Bab 179: Kembali
**
Malam harinya, di balkon hotel tempatku menginap, aku duduk merenung, ditemani ngiang-ngiang kalimat Mami Gipsi di Kota Tua.
“Kamu sudah jauh berjalan, Anakku..,”
Benar, Mami, aku sudah jauh berjalan.., kataku dalam hati. Berjalan mencari cinta, dan aku tak menemukannya.
“Kamu sudah letih, sudah lelah. Istirahatlah, Nak..,”
Benar, Mami, aku sudah letih, sudah lelah..,
“Kembalilah ke tempat kamu berasal. Pulanglah kamu, Anakku.”
Kembali?
********
KEESOKAN HARINYA..,
Satu jam setengah melayari angkasa, pesawat yang aku tumpangi akhirnya mendarat juga di bandara Sultan Syarif Qasim, Bandar Baru.
Jejakan roda-rodanya ketika menyentuh aspal dan menggelindingnya di sepanjang landasan menimbulkan suara gemuruh yang menggema hingga di dalam kabin penump
Bab 180: Puisi di Cover Depan**Taksi yang aku tumpangi berhenti di tepi jalan, tepat di mulut gang rumahku. Untuk sesaat, aku berdiam diri dan menatap ke arah gang.Di sisi kanan ada tembok yang memanjang, lalu di sisi kirinya adalah lahan kosong dengan beberapa tanaman liar dan semak belukar.Kemudian di ujung sana, terdapat dua rumah kontrakan di mana salah satunya adalah rumahku bersama Johan.“Bersyukurlah engkau wahai, Anakku. Walaupun hanya kontrakan tapi kamu masih bisa tinggal di dalam sebuah bangunan yang layak disebuat sebagai rumah. Dari pada aku, tinggal di kolong jembatan dan mencari nafkah dari menjual kebohongan.”Kata-kata peramal Gipsi itu mengiang di telingaku, membuatku tersadar akan sebuah hikmah yang hampir setiap hari aku lupa.Rasa syukur, itu intinya, itu yang mungkin aku tidak punya.“Bang? Kita sudah sampai.” Suara sopir taksi menggugahku.“Eh, iya,
Bab 181: Cemburu**Oh, Dewi Amor.., kenapa aku harus cemburu? Mengapa dadaku terasa sesak?Bukankah memang tidak ada ikatan antara diriku dengan dirinya? Juga tidak ada janji-janji untuk hidup bersama dan saling setia?Gelombang apa di dalam hati ini yang membuatku merasa seakan ditinggalkan oleh kapal layar yang terakhir?Aku menjatuhkan kartu undangan di atas meja. Kutolehkan kepalaku ke kanan sedikit ke bawah, menatap kosong pada lantai.Aku bersedekap, dengan satu tangan menangkup di depan mulut dan hidungku. Johan terus menatapku, berusaha menerjemahkan ekspresi yang memeta di raut wajahku.Seakan mengerti tentang perasaanku, Johan mengalihkan perhatianku pada dua buah surat yang masih ia pegang. Masing-masingnya tersimpan di dalam amplop.“Yang satu, dari Pak Latif. Yang satu lagi, dari Idah.”Aku menerima amplop dari Johan namun tidak berniat untuk membuka dan membaca isinya.Aku hanya memegang
Bab 182: Pyaar!**Dua minggu kemudian..,Aku mengeluarkan semua pakaian yang aku punya dari dalam lemari. Beberapa saat memilah dan memilih, aku putuskan untuk memakai kemeja kotak-kotak berwarna biru dongker kesayanganku.Ini adalah kemeja yang dulu ketiaknya pernah robek dan dijahit oleh Kassandra. Memasangkannya dengan celana kasual berwarna hitam, aku melengkapi penampilanku dengan jam tangan, dan di kaki, aku memakai sepatu.Aku menghadap cermin di pintu lemari. Pelan-pelan aku menyisir rambutku sembari membayangkan Kassandra-lah yang melakukannya.Ketika aku menguncirnya ke belakang, aku juga terus membayangkan Kassandra. Ini aku lakukan sebagai upaya mencari kekuatan, agar bisa bertahan dari rasa cemburu yang terasa begitu menikam.Mengendarai motorku sendiri, aku membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk sampai pada gedung tempat pernikahan Leony dan Faisal dihelat.Beberapa petugas, atau mungkin paniti
Bab 183: Masih Kangen**Leony pingsan!Jarakku dengan pelaminan tidak memungkinkan untuk menangkap tubuhnya. Namun syukurlah Faisal cukup siaga. Ia dengan sigap menangkap Leony sesaat sebelum terhempas di lantai.Suasana menjadi gaduh, heboh, ribut. Keluarga dari kedua mempelai naik ke panggung. Aku yang menyaksikan itu semua hanya bisa bingung.Para tamu-tamu undangan mendadak berdiri dari kursinya. Lalu biduanita yang tadi menyanyi serentak pula hentikan lagunya. Aku juga panik dan masih tidak tahu harus berbuat apa.Sekonyong-konyong, dari arah belakangku ada seseorang yang menggamit tanganku, dan terus saja menarikku turun dari panggung.Dia yang ternyata seorang wanita itu terus saja menarik tanganku, menyusuri deretan meja dan kursi para tamu, menyisir ke samping, lalu cepat menuju ke pintu belakang.Aku yang masih terkesiap akibat kejadian di depan pelaminan tadi masih tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Bab 184: Jlebb!**Ika Damayanti keluar dari dalam kamar. Siang ini ia sudah siap dengan setelan lengkapnya untuk keluar rumah.Jilbab kuning terang kesukaannya sudah terasa pas di kepala, pas pula dengan bros kupu-kupu seukuran aslinya di bawah dagu. Sepadu pula dengan busana terusan yang longgar nan modis.“Mau ke mana kamu, Dik? Siang-siang begini.” Cegat Riska sang kakak yang sedang menonton melodrama di televisi.“Ke rumah Jihan.” Ika menghempaskan tubuh di sofa, di samping kakaknya, memakai kaos kaki seperti sedang terburu-buru.“Tumben. Biasanya juga Jihan yang selalu ke sini. Ada urusan apa?”“Mmm, tidak ada yang penting sih. Cuma ingin berbagi kabar gembira saja.”“Oh, tentang kabar yang tadi pagi?”“Iya.”“Eh, Dik, kalau kebetulan Jihan sedang bikin kue bika Ambon, bawakan untuk kakak ya?”“Huu.., mengharap.&
Bab 185: Cemburu Empat Kuadrat**Ditinggal sang ibu berisitirahat siang, juga ditinggal adiknya pergi ke rumah Jihan. Riska menonton melodrama di televisi seorang diri.Ia pun terhanyut dengan kesedihan yang disajikan oleh tokoh-tokoh di layar kaca itu.Iklan datang, sang tokoh drama pergi. Iklan pergi, tokoh drama datang lagi, mengulangi tangisan dan air mata yang tadi.Keasyikan Riska menonton drama melankolis itu terganggu. Ponselnya yang terletak di atas meja tiba-tiba saja berdering.Layarnya berkedip-kedip, dan getarannya menimbulkan suara derrrt.. derrtt. Untuk beberapa saat Riska merasa ragu mengangkat teleponnya.Ia enggan jika ternyata itu adalah telepon dari kepala sekolah, menanyakan ini itu atau pun memberi tugas baru.Ia menegakkan tubuhnya di sofa, sedikit mengangkat kepala dan pandangan matanya menjangkau ke layar ponsel. Nama yang memanggil adalah; Selly.“Dia sudah pulang, Ris! Dia sudah pu
Bab 186: Balada Kue Bika**“Nah, jadi begini, kalau sudah pemanggangan tiga puluh menit dengan pintu oven yang terbuka, kita lanjutkan lagi memanggang dengan pintu oven yang tertutup lebih kurang lima belas menit.” Terang Jihan sembari menutup pintu oven.“Ingat, suhunya diperhatikan ya, harus konstan di angka ini, supaya tidak mudah gosong.”“Setelah itu?” Ika bertanya.“Kita tunggu deh, sampai lima belas menit. Jangan lebih.”“Kalau lebih?”“Yah, gosong-lah!”Ika tertawa kecil di kursi dapur. “Aku jadi penasaran akan bagaimana nanti hasilnya.”“Hmm,” Jihan menggumam, tangannya melolosi celemek dari badannya dan mengambil duduk di kursi yang berbeda.“Kalau takaran kita tadi tepat, cara mengadonnya juga benar, santannya bagus dan tidak pecah, mudah-mudahan hasilnya bagus.”“Semoga saja.
Bab 187: Lelaki dan Rembulan**Setelah itu aku pun bergegas pergi. Akan tetapi, langkahku ditahan oleh ibu yang menangis tadi.“Terima kasih, Nak.” Katanya dengan berurai air mata. “Terima kasih.”Aku mengangguk. “Sama-sama, Bu. Semoga anak Ibu cepat sembuh.”Aku ingin melangkah pergi, tapi ujung jaketku ditarik oleh sang ibu.“Paling tidak, izinkan aku melihat wajahmu, Nak.”Aku dicekam haru.“Izinkan aku tahu siapa namamu, Nak. Supaya aku bisa mendoakan kamu.”Ibu paruh baya berjalan perlahan, maju mendekatiku dengan langkahnya yang terseret seperti sedang membawa beban.Ia memegang kedua lenganku, lantas menaikkan tangannya sendiri untuk menurunkan hoodie jaket yang menutupi kepalaku. Maka tampaklah keseluruhan dari wajah dan kepalaku.“Oooh.., Ya Allah, tampannya engkau, Nak, begitu juga dengan hatimu..,”Aku mel