Bab 175: Bidadari Ketujuh
**
Selesai kubercerita, Elyaz menanggapi dengan berbicara seputar hakikat kehidupan, dalam pemahaman dia tentu saja.
“Aku tahu kamu siapa, dan aku tahu siapa Kassandra. Well, menurutku kamu tidak pantas beristrikan Kassandra. Tetapi, segala sesuatunya telah berubah, ya..,” dan seterusnya.
Elyaz bilang, cinta adalah anugerah dari Tuhan, berasal dari Tuhan, dan akan kembali kepada Tuhan.
“Is that Hinduisme--apa itu ajaran Hindu?” Tanyaku sopan.
“No! Definitely, not. It is not Hinduisme, not Budhisme, and.., apa yang aku katakan ini bukan berasal dari ajaran agama mana pun.”
“So?”
“Ini adalah bahasa universal yang siapa pun orang di dunia ini bisa memahaminya?”
“What was that?”
“Love.”
Elyaz kemudian menatapku.
“Kassandra, dalam esensinya sebagai cinta, telah kembali dan melebur ke dalam l
Bab 176: Kepingan Hati di Kota Tua - part 1**BEBERAPA BULAN KEMUDIAN..,Sekarang, aku sudah berada di sini lagi, di kawasan wisata Kota Tua, Jakarta Utara, tempat dulu aku dan Kassandra pernah menikmati senja.Aku duduk di sebuah kafe bergaya kolonial—kafe yang sama, menunggu pesanan kopiku sampai di meja—juga meja yang sama.Aku memandangi seantero Taman Fatahillah yang di hari jelang senja ini lumayan ramai. Apakah sekarang ini hari libur? Ah, aku sampai lupa.Aku merenung, mengenang kembali apa yang telah aku lakukan dalam beberapa bulan ini. Fiuh..! tiba-tiba, aku merasa lelah.Perjalanan mencari paman dari pihak ibuku di daratan Kalimantan berbuah nihil. Aku tidak berhasil menemukan keberadaan orang tua yang menjadi tautan darahku itu.Berbekal informasi yang kukantongi dari Surabaya, aku memulainya dari Balikpapan, Kalimantan Timur.Beberapa hari di Penajam, aku melanjutkan
Bab 177: Kepingan Hati di Kota Tua – part 2**Aku membayar wanita-wanita panggilan itu bukan untuk bercinta. Akan tetapi, hanya untuk.., baiklah, berikut ini beberapa kisah yang ingin aku kenang.********Aku baru selesai mandi ketika wanita itu mengetuk pintu kamar hotel tempatku menginap. Masih mengenakan handuk aku menuju pintu dan membukanya.Sesaat dia terperangah menatapku yang bertelanjang dada, lalu tersenyum.“Ifat?” Tanya dia sembari menggigit bibir.“Iya, saya Ifat. Masuklah.”Sampai di dalam dia segera membanting tubuhnya di atas kasur, berbaring miring dengan pose yang sangat menantang.Wajah dan matanya sangat manja. Dia terus menatapku yang tak acuh, sembari mengulum-ngulum lidahnya sendiri.Masih dalam keadaan berhanduk, aku meletakkan tiga macam benda di atas meja, yaitu sisir, cologne, dan ponsel.“Dari ketiga benda ini, mana
Bab 178: Membeli Kebohongan**Aku ingat!Sungguh aku ingat dia! Wanita Gipsi yang pernah meramal nasibku dan nasib Kassandra.Pantas saja aku tidak melihat wanita berusia enam puluhan yang meminta dipanggil dengan sebutan ‘Mami’ itu. Rupanya sedari tadi dia tertutupi oleh seorang penjual balon gas.Setelah penjual balon gas pergi, tampaklah di mataku apa yang dulu pernah aku lihat bersama Kassandra dari titik ini, dari mejaku ini.Mami Gipsi itu memakai penutup kepala berupa kain hitam yang disimpul ke belakang, mirip bajak laut seperti yang ada di film Pirates of The Caribbean.Dia juga memakai lima kalung dengan ukuran lingkar yang berbeda-beda, kalung yang terbuat dari manik-manik dan salah satunya ada liontin berupa taring dari binatang pemangsa.Di telinganya tergantung anting dari lempengan kuningan yang berkilau. Di kedua tangannya, dia memakai banyak gelang, mungkin terbuat dari alloy, dan mengeluarkan suar
Bab 179: Kembali**Malam harinya, di balkon hotel tempatku menginap, aku duduk merenung, ditemani ngiang-ngiang kalimat Mami Gipsi di Kota Tua.“Kamu sudah jauh berjalan, Anakku..,”Benar, Mami, aku sudah jauh berjalan.., kataku dalam hati. Berjalan mencari cinta, dan aku tak menemukannya.“Kamu sudah letih, sudah lelah. Istirahatlah, Nak..,”Benar, Mami, aku sudah letih, sudah lelah..,“Kembalilah ke tempat kamu berasal. Pulanglah kamu, Anakku.”Kembali?********KEESOKAN HARINYA..,Satu jam setengah melayari angkasa, pesawat yang aku tumpangi akhirnya mendarat juga di bandara Sultan Syarif Qasim, Bandar Baru.Jejakan roda-rodanya ketika menyentuh aspal dan menggelindingnya di sepanjang landasan menimbulkan suara gemuruh yang menggema hingga di dalam kabin penump
Bab 180: Puisi di Cover Depan**Taksi yang aku tumpangi berhenti di tepi jalan, tepat di mulut gang rumahku. Untuk sesaat, aku berdiam diri dan menatap ke arah gang.Di sisi kanan ada tembok yang memanjang, lalu di sisi kirinya adalah lahan kosong dengan beberapa tanaman liar dan semak belukar.Kemudian di ujung sana, terdapat dua rumah kontrakan di mana salah satunya adalah rumahku bersama Johan.“Bersyukurlah engkau wahai, Anakku. Walaupun hanya kontrakan tapi kamu masih bisa tinggal di dalam sebuah bangunan yang layak disebuat sebagai rumah. Dari pada aku, tinggal di kolong jembatan dan mencari nafkah dari menjual kebohongan.”Kata-kata peramal Gipsi itu mengiang di telingaku, membuatku tersadar akan sebuah hikmah yang hampir setiap hari aku lupa.Rasa syukur, itu intinya, itu yang mungkin aku tidak punya.“Bang? Kita sudah sampai.” Suara sopir taksi menggugahku.“Eh, iya,
Bab 181: Cemburu**Oh, Dewi Amor.., kenapa aku harus cemburu? Mengapa dadaku terasa sesak?Bukankah memang tidak ada ikatan antara diriku dengan dirinya? Juga tidak ada janji-janji untuk hidup bersama dan saling setia?Gelombang apa di dalam hati ini yang membuatku merasa seakan ditinggalkan oleh kapal layar yang terakhir?Aku menjatuhkan kartu undangan di atas meja. Kutolehkan kepalaku ke kanan sedikit ke bawah, menatap kosong pada lantai.Aku bersedekap, dengan satu tangan menangkup di depan mulut dan hidungku. Johan terus menatapku, berusaha menerjemahkan ekspresi yang memeta di raut wajahku.Seakan mengerti tentang perasaanku, Johan mengalihkan perhatianku pada dua buah surat yang masih ia pegang. Masing-masingnya tersimpan di dalam amplop.“Yang satu, dari Pak Latif. Yang satu lagi, dari Idah.”Aku menerima amplop dari Johan namun tidak berniat untuk membuka dan membaca isinya.Aku hanya memegang
Bab 182: Pyaar!**Dua minggu kemudian..,Aku mengeluarkan semua pakaian yang aku punya dari dalam lemari. Beberapa saat memilah dan memilih, aku putuskan untuk memakai kemeja kotak-kotak berwarna biru dongker kesayanganku.Ini adalah kemeja yang dulu ketiaknya pernah robek dan dijahit oleh Kassandra. Memasangkannya dengan celana kasual berwarna hitam, aku melengkapi penampilanku dengan jam tangan, dan di kaki, aku memakai sepatu.Aku menghadap cermin di pintu lemari. Pelan-pelan aku menyisir rambutku sembari membayangkan Kassandra-lah yang melakukannya.Ketika aku menguncirnya ke belakang, aku juga terus membayangkan Kassandra. Ini aku lakukan sebagai upaya mencari kekuatan, agar bisa bertahan dari rasa cemburu yang terasa begitu menikam.Mengendarai motorku sendiri, aku membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk sampai pada gedung tempat pernikahan Leony dan Faisal dihelat.Beberapa petugas, atau mungkin paniti
Bab 183: Masih Kangen**Leony pingsan!Jarakku dengan pelaminan tidak memungkinkan untuk menangkap tubuhnya. Namun syukurlah Faisal cukup siaga. Ia dengan sigap menangkap Leony sesaat sebelum terhempas di lantai.Suasana menjadi gaduh, heboh, ribut. Keluarga dari kedua mempelai naik ke panggung. Aku yang menyaksikan itu semua hanya bisa bingung.Para tamu-tamu undangan mendadak berdiri dari kursinya. Lalu biduanita yang tadi menyanyi serentak pula hentikan lagunya. Aku juga panik dan masih tidak tahu harus berbuat apa.Sekonyong-konyong, dari arah belakangku ada seseorang yang menggamit tanganku, dan terus saja menarikku turun dari panggung.Dia yang ternyata seorang wanita itu terus saja menarik tanganku, menyusuri deretan meja dan kursi para tamu, menyisir ke samping, lalu cepat menuju ke pintu belakang.Aku yang masih terkesiap akibat kejadian di depan pelaminan tadi masih tidak tahu harus bereaksi bagaimana.