Bab 187: Lelaki dan Rembulan
**
Setelah itu aku pun bergegas pergi. Akan tetapi, langkahku ditahan oleh ibu yang menangis tadi.
“Terima kasih, Nak.” Katanya dengan berurai air mata. “Terima kasih.”
Aku mengangguk. “Sama-sama, Bu. Semoga anak Ibu cepat sembuh.”
Aku ingin melangkah pergi, tapi ujung jaketku ditarik oleh sang ibu.
“Paling tidak, izinkan aku melihat wajahmu, Nak.”
Aku dicekam haru.
“Izinkan aku tahu siapa namamu, Nak. Supaya aku bisa mendoakan kamu.”
Ibu paruh baya berjalan perlahan, maju mendekatiku dengan langkahnya yang terseret seperti sedang membawa beban.
Ia memegang kedua lenganku, lantas menaikkan tangannya sendiri untuk menurunkan hoodie jaket yang menutupi kepalaku. Maka tampaklah keseluruhan dari wajah dan kepalaku.
“Oooh.., Ya Allah, tampannya engkau, Nak, begitu juga dengan hatimu..,”
Aku mel
Bab 188: Surat dari Ucon**Untuk sahabatku, Muhammad Fatih..,Assalamu’alaikum. Apa kabar, Masbro?Aku tahu, kamu sedang tidak baik-baik saja. Untuk itu aku akan mendoakan apa pun yang terbaik untuk kamu.Maafkan aku ya, Fat. Selama ini aku tidak ada kabar. Kamu tahu pekerjaanku di hutan pedalaman Jambi, kan? Kamu tahu di sana tidak ada sinyal, kan?Kamu ingat, waktu aku menelepon kamu terakhir kali?Untuk mencari sinyal telepon aku mendaki bukit yang paling tinggi, di bukit itu aku juga memanjat pohon yang paling tinggi.Tapi sayang, Fat. Pohon yang dulu kupanjat untuk mendapat sinyal telepon itu sudah ditebang. Jadi, yah, kita loss contact lagi.Aku sudah mengetahui semuanya, Fat. Bang Idris yang bercerita kepadaku. Apa yang telah kamu alami, semuanya.Sekali lagi aku mohon maaf, Fat. Aku tidak ada di samping kamu ketika kamu sedang sedih dan berduka.Dengan kepergian Joni, aku juga merasakan hal y
Bab 189: Cincin**Hari-hari datang silih berganti, waktu demi waktu pun berlalu. Siang dan malam jalin menjalin menjadi minggu. Sulam menyulam menjadi bulan.Hingga tanpa terasa telah beberapa kali wajah purnama berlabuh di langit merah kota Bandar Baru, dan selalu hinggap di sebuah menara berkubah yang menjadi saksi bagi mereka yang menitipkan cinta.Di antara kehadiran bulan purnama itu, aku merenung di dalam kamarku sembari mengingat kata-kata Johan;“Bagaimana kalau kamu menikah saja dulu? Nanti, kalau kamu sudah punya istri, kamu pasti akan mendapat banyak inspirasi.”Aku kemudian bangkit untuk menuju lemari. Mengambil kotak kecil milikku yang pernah ditemukan Johan waktu membersihkan kamarku.Kotak kecil berlapis beludru berwarna merah marun berisi cincin emas putih dengan batu kecubung es nan bening.Ini adalah cincin mahar milik Ibu. Saksi monumental ikatan cinta antara Baihaqi ayahku dan Wartini ibuku.
Bab 190: Jlebb Lagi!**Melihat gerak-geriknya yang sedikit mencurigakan itu, dalam waktu sepersekian detik aku segera menakar situasi.Postur si lelaki gagah itu bisa dengan mudah ia pergunakan untuk menyerangku. Maka dengan bahu dan lengan kananku yang cedera, juga lutut kiriku yang sakit, aku tidak punya banyak kans untuk melawannya.Apa lagi, jika lelaki gagah itu mahir dalam seni beladiri.“Siapa?” Ulangku bertanya.“Muhammad Fatih.”“Muhammad Fatih?”“Iya, betul.”“Ada urusan apa?” Tanyaku semakin cemas.“Mmm, Abang kenal dengan Muhammad Fatih?”“Eh, eee.., iya, kebetulan, saya sendiri.”“Jadi, Abang orangnya Muhammad Fatih?”“Iya, betul.”“Oh, kebetulan sekali. Syukurlah.” Wajah si lelaki gagah serentak ekspresikan rasa lega, dan sekaligus menjadi ramah.
Bab 191: Mencari Kado**Sehari, dua hari, hingga berhari-hari aku terus saja uring-uringan. Aku sedang tidak punya teman yang cukup karib untuk aku jadikan tempat curhatan. Johan tidak ada di rumah, sekarang sedang berada di Jakarta.Malam hari, di warung kopi Bang Fahmi aku bermain catur melawan Bang Idris. Biasanya butuh sekitar 50 langkah Bang Idris mengalahkan aku. Tapi sekarang,“Kok, sontoloyo begini sih kamu mainnya, Fat?”Aku tersenyum kecut. Semakin kecut, ketika Ciko Junior, di satu pojok warung memainkan gitarnya dan berduet dengan sang ayah, Ciko Senior. Membawakan lagu dangdut milik Bang Haji Rhoma Irama.~ Jreeng..!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujangaaaaan..Oh, kurang asem mereka semua!Bang Fahmi yang sudah berhasil membebaskan diri dari status bujang l
Bab 192: 40 Hari di Awal Waktu**Setelah menempatkan motorku di areal parkir, aku berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sekilas aku memperhatikan kawasan pertokoan yang baru kali ini aku ketahui. Sampai di depan toko Tata Collection aku pun berhenti, tepat di depan pintu kacanya. Bayangan diriku sendiri menampil di pintu kaca, dengan rambut yang terkuncir ke belakang dan jenggot di dagu.Sekali memandang ke dalam aku segera tahu apa-apa saja yang dijual oleh toko Tata Collection ini. Sesaat, aku ragu.“Toko ini pasti tidak berbeda dengan toko kebanyakan.” Kataku dalam hati.Isinya pasti hanyalah busana, dari atas ke bawah, dan dari luar ke dalam. Dari S sampai M, dari L sampai XXXL. Lihat saja patung-patung manekin di dalam situ.Aku pun berbalik dan ingin pergi. Namun, tepat ketika aku membalikkan badan, ekor mataku menangkap sesuatu
Bab 193: Cinta dan Penampikan**Baru saja Anggun memasuki kamar hotel tempatnya menginap di kota Makassar. Gerakan tangannya mengurai ikatan rambut diiringi oleh sebuah pertanyaan dari Herna.“Jadi, kalian sudah menentukan tanggal?”“Belum.” Jawab Anggun pendek.“Belum?”“Iya, belum.”“Sudah tiga bulan lebih kalian lamaran tapi belum menentukan tanggal?”“Entahlah, tiba-tiba saja aku ragu melanjutkan hubungan pertunanganku ini.”“Hayo, jangan sampai disalip Christine lho.”“Tidak apa-apa. Kalau Christine mau duluan menikah, silahkan saja. Kalau memang sudah jodohnya mana mungkin bisa ditahan-tahan.”“Serius?” Goda Christine yang tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada Anggun.“Nanti kamu ngiri.”“Ngiri? Tidak-lah ya! Hanya saja, kalau aku boleh kasih saran ke kamu, jangan
Bab 194: Orang Yang Tepat?**“Itu sebagai urusanmu dengan Tuhanmu. Tapi sebagai urusanmu dengan aku, kamu kerjakan dulu shalat empat puluh hari itu!”Dia, dia.., menampik aku!Jlebb..??Mana jlebb??Mengapa aku tidak mendengar bunyi ‘jlebb’??Oh, pantas saja, pisau belati yang bernama ‘sakit hati’ itu telah menusuk aku dengan diam-diam dan sangat perlahan.Ya Tuhan, begini rupanya rasa sakit akibat penampikan itu. Begini ternyata yang dirasakan Jihan dulu waktu aku menolaknya.Juga begini rasanya ketika dulu aku membuat Leony dan juga Jihan menangis di pelataran mall SKA. Dan mungkin begini pulalah yang dirasakan Mira dulu ketika aku melihatnya menangis di bandara.Lalu, apakah sekarang aku harus menangis untuk semua penampikan ini? Tidak!Aku tidak boleh menangis. Aku adalah laki-laki yang kuat. Aku mahir dalam seni beladiri dan terampil pula dalam mengalahkan lawan.
Bab 195: Kisah Seorang Bujangan**“Apa aku harus menghabisinya?”Wanita bercadar memelototkan mata pada lelaki tegap yang ternyata memang bernama Adi Wicaksono itu, pensiunan militer dengan pangkat Sersan Mayor, prajurit terbaik di masa-masa dinasnya dahulu, juga mantan sniper yang bisa menghabisi musuh dari jarak ribuan meter. “Jangan!” Pekik wanita bercadar dengan satu gebrakan kecil di meja.Adi Wicaksono tersenyum sinis lagi.“Kalau Ibu mau, aku bisa menghabisi dia.”“Aku bilang, jangan!”“Maaf, aku hanya memberi tahu saja, aku punya kemampuan untuk menghabisi dia.”Wanita bercadar menarik nafas dalam. Dadanya menggemuruh menahan perasaan gelisah dan amarah.“Tapi kalau Ibu menyuruh saya untuk membunuh si Muhammad Fatih itu, mohon maaf, Ibu salah orang. Bukan untuk hal semacam ini saya dididik oleh militer dulu.”Wanita berc