujuh**Selesai kubercerita, Elyaz menanggapi dengan berbicara seputar hakikat kehidupan, dalam pemahaman dia tentu saja.“Aku tahu kamu siapa, dan aku tahu siapa Kassandra. Well, menurutku kamu tidak pantas beristrikan Kassandra. Tetapi, segala sesuatunya telah berubah, ya..,” dan seterusnya.Elyaz bilang, cinta adalah anugerah dari Tuhan, berasal dari Tuhan, dan akan kembali kepada Tuhan.“Is that Hinduisme--apa itu ajaran Hindu?” Tanyaku sopan.“No! Definitely, not. It is not Hinduisme, not Budhisme, and.., apa yang aku katakan ini bukan berasal dari ajaran agama mana pun.”“So?”“Ini adalah bahasa universal yang siapa pun orang di dunia ini bisa memahaminya?”“What was that?”“Love.”Elyaz kemudian menatapku.“Kassandra, dalam esensinya sebagai cinta, telah kembali dan melebur ke dalam l
Bab 176: Kepingan Hati di Kota Tua - part 1**BEBERAPA BULAN KEMUDIAN..,Sekarang, aku sudah berada di sini lagi, di kawasan wisata Kota Tua, Jakarta Utara, tempat dulu aku dan Kassandra pernah menikmati senja.Aku duduk di sebuah kafe bergaya kolonial—kafe yang sama, menunggu pesanan kopiku sampai di meja—juga meja yang sama.Aku memandangi seantero Taman Fatahillah yang di hari jelang senja ini lumayan ramai. Apakah sekarang ini hari libur? Ah, aku sampai lupa.Aku merenung, mengenang kembali apa yang telah aku lakukan dalam beberapa bulan ini. Fiuh..! tiba-tiba, aku merasa lelah.Perjalanan mencari paman dari pihak ibuku di daratan Kalimantan berbuah nihil. Aku tidak berhasil menemukan keberadaan orang tua yang menjadi tautan darahku itu.Berbekal informasi yang kukantongi dari Surabaya, aku memulainya dari Balikpapan, Kalimantan Timur.Beberapa hari di Penajam, aku melanjutkan